Beda Pandang Menko Polhukam dengan LBH Jakarta Soal Perkembangan Demokrasi
Utama

Beda Pandang Menko Polhukam dengan LBH Jakarta Soal Perkembangan Demokrasi

Menko Polhukan melihat indeks persepsi demokrasi Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan. LBH Jakarta menilai demokrasi berjalan mundur karena penegakan hukum diabaikan.

Ady Thea Dian Achmad
Bacaan 2 Menit
Menko Polhukam Mahfud MD. Foto: RES
Menko Polhukam Mahfud MD. Foto: RES

Demokrasi yang berkembang di Indonesia sejak reformasi diapresiasi masyarakat internasional. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki peran strategis dalam mempromosikan demokrasi di kawasan Asia Tenggara. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menilai perkembangan demokrasi di Indonesia tidak terlalu buruk. Hal tersebut dapat dilihat dari indeks persepsi demokrasi Indonesia yang meningkat setiap tahun.

 

“Perkembangan demokrasi kita tidak jelek-jelek banget. Pada tahun 2017, indeks persepsi demokrasi kita 72,18, pada tahun 2018 itu 72,39, naik. Mudah-mudahan tahun 2019 pemilu kemarin juga naik dan yang akan datang,” ujar Mahfud sebagaimana dilansir polkam.go.id, Kamis (12/12).

 

Mahfud mengajak semua pihak untuk bersama meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Dia mengakui masih ada kalangan yang belum puas terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia, bahkan ada yang menyebut kebablasan, kampungan, dan kriminal.

 

“Ternyata indeksnya itu 72,39, cukup, tidak jelek, meskipun belum bagus benar. Kita usahakan indeks demokrasi kita akan naik, tentu tidak cukup hanya dengan Pilkada dan sebagainya,” katanya.

 

Mahfud mengingatkan demokrasi di era orde baru Pilkada dilaksanakan melalui pemilihan langsung oleh DPRD. Tapi proses itu kemudian dinilai tidak baik, rawan politik uang, oleh karena itu diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat.

 

Dalam kesempatan itu, Menko Polhukam bercerita mengenai proses demokrasi Indonesia sejak masa Orde Baru hingga Reformasi. Pada saat Orde Baru, Pilkada dilaksanakan melalui pemilihan langsung oleh DPRD. Namun karena prosesnya dinilai tidak baik, rawan terhadap politik uang, maka diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat.

 

“Bagaimana pun kita harus laksanakan pemilu rakyat dengan sebaik-baiknya. Peran media massa sangat besar bagi pemilu berkualitas, peran pengawas pemilu Bawaslu, penyelenggara pemilu, Polri, dan TNI. Pilkada itu masuk bagian dari pemilu,” kata Mahfud.

 

(Baca Juga: RPJMN 2020-2024 Dinilai Lupakan Sektor Hukum dan HAM)

 

Direktur LBH Jakarta Arif Maulana melihat sebaliknya. Menurutnya, perkembangan demokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami kemerosotan. Catatan Akhir Tahun (catahu) LBH Jakarta 2019 menunjukan demokrasi, hukum, dan HAM mengalami kemunduran. LBH Jakarta menerima 1.496 pengaduan di tahun 2019. Pengaduan tahun ini jumlahnya lebih banyak daripada tahun 2018 sebesar 1.148 pengaduan.

 

Arif mengatakan ada banyak hal yang menyebabkan meningkatnya jumlah pengaduan itu antara lain kondisi demokrasi, hukum, dan HAM yang mengalami kemerosotan. Arif mencatat banyak produk hukum yang tidak memberi keadilan bagi masyarakat, terutama korban. Kinerja aparat penegak hukum juga perlu dievaluasi karena transparansi dan akuntabilitasnya menurun.

 

Menurut Arif, akselerasi kemunduran demokrasi terjadi di era pemerintahan Joko Widodo. Hal itu terjadi karena pemerintah mengabaikan rule of law, pemberantasan korupsi dan penegakan HAM. Melansir data The Economist Intelligence Unit, indeks demokrasi mengalami kemunduran sampai 20 peringkat di tahun 2017-2018 dan stagnan pada tahun 2019.

