Beda Persepsi Soal Domisili dalam Perkara Kepailitan
Berita

Beda Persepsi Soal Domisili dalam Perkara Kepailitan

MA menolak permohonan PK terhadap perlawanan putusan PKPU. Selain alasan domisili yang tidak berdasar, MA juga berdalil putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.

Sut
Bacaan 2 Menit
Beda Persepsi Soal Domisili dalam Perkara Kepailitan
Hukumonline

Apa pun bisa terjadi di ranah hukum nasional. Meski di dalam ketentuan Undang-Undang jelas dinyatakan tidak diperbolehkan, namun hakim bisa menentukan lain. Hal ini terjadi pula dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) yang menolak permohonan PT Henrison Iriana (Henrison) melawan PT Indo Veneer Utama.

 

Perusahaan asal Arar Sorong, Papua itu jelas sangat kecewa dengan putusan trio hakim agung yang terdiri dari Marianna Sutadi sebagai ketua majelis dengan anggota  Harifin A Tumpa dan Abdul Kadir Mappong. Pasalnya, ketiga hakim senior itu, dalam rapat permusyawaratan pada 23 Juli 2007, menolak alasan-alasan yang dikemukakan Henrison dalam memori PK-nya.

 

Syahdan, Henrison mengajukan upaya hukum karena merasa ada yang janggal dalam putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Pusat. Menurut kuasa hukumnya, Ricardo Simanjuntak, PN Jakarta Pusat tidak berwenang menerima permohonan dan memutus PKPU yang diajukan PT Indo Veneer Utama. Alasannya, perusahaan itu tidak berkedudukan di Jakarta, melainkan di Surakarta.

 

Jika benar demikian, maka jelas itu merupakan suatu pelanggaran. Soalnya, kata Ricardo, UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU Kepailitan) menegaskan, kewenangan PN untuk memeriksa dan memutus permohonan pailit dan PKPU harus didasarkan pada domisili debitur. Di Indonesia sendiri pengadilan niaga hanya tersebar di lima wilayah yakni: Jakarta Pusat, Semarang, Surabaya, Medan dan Makassar (dahulu Ujung Pandang).

 

Pasal 3 UU Kepailitan

Ayat (1), Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor.

Ayat (5) Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.

 

Pasal 224 ayat (1) UU Kepailitan

Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya.

 

Jika melihat ketentuan mengenai domisili tersebut, seharusnya Indo Veneer selaku debitur, hanya dapat dimohonkan pailit di PN Semarang. Apalagi saat ini Indo Veneer sedang digugat di Pengadilan Negeri Surakarta.

 

Untuk diketahui, Indo Veneer merupakan perusahaan yang awal 2006 lalu dimohonkan pailit oleh krediturnya, CV Indo Jati – suatu perusahaan yang berkedudukan di Solo, Jawa Tengah – ke Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat.

 

Ricardo mengaku heran dengan permohonan pailit yang diajukan oleh Indo Jati di PN Jakarta Pusat. Kami juga tidak tahu kenapa mereka (Indo Jati, red) memaksa domisilinya di Jakarta. Padahal mereka sendiri menyadari tentang domisili mereka masing-masing. Sebab, sebelum mereka mempailitkan (Indo Veneer, red) di Jakarta, mereka sudah berperkara di Surakarta, tutur pemilik RSP Law Firm ini kepada hukumonline, akhir pekan lalu.

 

Tahu perusahaannya dimohonkan pailit, Indo Veneer lantas mengajukan permohonan PKPU ke PN Jakarta Pusat. Bak gayung bersambut, permohonan itu pun akhirnya dikabulkan.

 

Tak puas dengan putusan itu, Henrison mengajukan perlawanan terhadap putusan itu. Seperti orang linglung, PN Jakarta Pusat sekarang justru mengabulkan perlawanan Henrison. Hakim yang memeriksa perkara perlawanan itu, menyatakan PN Jakarta Pusat tak berwenang memutus permohonan PKPU yang diajukan Indo Veneer.

 

Alasan domisili tidak berdasar

Hanya saja, dewi fortuna nampaknya masih berpihak pada Indo Veneer. Pada tingkat kasasi maupun PK, perusahaan itu kembali dimenangkan oleh MA. Dalam putusan PK-nya MA menegaskan dalil Henrison Iriana tak dapat dibenarkan. Sebab, MA menilai tidak ada kekeliruan dalam putusan hakim kasasi yang memutus perkara itu.

 

Pasal 295 ayat (2) UU Kepailitan

Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan, apabila:

a.   setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan; atau

b.   dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata.

 

Pasal 235 ayat (1) UU Kepailitan

Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.

 

 

Selain itu, alasan Henrison yang menyatakan PN Jakarta Pusat telah melanggar UU Kepailitan tentang domisili debitur juga tidak berdasar. Alasannya, permohonan pailit yang diajukan Indo Jati ke PN Jakarta Pusat, berdasarkan alamat kantor yang menjadi alamat korespondensi yang diminta oleh Indo Veneer.

 

Indo Veneer meminta alamat korespondesi ditujukan ke kantor perwakilannya di Jakarta, yakni di Kompleks Permata Senayan Blok E No. 37-38, Jalan Tentara Pelajar, Jakarta Selatan. Sehingga hal itu, kata hakim, tidak dapat diharapkan dari Indo Jati untuk mengetahui kedudukan hukum Indo Veneer, sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasar perusahaan itu. Lagipula, lanjut hakim, sebagai debitur yang dimohonkan pailit, Indo Veneer tidak mengajukan keberatan tentang kewenangan PN Jakarta Pusat saat sidang pertama.

 

Alasan hakim lainnya mengacu pada Pasal 235 UU Kepailitan. Menurut hakim, jika dilihat pasal itu, maka putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum apapun, termasuk perlawanan.

 

Bisa timbulkan kekacauan hukum

Rupanya putusan ini membuat Ricardo Simanjuntak kecewa. Menurut dia, putusan hakim bisa menimbulkan ketidakpastian dan bahkan kekacauan hukum. Sebab,  kasus serupa bisa saja terulang.

 

Dia mencontohkan, ke depan, debitur yang berdomisili di Kalimantan, yang seharusnya dimohonkan pailit di PN Makasar, bisa dimohonkan pailit atau PKPU di PN Medan. Ini merupakan kasus pertama dalam sejarah kepailitan. Akibat putusan itu, prinsip domisili dalam UU itu bisa hancur, sesalnya.

 

Ricardo menambahkan, putusan itu juga dapat mengobrak-abrik seluruh sistem peradilan niaga yang telah dibangun dalam UU Kepailitan. Karena itu ia menyatakan kecewa terhadap putusan majelis hakim.

 

Tags: