Bedah Kasus Kantor Pajak Sebagai Kreditor Kepailitan
Fokus

Bedah Kasus Kantor Pajak Sebagai Kreditor Kepailitan

Dalam salah satu putusan, majelis hakim agung menyatakan ‘tidak ada dasar untuk menganggap Undang-Undang Perpajakan sebagai extra ordinary rules’.

MYS/HRS/FNH
Bacaan 2 Menit
Bedah Kasus Kantor Pajak Sebagai Kreditor Kepailitan
Hukumonline

Gara-gara telat mengajukan tagihan, buyar sudah upaya Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Jakarta Pusat untuk mendapatkan ratusan miliar dari aset Batavia Air setelah perusahaan pengelola maskapai itu dinyatakan pailit. Pada 5 Juni lalu, Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat menyatakan menolak keberatan atas pembagian boedel pailit yang dilakukan kurator. Batas akhirnya per 1 Maret 2013, KPP malah baru mengajukan keberatan alias renvoi pada 26 Maret.

Lewat renvoi, KPP Madya Jakarta Pusat berharap mendapatkan Rp369,213 miliar dai aset-aset Batavia. Terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 25, Pajak Penghasilan (PPn), sanksi administrasi, dan tagihan pajak 2010. Namun setelah melalui verifikasi, hanya Rp46,2 miliar yang diakui kurator sebagai hak KPP. Tagihan pajak 2010 sama sekali tak diakui. Majelis hakim dipimpin Dedi Ferdiman tak menyetujui perubahan daftar utang debitor.

Perkara KPP Madya Jakarta Pusat melawan kurator Batavia Air ini bukan satu-satunya upaya Ditjen Pajak mendapatkan hak dari tagihan pajak kepada perusahaan-perusahaan yang dinyatakan pailit. Menurut Kismantoro Petrus, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak, pihaknya melakukan keberatan atau renvoi terhadap pembagian aset pailit karena pajak punya tagihan kepada debitor. “Pajak itu penerimaan negara, dan kami harus memperjuangkan penerimaan negara,” ujarnya kepada hukumonline.

Didahulukan

Dalam proses persidangan, Ditjen Pajak (DJP) dan jajarannya biasanya mengklaim sebagai pihak yang harus didahulukan dalam pembagian harta pailit. Kuasa hukum DJP sering berargumen ‘pajak memiliki hak untuk mendahului’ dibanding kreditor lain, sesuai Pasal 16 dan 21 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, lazim disebut UU KUP (UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009).

Pengamat kepailitan, M. Hadi Subhan, sependapat. Merujuk pada Pasal 1131-1134 KUH Perdata, pajak termasuk kreditor yang harus didahulukan. Biasa disebut hak istimewa. Pasal 1134 menyebutkan hak istimewa adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata berdasarkan sifat piutangnya.

Bahkan, menurut dosen Universitas Airlangga itu, kalau merujuk pada aturan perpajakan, klaim pajak harus didahulukan dari semua kreditor. “Artinya, tagihan pajak itu di atas tagihan (kreditor) separatis,” ujarnya.

Dalam kepailitan dikenal status kreditor preferen, separatis, dan konkuren. Yang pertama mendahului yang kedua, dan seterusnya. Pajak, kata kurator Batavia Air, Turman M. Panggabean, adalah ‘kreditor yang harus diutamakan’. Pasal 113 ayat (1) huruf b UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mengembalikan masalah verifikasi utang pajak kepada peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 21 UU KUP menyebutkan ‘hak mendahului untuk tagihan pajak melebihi hak mendahului lainnya, kecuali terhadap hak mendahului pihak-pihak yang disebut dalam Pasal 1139 angka 1 dan angka 4, serta Pasal 149 KUH Perdata, dan Pasal 80-81 KUH Dagang.

Berbekal kedudukan sebagai kreditor yang diistimewakan itulah, Kantor Pajak beberapa kali meminta untuk didahulukan dalam kasus kepailitan. Utang tang ditagih Kantor Pajak pun tak sedikit. Dalam kasus kepailitan Batavia, KPP mengklaim punya tagihan pajak yang belum dibayar hingga 2010. Namun kurator kasus Batavia, Turman M. Panggabean, melayangkan kritik karena KPP baru mengajukan tagihan tiga dua tahun lebih setelah tahun berjalan lewat. “Jangan karena pejabat pajak lalai, lalu salahkan kita,” ucap Turman.

Selain itu, Turman melanjutkan, tagihan pajak 2010 kurang didukung dokumen pendukung. Batavia pun membantah utang sepert perhitungan KPP. Kurator tak mempersulit jika status utang didukung bukti, perhitungannya jelas, dan debitor mengakui. “Kami akan mengakui tagihan kalau debitor mengakui transaksi atau utang itu,” tambahnya.