 

Kemunduran demokrasi di Indonesia bagi Arif dapat dilihat dari ruang kebebasan sipil yang makin sempit. Demonstrasi pelajar dan mahasiswa direpresi secara brutal, dan ormas dapat dibubarkan tanpa mekanisme pengadilan. Kemudian revisi UU KPK mengabaikan suara rakyat dan penegakan hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

 

Sebelum dilantik sebagai Menteri, Arif mencatat Mahfud pernah menyebut demokrasi di Indonesia dibelokkan menjadi prosedural dan dikuasi oligarki dan elit tertentu. Tapi sejak dilantik sebagai menteri Arif melihat pandangan Mahfud terkait demokrasi sekarang berbalik. “Saya heran, setelah menjadi menteri pandangan beliau menjadi kabur. Seperti halnya penilaian ngawur bahwa tidak ada pelanggaran HAM di era pemerintahan Jokowi,” katanya ketika dihubungi, Senin (16/12).

 

Untuk diketahui, dari 1.496 pengaduan yang diterima LBH Jakarta berdasarkan kategori pelanggaran tercatat sebanyak 535 kasus yang diadukan masuk kategori pelanggaran hak sipil dan politik (sipol); pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) 357 kasus; dan kelompok khusus 269 kasus.

 

Berdasarkan jenis kasus yang diadukan, Arif memaparkan 514 kasus nonstruktural seperti pidana dan perdata. Kemudian 431 kasus perkotaan dan masyarakat urban antara lain persoalan tanah dan tempat tinggal, pendidikan, pelayanan publik, dan kesehatan. Sebanyak 203 kasus keluarga, seperti perceraian, waris, dan KDRT. Selanjutnya 196 kasus perburuhan seperti hubungan kerja dan hak-hak normatif ketenagakerjaan.

 

Dalam beberapa tahun terakhir, kasus yang paling banyak diadukan ke LBH Jakarta biasanya terkait dengan kasus perburuhan. Tapi ada tren baru tahun ini dimana jumlah kasus pengaduan paling banyak berkaitan soal investasi dan perkembangan teknologi, seperti pinjaman daring; penyadapan sewenang-wenang terhadap aktivis HAM; persekusi akibat penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian. Lalu, kasus pelecehan seksual melalui media sosial dan perjanjian yang tidak adil antara pengemudi dan perusahaan transportasi daring melalui “perjanjian kemitraan.”

 

“Sepanjang 2019 LBH Jakarta menangani sekitar 5 ribu kasus pelanggaran hukum dan HAM yang terkait dampak negatif perkembangan teknologi dan digitalisasi,” papar Arif beberapa waktu lalu.  

 

Meski kasus terkait investasi dan perkembangan teknologi paling tinggi diadukan masyarakat ke LBH Jakarta, tapi bukan berarti kasus perburuhan jumlahnya turun. Pengaduan terkait kasus perburuhan masih terbilang tinggi. Dari 121 pengaduan yang ditindaklanjuti LBH Jakarta selama 2019, kasus paling banyak terkait soal perkotaan dan masyarakat urban (36 kasus), sipol (29 kasus), dan perburuhan (24 kasus).

 

Arif memperkirakan dalam 5 tahun ke depan tren pengaduan yang akan masuk ke LBH Jakarta tidak jauh berbeda dengan tahun ini, di mana kasus yang paling banyak diadukan terkait pelanggaran hak sipol. Hal ini dipicu oleh kebijakan Presiden Jokowi dalam 5 tahun ke depan yang mengutamakan pembangunan infrastruktur, ekonomi, dan memberi karpet merah untuk investasi (pembangunan ekonomi). Kebijakan itu membuat pembangunan di sektor hukum, HAM, dan demokrasi dikesampingkan atau terabaikan.

 

“Untuk mendorong masuknya investasi pemerintah membutuhkan deregulasi (penyederhanaan regulasi), ketersediaan tanah dan buruh murah. Oleh karena itu, pemerintah menggulirkan sejumlah kebijakan pendukung, salah satunya omnibus law. Ini memicu pelanggaran sipol dan ekosob semakin meningkat,” bebernya.

 

Tags:

Berita Terkait