Begini Alasan Koalisi Laporkan Fahri Hamzah ke KPK
Berita

Begini Alasan Koalisi Laporkan Fahri Hamzah ke KPK

Diduga menghalang-halangi proses penyidikan terkait kasus korupsi e-KTP. KPK mesti segera menindaklanjuti laporan Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Hak Angket.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Konperensi Pers Koalisi Masyarakat Menolak Hak Angket KPK Melaporkan Fahri Hamzah ke KPK di Kantor ICW Jakarta, Rabu (3/5). Foto: RFQ
Konperensi Pers Koalisi Masyarakat Menolak Hak Angket KPK Melaporkan Fahri Hamzah ke KPK di Kantor ICW Jakarta, Rabu (3/5). Foto: RFQ
Nama Fahri Hamzah kian melambung lantaran menjadi sorotan masyarakat belakangan terakhir. Sejak mengetuk palu dalam rapat paripurna DPR pekan lalu terkait persetujuan hak angket terhadap KPK, Fahri pun menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Bahkan, Fahri pun bakal berurusan dengan KPK. Pasalnya, tindakannya itu, Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Hak Angket KPK melaporkan Fahri ke KPK pada Selasa (2/5) kemarin.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari menyampaikan beberapa alasan yang mendasari laporan koalisi ke KPK. Pertama, tindakan Fahri Hamzah yang mengetuk palu dalam rapat paripurna terkesan terburu-buru. Bahkan, diduga mengabaikan Pasal 279 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib.

Baginya, pengabaian ketentuan Tatib bagian dari cacat prosedur dalam pengambilan keputusan paripurna DPR. Mestinya, Fahri dalam mengambil keputusan menempuh upaya musyawarah mufakat dan jalan terakhir melalui mekanisme voting. Dengan mengabaikan Pasal 279 Tatib DPR itulah, seolah hak angket menjadi resmi diterima seluruh anggota dewan yang hadir. Padahal, sejumlah anggota dari Fraksi Gerindra melakukan walk out. Begitu pula beberapa fraksi menolak tegas hak angket tersebut.

“Jadi kita duga ada upaya memanipulasi hak angket untuk mengganggu (kinerja) KPK. Jangan-jangan, Fahri Hamzah patut diduga mengganggu proses penyidikan,” ujarnya dalam konperensi pers di Kantor ICW Jakarta, Rabu (3/5/2017).
Pasal 279 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib:
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak  terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Kedua, sah-tidaknya DPR menggunakan hak angket lebih pada strategis atau tidaknya kebijakan yang diambil pemerintah. Sementara dalam kasus pengadaan proyek e-KTP sudah masuk dalam tindakan pro justisia. Terlebih, dua terdakwa kasus koruspi e-KTP ini tengah disidangkan. Atas dasar itu, hak angket pun tak boleh dilakukan terhadap kasus yang sedang berproses di pengadilan. Karena itu, pihak yang dapat membongkar materi proses penyelidikan dan penyidikan KPK hanyalah melalui mekanisme peradilan, bukan kewenangan DPR. Baca Juga: Asosiasi Pengajar Tata Negara Kritik Hak Angket KPK

Bagi Koalisi, Fahri diduga menghalang-halangi dan merintangi proses penyidikan KPK guna menggagalkan proses penyidikan. Menurut Feri, tindakan Fahri yang menghalang-halangi dengan “memaksakan” untuk menyetujui usulan hak angket telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai anggota dan pimpinan dewan.

“Dia menggunakan kekuasaan yang disalahgunakan untuk mengganggu KPK, membongkar kasus korupsi e-KTP. Ini motifnya menganggu KPK, membongkar kasus e-KTP,” tegas pria yang juga dosen FH Universitas Andalas itu.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Oce Madril mengatakan Fahri diduga melanggar Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terkait dengan merintangi, menghalang-halangi hingga menggagalkan proses penyidikan.
Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor
"Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)."

Madril melanjutkan dengan mengabaikan Pasal 279 Tatib DPR saja, Fahri patut diduga melakukan tindakan obstruction of justice. Madril menilai tindakan Fahri dalam memimpin rapat paripurna secara langsung atau tidak langsung menghalang-halangi proses pengusutan kasus mega skandal dugaan korupsi  proyek e-KTP senilai Rp2,3 triliun. Ia juga meyayangkan sikap Fahri yang memimpin rapat dengan mengabaikan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3).  

“Ini yang kami laporkan ke KPK. Dan ini, yurisdiksi KPK untuk menindaklanjuti laporan kami ke KPK,” ujarnya. Baca Juga: Pengambilan Keputusan Hak Angket KPK Terkesan ‘Dipaksakan’

Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia, Syamsuddin Alimsyah menilai ada dugaan dendam pribadi Fahri terhadap KPK. Ia mengamati pergerakan Fahri sebagai orang yang kerap konsisten berupaya membubarkan KPK. Dengan kewenangan sebagai anggota dewan, plus sebagai pimpinan dewan saat sidang rapat paripurna, Fahri dinilai menggunakan kekerasan politik terhadap KPK. “Upaya mereka ini sebagai kekerasan politik terhadap lembaga penegak hukum,” ujarnya.

Lebih lanjut, Syamsuddin menilai tindakan yang dilakukan Fahri sebagai bentuk teror terhadap lembaga penegak hukum, khususnya menghalangi agenda pemberantasan korupsi. Ia khawatir bila tindakan ini dibiarkan bisa membahayakan agenda pemberantasan korupsi yang berujung membubarkan KPK melalui aturan yang dibuatnya di parlemen.

“Teman-teman penegak hukum tak boleh mundur, tetapi harus menggunakan Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor. Sebab, yang dilakukanya (Fahri) bentuk penghianatan rakyat. Kita mau laporkan (Fahri, red) ke Majelis Kehormatan Dewan (MKD), tapi fraksinya (F-PKS) sudah tidak mengakuinya,” katanya.

Konflik kepentingan
Di sisi lain, Oce Madril menilai adanya dugaan konflik kepentingan karena ada satu dari lima pimpinan DPR namanya disebut dalam surat dakwaan kasus mega skandal korupsi proyek e-KTP. Karena itu, tindakan Fahri tak dapat dilepaskan dari kasus tersebut. Terlebih, Fahri sudah tidak lagi diakui sebagai kader partai PKS. Nah, tindakan terburu-buru mengetuk palu dalam rapat tanpa terlebih dahulu mendengar pendapat fraksi-fraksi partai menunjukan adanya konflik kepentingan. Baca Juga: Usulan Hak Angket Rekaman Miryam Bentuk Intervensi Penegakkan Hukum

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donald Fariz menilai ada konflik kepentingan, sehingga anggota dewan lainnya mesti melawan terhadap hak angket KPK ini. Sebab, pengambilan keputusan tanpa mendengar pendapat fraksi partai lain sama halnya merendahkan martabat anggota dewan yang memiliki hak suara. Semestinya, pimpinan DPR memfasilitasi pengambilan keputusan, bukan sebaliknya memaksakan keputusan.

Donal menilai tindakan Fahri tak dapat dipandang sebagai perbuatan tunggal. Sebab, langkah Fahri yang berupaya membubarkan KPK dilakukan secara berkelanjutan. “Ini dilematis, Fahri tidak diakui sebagai kader PKS. Kalau tidak diakui di dapilnya, lalu siapa yang sedang diperjuangkan Fahri Hamzah?”
Tags:

Berita Terkait