Untuk memperkuat dalilnya dalam proses persidangan melawan kurator Batavia, misalnya, KPP Madya Jakarta Pusat merujuk antara lain pada putusan Mahkamah Agung No. 795K/Pdt.Sus/2010, dalam perkara KPP Madya Tangerang dan KPP Penanaman Modal Asing Wilayah IV vs Tim Kurator PT Koryo Internasional Indonesia.

Tetapi berdasarkan penelusuran hukumonline, putusan yang dijadikan rujukan sudah dibatalkan Mahkamah Agung lewat putusan Peninjauan Kembali (PK) No. 74PK/Pdt.Sus/2011. Majelis PK menilai ‘terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata’ dalam putusan No. 795K/Pdt.Sus/2010. Kekeliruan itu ialah mengenai hasil penjualan boedel pailit, disebut 82 miliar, padahal sebenarnya sekitar 25 miliar rupiah. Lagipula, secara prinsipil hak tanggungan/hipotik menduduki peringkat di atas hak istimewa, kecuali yang dinyatakan sebaliknya (Pasal 1134 KUH Perdata).

Kasus lain

Dalam perkara lain, KPP Pratama Serang pernah mengajukan kasasi atas pembagian boedel pailit yang dibuat kurator PT Bestindo Tata Industri (putusan MA No. 368 K/Pdt.Sus/2012). Juni tahun lalu, permohonan kasasi KPP Pratama Serang ditolak. Majelis beralasan judex facti tidak salah menerapkan hukum. Tagihan pajak yang diajukan dua tahun sejak insolvensi terhadap harta pailit, dan apabila kreditor yang mempunyai hak didahulukan tidak dicocokkan piutangnya, maka kreditor tersebut kehilangan hak terhadap hasil penjualan.

Di bawah rezim UU Kepailitan 1998, ada juga beberapa putusan yang dikutip sebagai rujukan. Putusan MA No. 015 K/N/1999 pada intinya memutuskan KPP tidak termasuk dalam kreditor dalam lingkup pailit. Bentuk utang pajak adalah tagihan yang lahir dari UU KUP. Undang-Undang ini memberi wewenang khusus pejabat pajak untuk melakukan eksekusi langsung terhadap utang pajak di luar campur tangan pengadilan.

Putusan MA No. 017K/N/2005 pada intinya menyatakan utang pajak adalah utang berdasarkan hukum publik dan harus dibayar lebih dahulu dibanding utang lainnya. Rujukan hakim adalah UU No. 19 Tahun 1997, sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000, tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Namun, dalam pertimbangan putusan No. 09 K/N/2009 (KPP Besar Dua melawan kurator PT Mitra Asindo Utama), majelis hakim agung menyatakan  tidak ada dasar untuk menganggap Undang-Undang Perpajakan sebagai extra ordinary rules. Dalam perkara ini sepenuhnya dipakai UU No. 37 Tahun 2004.

Asas keseimbangan dan keadilan

Dalam pertimbangan, acapkali hakim menyinggung asas keseimbangan atau proporsionalitas dan asas keadilan pembagian boedel pailit. Dalam putusan MA No. 74PK/Pdt. Sus/2011, misalnya, majelis menyatakan pertimbangan hakim tingkat pertama mengenai asas keseimbangan sudah tepat dan benar.

Asas keseimbangan mengandung arti di satu sisi terdapat ketentuan yang bisa mencegah penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor tidak jujur; dan di sisi lain ada ketentuan yang dapat mencegah penyalahgunaan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak bertiktikad baik. Asas keadilan mengandung arti bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. Asas ini bertujuan mencegah kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor tanpa mempedulikan kreditor lainnya.

Menurut Hadi Subhan, meskipun ada kreditor yang didahulukan daripada yang lain, pembagian aset pailit tetap harus dilakukan secara proporsional. “Pembagian asetnya dilakukan secara proporsionali karena ada asas pari passu prorata parte,” kata dosen Fakultas Hukum Unair Surabaya itu. Dengan asas ini, pembagian boedel pailit bukan semata merata, melainkan proporsional.

Turman M. Panggabean, kurator Batavia, juga sudah menegaskan sikapnya. Aset Batavia akan dibagi berdasarkan prinsip keadilan tersebut. “Kami akan bagi secara proporsionalitas, sesuai prosentasenya nanti,” ujarnya.

Masalah akan timbul jika masing-masing kreditor ingin mendapat pembayaran penuh tanpa mempedulikan nasib kreditor lain seperti buruh atau karyawan perusahaan pailit. Kismantoro Petrus memberi sinyal senada. “Maunya, kami mendapatkan seluruhnya dulu, baru dibagi, gitu loh”.

Ia tetap berdalih pajak adalah hak negara yang harus dipenuhi. Jadi, ada kemungkinan kreditor tak kebagian karena aset pailit habis untuk melunasi utang pajak. “Ada kemungkinan begitu,” kata Kismantoro kepada hukumonline. Meski begitu, Kismantoro menyerahkan keputusan akhir kepada hakim.

Tags: