Beberkan Masalah Pertanahan, Mahfud MD Sebut Potensi Pengadilan Khusus Pertanahan
Terbaru

Beberkan Masalah Pertanahan, Mahfud MD Sebut Potensi Pengadilan Khusus Pertanahan

Tidak mudah menyelesaikan masalah atau sengketa pertanahan melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Masalah agraria dan pertanahan masih menjadi pekerjaan rumah yang belum bisa dituntaskan pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), M. Mahfud MD mengatakan pihaknya tak cukup hanya mengadakan sekali atau beberapa kali pertemuan dengan berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah pertanahan yang diadukan masyarakat.

“Karena sangat rumit, hukum yang ada juga rumit, tapi kalau tidak dijalankan secara hukum juga susah,” kata Mahfud MD dalam konferensi pers yang diunggah di kanal video akun Kemenkopolhukam, Kamis (19/1/2023) lalu.

Mahfud berkesimpulan salah satu sebab rumitnya penyelesaian kasus pertanahan dan agraria karena “mafia” melakukannya dengan cara melanggar hukum, sehingga tindakan itu bisa dilakukan secara cepat. Sementara penanganannya harus mengikuti prosedur hukum yang berlaku.

Jumlah kasus pertanahan yang diadukan masyarakat ke Kemenkopolhukam, menurut Mahfud jumlahnya tidak sedikit. Ada belasan modus yang digunakan mafia dalam berbagai kasus pertanahan. Misalnya, tanah masyarakat sudah bersertifikat, ketika mau digunakan pemiliknya tanah itu diserobot pihak lain yang tidak memiliki hak.

Ada juga tanah negara yang dimiliki BUMN, tiba-tiba ada pihak yang menjualnya atau sudah ada pihak lain yang mendirikan bangunan. Persoalan lainnya, tanah yang sudah ditempati secara turun-temurun oleh masyarakat, tapi tidak bersertifikat. Kemudian ada pihak yang mengklaim memiliki sertifikat atas tanah itu. “Tanah itu tidak bersertifikat, lalu ada orang yang memperjualbelikan tanpa sepengetahuan penghuninya,” beber Mahfud.

Kemudian ada tanah yang diklaim masyarakat hukum adat di atas tanah yang sudah bersertifikat. Masyarakat yang ingin menempati tanah itu kemudian dilaporkan ke polisi. Persoalan pertanahan, menurut Mahfud ada juga yang terjadi akibat kesalahan pihak kantor pertanahan, misalnya dalam penerbitan sertifikat hak tanah ada kesalahan batas tanah dan pemetaan, sehingga tumpang tindih atau terbit sertifikat lebih dari satu. Penyelesaiannya berujung ke pengadilan dan putusan pengadilan bisa bermacam-macam.

“Ini tidak mudah, kami sudah melakukan pemetaan terhadap masalah yang ada tapi penyelesaiannya tidak mudah melalui hukum yang ada,” kata Mahfud.

Berdasarkan berbagai persoalan itu, Mahfud membuka diskusi soal bagaimana cara menyelesaikan masalah pertanahan. Dalam beberapa kali sidang kabinet, sempat ada usulan dibentuknya pengadilan yang khusus menangani perkara pertanahan. Hukum acara yang digunakan juga khusus, begitu juga eksekusinya.

Terpisah, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan usulan pengadilan khusus pertanahan bukan gagasan baru. Beberapa kali wacana itu pernah muncul, misalnya dalam RUU Pertanahan tahun 2019 ada bab khusus tentang pengadilan pertanahan. Kendati pengadilan khusus pertanahan itu diperlukan, tapi ada sejumlah syarat yang perlu diperhatikan. Antara lain konflik pertanahan masalah pertanahan tidak bisa disamakan sebagai sengketa pertanahan biasa yang penyelesaiannya bisa efektif di pengadilan.

Dewi mengingatkan konflik pertanahan atau agraria yang bersifat struktural tak bisa begitu saja diselesaikan melalui mekanisme pengadilan. Terbukti selama ini putusan pengadilan tidak efektif menyelesaikan konflik pertanahan dan agraria struktural. Ada putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, tapi tidak bisa dieksekusi. Parahnya, pengadilan kerap menjadi ruang bagi mafia peradilan menjalin kerja sama dengan mafia tanah.

“Dalam banyak kasus mafia tanah sering menggunakan celah hukum melalui pengadilan untuk memenangkan kasus pertanahan. Misalnya, antar mafia tanah saling menggugat, sehingga yang menang sudah dipastikan mafia itu sendiri,” kata Dewi saat dikonfirmasi, Selasa (24/1/2023).

Begitu juga ketika masyarakat yang menjadi korban berhadapan dengan mafia tanah yang punya jejaring dan akses di berbagai tempat termasuk pengadilan. Oleh karena itu, Dewi mengingatkan jangan sampai pengadilan pertanahan menjadi suaka bagi mafia tanah seolah menjadi tempat mafia mendapat legitimasi hukum atas kejahatannya.

Tags:

Berita Terkait