Beda Pandangan Mengenai Dua Keppres Berbeda Pimpinan KPK
Berita

Beda Pandangan Mengenai Dua Keppres Berbeda Pimpinan KPK

Ada fatwa Mahkamah Agung yang menguatkan.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Dua Keputusan Presiden RI mengenai pengangkatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 menyisakan pertanyaan menarik. Apalagi Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri juga mengakui ini adalah kali pertama ada dua Keppres pengangkatan pimpinan dalam satu masa jabatan.

 

Keppres pertama Nomor 112/P Tahun 2019 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 21 Oktober 2019, memang lazim sebab berisi pengangkatan empat pimpinan KPK yaitu Firli Bahuri, Alexander Marwata, Nawawi Pamolango dan Lili Pintauli Siregar. Keppres ini juga berisi pemberhentian lima pimpinan KPK periode 2015-2019 yakni Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, Saut Situmorang dan Laode Muhammad Syarif.

 

Yang jadi perhatian Keppres Nomor 129/P Tahun 2019 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 2 Desember 2019, yang berisi pengangkatan Nurul Ghufron selaku pimpinan KPK masa jabatan 2019-2023. Keppres ini dilatari oleh Fatwa Mahkamah Agung Nomor: 333/KMA/HK.005/11/2019 tanggal 12 November 2019 yang menyatakan bahwa Nurul Ghufron telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk diangkat sebagai pimpinan KPK periode 2019-2023.

 

(Baca juga: Dua Keppres Berbeda dalam Pengangkatan 5 Pimpinan KPK)

 

Dalam poin keempat Fatwa MA menyebut Pemilihan Nurul Ghufron sebagai salah satu Calon Pimpinan KPK telah selesai dan sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara dalam poin kelima disebutkan UU No. 19 Tahun 2019 tentang perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diundangkan pada 17 Oktober 2019 tidak dapat diberlakukan surut.

 

"Berdasarkan uraian angka 1 sampai dengan 5 Mahkamah Agung berpendapat bahwa Dr. Nurul Ghufron, S.H., M.H dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Periode 2019-2023," begitu bunyi Fatwa MA yang ditandatangani Ketua Mahkamah A gung, M.Hatta Ali.

 

Dalam diktum kedua Keppres No. 129/P Tahun 2019 berisi pengangkatan Nurul Ghufron disebutkan bahwa Keputusan Presiden ini berlaku sejak saat pengucapan sumpah/janji pejabat sebagaimana dimaksud dalam Diktum kesatu Keputusan Presiden ini.

 

Keppres No. 129/P Tahun 2019 selengkapnya klik di sini. Untuk Keppres No. 112/P Tahun 2019, selengkapnya klik di sini.

Hukumonline.com

Hukumonline.com

Beda pendapat

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari menyatakan problematikanya bukan karena ada undang-undang baru yang tidak bisa berlaku surut, tetapi itu adalah kelalaian pemerintah dan DPR yang merevisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Menurutnya terlihat aneh jika pemerintah dan DPR yang membuat aturan namun mereka meminta penegasan MA atas aturan yang mereka buat sendiri.

 

"Mereka meningkatkan usia untuk membatasi orang tertentu terutama figur muda yang dianggap lebih kompeten. Dari kelalaian itu kemudian mereka baru sadar setelah proses hendak dilantik, timbul keragu-raguan untuk membatalkan itu salah satunya melalui fatwa MA," ujar Feri.

 

Ia berpendapat, proses seleksi para pimpinan KPK termasuk Nurul Ghufron sudah sesuai aturan, namun yang menjadi masalah ketika ia dilantik menjadi pimpinan KPK. Diketahui DPR menyelesaikan fit and proper test dan memilih pimpinan melalui mekanisme voting pada 13 September 2019, tapi proses pelantikan Nurul Ghufron dan para pimpinan lain baru dilakukan pada 20 Desemeber 2019 dimana UU No. 19 Tahun 2019 yang mengatur usia pimpinan KPK minimal 50 tahun dan maksimal 65 tahun telah berlaku sejak 17 Oktober 2019.

 

"Proses seleksi tidak ada masalah itu tetap sah, tetapi begitu dilantik dia langsung tidak memenuhi syarat sebagai pimpinan KPK berdasarkan UU baru. Kan itu syaratnya pimpinan, bukan syarat proses seleksi bukan syarat yang menghalangi proses sebelumnya tetapi sebagai pimpinan KPK," jelas Feri.

 

Selain itu terbitnya fatwa MA atas adanya polemik ini menurut Feri juga terlihat janggal. Menurutnya saat ini sudah ada Mahkamah Konstitusi (MK), maka seharusnya jika ada keragu-raguan mengenai produk undang-undang diajukan ke MK, bukan MA. "Fatwa MA ini kan problematikanya di UU, ada UU baru, bunyi berbeda dengan UU sebelumnya sehingga dengan konsep ketatanegaraan baru proses memastikan kebenaran ke MK bukan MA lagi, konsep fatwa berlakunya UU tidak lagi bisa digunanakan karena negara kita sudah punya MK. Jadi tidak ada fatwa MA terhadap daya laku nilai konstitusional, itu tidak benar," jelasnya.

 

(Baca juga: Banyak Disorot pada 2019, Harapan Besar Ada di Pundak KPK)

Hukumonline.com

Ahli Hukum Tata Negara Universitas Jember, Adam Muhsi mempunyai pandangan berbeda. Ia berpendapat syarat usia berdasarkan UU Revisi KPK itu harus dimaknai berlaku terhadap proses seleksi komisioner berikutnya sejak UU hasil revisi itu diundangkan. Hal itu sesuai dengan prinsip perundang-undangan yang berlaku sejak ia diundangkan dan tak boleh berlaku surut.

 

"Sedangkan proses seleksi komisioner KPK periode 2019-2023 dilaksanakan dan selesai pada rezim UU lama. Oleh karena itu, tak ada kekosongan hukum dalam hal itu," ujarnya.

 

Adam juga menyatakan hasil seleksi yang telah dilakukan sebelum UU revisi diundangkan adalah sah baik secara formil maupun materiil. Terkait Keppres, menurut dia, sifatnya hanya menetapkan secara formal terhadap akibat hukum (terpilihnya komisioner KPK) yang sah secara hukum berdasarkan seleksi UU lama. "Jadi tidak ada persoalan meskipun Keppres itu dikeluarkan setelah berlakunya UU baru," terangnya.

Tags:

Berita Terkait