Beda Kebijakan Platform Medsos dengan Regulasi Negara Timbulkan Kekhawatiran
Terbaru

Beda Kebijakan Platform Medsos dengan Regulasi Negara Timbulkan Kekhawatiran

Ada ketegangan tertentu ketika pemerintah menyuruh take down sementara standar komunitasnya (platform media sosial) mengatakan tidak.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Peneliti CfDS Novi Kurnia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (22/6/2023).
Peneliti CfDS Novi Kurnia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (22/6/2023).

Center for Digital Society (CfDS)-UGM merilis hasil penelitian terkait kerangka hukum Indonesia menangani konten berbahaya dan dinamika penggunaan media sosial. Penelitian ini salah satunya untuk mengantisipasi penyebaran konten berbahaya dan disinformasi selama momentum Pemilu 2024. Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah tentang disparitas pengaturan dan mekanisme penanganan konten antara pemerintah dan platform media sosial. 

Peneliti CfDS Novi Kurnia mengungkap dalam penelitian yang dilakukan lembaganya, ditemukan tren yang mengkhawatirkan mengenai disparitas pengaturan dan mekanisme penanganan konten berbahaya antara yang diatur oleh pemerintah lewat sejumlah regulasi dengan yang diatur oleh platform media sosial. 

“Karena ada ketegangan tertentu ketika pemerintah menyuruh take down sementara standar komunitasnya (platform media sosial) mengatakan tidak, maka ketegangan itu terjadi,” ujar Novi Kurnia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (22/6/2023).  

Baca Juga:

Novi juga mengungkapkan sejumlah catatan terkait kerangka hukum dan mekanisme penegakan aturan terkait penyebaran konten-konten berbahaya di platform media sosial. Menurut Novi, aturan yang ada membuat opsi penyelesaian problem ini sering melalui mekanisme pengadilan. 

“Konsekuensi mekanisme pengadilan lewat tuntutan pidana atau non pengadilan lewat penyelesaian sengketa dan tindakan administratif,” ujar Novi. 

Hal ini, menurut Novi akibat dari penggunaan pendekatan punitif dalam menekan penyebaran konten berbahaya, hoaks, dan disinformasi. Sejumlah ketentuan seperti Undang-Undang ITE, Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik, serta Permenkominfo Nomor 5 tabun 2020 tentang PSTE Lingkup Privat dianggap mengadopsi pendekatan punitif. 

“Artinya ketika ada persoalan undang-undang digunakan untuk menghukum, bukan untuk memoderasi,” lanjut Novi. 

Ia menilai kerangka hukum yang telah tersedia masih multitafsir dalam memperkenalkan sejumlah istilah. Dia memberi contoh tentang istilah moralitas. Menurutnya, dalam menerjemahkan arti moralitas dalam aturan yang ada, penegak hukum akan kesulitan karena pada dasarnya istilah ini mengandung banyak makna. Hal yang sama akan terjadi dengan istilah mengganggu ketertiban umum.

“Ini definisinya bisa menyebabkan multitafsir dan kontroversial,” ujar Novi. 

Di tempat yng sama, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Itje Chodijah menyebutkan, dalam rangka menghadapi momentum Pemilu 2024 diperlukan upaya lebih untuk mengedukasi masyarakat lewat platform media sosial. 

Menurut Itje, platform media sosial bisa berperan sebagai alat edukasi untuk masyarakat agar masyarakat mampu mencermati dan memilih antara informasi yang benar dan informasi yang salah. “Dalam jangka pendek yang akan paling ampuh mendidik masyarakat adalah media. Bukan hanya pidato-pidato oleh pihak-pihak yang resmi,” tutup Itje. 

Tags:

Berita Terkait