Beda Sikap atas Perppu Pengawas Ketenagakerjaan
Berita

Beda Sikap atas Perppu Pengawas Ketenagakerjaan

Sangat bergantung Pemerintah.

ADY
Bacaan 2 Menit
Demo buruh di Jakarta. Foto: RES
Demo buruh di Jakarta. Foto: RES
Maraknya Tenaga Kerja Asing (TKA) ilegal tak lepas dari kelemahan pengawasan. Ini juga penyebab terjadinya pelanggaran norma ketenagakerjaan di perusahaan. Untuk mengatasi masalah ini, peran pengawas ketenagakerjaan perlu diperkuat dan jumlahnya ditambah.

Data terakhir yang diperoleh Hukumonline, hanya ada 2.288 pengawas ketenagakerjaan di Indonesia, untuk mengawasi 3.528.808 perusahaan. Artinya, jumlah perusahaan yang harus diawasi jauh melebih jumlah pengawas ketenagakerjaan. (Baca juga: Pengawas Ketenagakerjaan Perlu Ditambah, Simak Alasannya).

Dari sisi regulasi, Indonesia sebenarnya punya UU No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia. Pengawasan ketenagakerjaan juga disinggung dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Kalangan pekerja menganggap penguatan aturan pengawas ketenagakerjaan sudah mendesak. Bahkan kalau perlu diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Subiyanto Pudin, mengatakan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan menimbulkan banyak persoalan mulai dari pelanggaran hak-hak normatif buruh sampai maraknya TKA ilegal.

Perkembangan di bidang pengawasan ketenagakerjaan saat ini menurut Subiyanto belum menggembirakan. UU Pemerintah Daerah mengamanatkan urusan ketenagakerjaan menjadi ranah pemerintah pusat dan provinsi sehingga secara administratif pengawasan di tingkat kabupaten/kota ditarik ke provinsi. Dia berpendapat urusan ketenagakerjaan mestinya tidak diberikan ke daerah, tapi wewenang penuh pemerintah pusat, termasuk pengawasan.

Pengawasan yang ada di tingkat daerah bagi Subiyanto tidak berjalan sesuai harapan. Tidak sedikit petugas pengawas yang dimutasi atau dipindahkan ke direktorat lain oleh pemerintah daerah setempat. Akibatnya, jumlah petugas pengawas berkurang. “Pengawasan di daerah tidak efektif, saat ini fungsi pemerintah pusat (Kementerian Ketenagakerjaan) hanya mendidik petugas pengawas dan tidak bisa mencegah agar petugas pengawas yang ada di daerah tidak dimutasi,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Kamis (19/1).

Selain itu Subiyanto menilai pengawasan yang dilakukan selama ini sifatnya tertutup, karena pihak yang melapor adanya pelanggaran ketenagakerjaan tidak mendapat progres dari petugas pengawas. Sehingga pelapor tidak mengetahui sejauh mana laporannya ditangani. Petugas pengawas hanya menerbitkan nota pengawasan kepada pihak yang dilaporkan atau diperiksa.

Menurut Subiyanto mekanisme pengawasan yang tertutup itu membuka ruang terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Ujungnya, pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan tidak berjalan efektif. Guna membenahi persoalan itu Subiyanto mendesak pemerintah menerbitkan Perppu  sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1951. “Kami mendesak Perppu itu mengatur antara lain menarik petugas pengawas dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, libatkan lembaga tripartit dalam melakukan pengawasan,” urainya.

Sebaliknya, Direktur Eksekutif Apindo, P. Agung Pambudhi, menilai Perppu belum mendesak dibuat. Melalui UU Pemerintahan Daerah, sebenarnya Pemerintah sudah berupaya memperbaiki fungsi petugas pengawas ketenagakerjaan. Upaya itu bisa dilihat dari penarikan petugas pengawas di tingkat kabupaten/kota ke provinsi. (Baca juga: Putusan MK Perkuat Peran Pengawas Ketenagakerjaan).

Mengingat kebijakan itu baru dilakukan beberapa tahun terakhir, Agung mengusulkan agar itu yang diprioritaskan untuk dijalankan secara baik. Kemudian, dilakukan evaluasi bagaimana penerapannya. “Setelah evaluasi dilakukan barulah kita bisa menilai apakah aturan itu perlu diperbaiki atau tidak,” ujarnya. (Baca juga: Pengawasan Ketenagakerjaan Menjadi Masalah Bersama di ASEAN).

Anggota Komisi IX DPR, Saleh P. Daulay, menilai revisi UU No. 3 Tahun 1951 bersinggungan juga dengan Komisi III DPR. Soal Perppu, dia berpendapat itu hak pemerintah. Jika Perppu itu diterbitkan, selanjutnya dibahas di DPR. “Jika DPR menyetujui Perppu itu maka Perppu itu berlaku,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait