Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian V)
Kolom

Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian V)

Tulisan mengenai upaya memperbaiki kelalaian ini merupakan bagian akhir atau penutup dari rangkaian artikel tentang somasi.

Bacaan 2 Menit
Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian V)
Hukumonline

Memperbaiki Kelalaian

Menjadi pertanyaan, apakah debitur masih bisa memperbaiki kelalaiannya? Kalau kita berbicara tentang “memperbaiki kelalaian”, maka sudah tersimpul di sana, bahwa debitur sudah berada dalam keadaan wanprestasi. Jadi pertanyaannya adalah, apakah debitur yang sudah berada dalam keadaan lalai –sudah wanprestasi– masih boleh menyusulkan prestasinya dan dianggap tidak wanprestasi? Dengan kata lain, apakah debitur yang wanprestasi boleh memperbaiki kesalahannya, dengan konsekuensinya ia tidak lagi berada dalam keadaan lalai?

 

Karena kreditur pada asasnya tidak harus menggunakan haknya, maka dengan sepakat kreditur, seorang debitur boleh memperbaiki kekurangannya. Jadi masalahnya sudah tentu adalah, apakah tanpa persetujuan kreditur, debitur bisa dibenarkan untuk secara sepihak memperbaiki kekurangannya, dan memaksa kreditur harus mau menerimanya?

 

Pertama-tama tentunya harus dipertanyakan dulu, apakah prestasinya masih mempunyai nilai yang baik bagi kreditur? Kalau sudah tidak mempunyai nilai lagi atau paling tidak, sudah tidak mempunyai nilai sebagaimana seandainya prestasi itu diberikan dengan baik, maka kreditur berhak untuk menolak prestasi debitur yang disusulkan. Kiranya adil kalau kewajiban untuk membuktikan, bahwa prestasinya masih mempunyai nilai yang sama bagi kreditur, dengan seandainya diserahkan pada saat yang seharusnya, ada pada debitur.

 

Bagaimana kalau prestasi itu masih baik bagi kreditur?

Mengenai masalah ini ada perbedaan pendapat di antara para sarjana. Sebagian mau menerima perbaikan oleh debitur, sebagian lain menolak (J. Satrio, Perikatan Pada Umumnya, hal. 140. Losecaat Vermeer, hal. 185, Rutten, Verbintenissenrecht, hal. 184, A. Pitlo- Bolweg,  hal. 57).

 

Kalaupun debitur diberikan hak untuk memperbaiki kelalaiannya, kiranya hak itu  perlu dibatasi sampai sesaat sebelum kreditur menyatakan sikapnya atas wanprestasi debitur. Atas wanprestasi debitur, kreditur punya pilihan untuk (i) tetap minta pemenuhan prestasi dari debitur, baik disertai atau tidak disertai dengan tuntutan ganti rugi; atau (ii) menuntut pembatalan, baik disertai dengan atau tanpa tuntutan ganti rugi. Kalau kreditur sudah menyatakan menuntut pembatalan perjanjian, maka debitur tidak bisa lagi memaksakan perbaikan kelalaian, sebab kalau dimungkinkan seperti itu, maka debitur pada waktu disomir bisa tetap enak-enak saja, sebab nanti kalau kreditur ngotot minta pembatalan, toh prestasi masih bisa disusulkan. Lalu dimana kepastian hukum. Mestinya upaya membantu meringankan beban debitur tidak boleh dengan mengorbankan kepentingan kreditur. 

 

Bagaimana kalau kreditur menuntut pemenuhan? Kalau kreditur hanya menuntut pemenuhan saja, kiranya tidak ada masalah. Debitur bisa memberikan prestasinya, kan yang diminta prestasi yang terhutang. Namun keadaan menjadi lain, kalau kreditur menuntut pemenuhan ditambah dengan ganti rugi. Harap diingat, sebagaimana sudah dikatakan di atas, permasalahannya adalah apakah dengan menyusulkan prestasi, debitur bisa memperbaiki kelalaiannya, sehingga menjadi tidak wanprestasi? Keadaan seperti itu bertentangan dengan tuntutan ganti rugi oleh kreditur, sebab hak atas ganti rugi yang dipunyai kreditur timbul dari wanprestasinya debitur. Jadi, bagaimanapun hak debitur untuk memperbaiki kelalaian dibatasi (i) sebelum kreditur menyatakan sikapnya terhadap wanprestasi debitur, dan (ii) kecuali kalau kreditur hanya menuntut pemenuhan saja.

 

Sudah tentu adalah menarik untuk mengetahui, apa dasar dari mereka yang menyetujui, bahwa debitur boleh memaksakan perbaikan atas kelalaiannya terhadap kreditur, selama kreditur belum menentukan sikap atas wanprestasinya debitur.

 

Kita coba telusuri dulu, bagaimana posisi debitur dalam waktu, antara saat debitur wanprestasi dan saat kreditur menyatakan sikanya. Kita perlu mencari tahu, sejak kapan suatu perikatan batal atas dasar adanya wanprestasi. Berdasarkan Pasal 1266 BW, semua perjanjian timbal balik mengandung syarat batal, yaitu perjanjian menjadi batal, kalau dipenuhi syarat: debitur wanprestasi. Namun kebatalan itu tidak terjadi demi hukum, tetapi harus dimintakan pembatalannya kepada Hakim. Nah, sekarang kita perlu tahu, hak kreditur untuk menuntut pembatalan perjanjian berlangsung sampai kapan?  Pasal 1454 BW mengatakan: “Dalam semua hal, dimana suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan tidak dibatasi dengan suatu ketentuan undang-undang khusus hingga suatu waktu yang lebih pendek, waktu itu adalah 5 tahun”.

 

Apa kesimpulan yang bisa kita tarik? Ternyata kreditur boleh menunggu sampai 5 tahun sebelum ia terpaksa harus menyatakan, bahwa ia menghendaki perjanjian dibatalkan. Selama 5 tahun kreditur boleh tinggal diam dulu.

 

Apa konsekuensinya bagi debitur? Karena atas wanprestasi dari debitur, kreditur punya beberapa pilihan sikap, yaitu  - (i) menuntut pemenuhan, baik disertai atau tidak disertai dengan ganti rugi,  - (ii) menuntut pembatalan, dengan disertai atau tanpa tuntutan ganti rugi, maka selama waktu debitur hidup dalam ketidakpastian. Debitur tidak bisa menduga sikap apa yang akan diambil oleh kreditur, yang berarti ia tidak bisa membuat persiapan prestasi yang pasti.

 

Untuk menjaga kemungkinan kreditur tetap menuntut pemenuhan, maka debitur harus menyiapkan prestasi yang akan dituntut oleh kreditur, terutama karena ada resiko kenaikan harga. Kalau prestasi itu belum dipunyai oleh debitur, maka ia harus cepat-cepat membelinya dari pihak lain, untuk menjaga kenaikan harga. Apalagi kalau kreditur menuntut ganti rugi juga. Bukankah ganti rugi dalam peristiwa seperti itu dihitung dari selisih antara harga pada saat transaksi ditutup dengan harga pada saat prestasi diberikan? Namun tidak ada yang bisa menjamin atau menerka, apakah kreditur benar akan menuntut pemenuhan. Bukankah kreditur bisa menuntut pembatalan? Kalau kreditur menuntut pembatalan, maka semua persiapan menjadi tidak berguna. Bayangkan kalau prestasi sudah disiapkan oleh debitur dan setelah menunggu sekian tahun, tahu-tahu kreditur minta pembatalan, berapa ruginya debitur? Memang harus diakui, bahwa semua itu terjadi karena ulah debitur sendiri, bukankah itu buntut dari wanprestasinya debitur? Dan di samping itu, dengan wanprestasinya debitur, debitur mungkin sekali telah membawa kreditur dalam keadaan yang tidak baik dan kesempatan kepada debitur untuk memaksakan prestasi susulan bisa membuat posisi kreditur menjadi lebih sulit (Rutten, Verbintenissenrecht, hal. 185).

 

Namun patut untuk juga dipertimbangkan, apakah kreditur patut untuk menyiksa debitur, kalau kreditur bisa mencapai hasil yang sama dengan cara yang lebih sedikit menyiksa debitur, kalau kreditur tidak punya keperluan untuk berbuat seperti itu? Bukankah bisa kita katakan, bahwa sikap kreditur menunda-nunda pernyataan sikapnya, tanpa suatu kepentingan yang patut, merupakan penyalahgunaan hak dan karenanya sikap yang demikian adalah melawan hukum? Paling tidak, bukankah sikap kreditur seperti itu menunjukkan adanya iktikad buruk dari kreditur, dan karenanya tidak perlu mendapat perlindungan hukum?

 

Dengan latar belakang pemikiran seperti tersebut di atas, kiranya kita bisa mengerti pendirian para sarjana, yang menyetujui prinsip, bahwa selama kreditur, atas wanprestasinya debitur,  belum mengambil sikap, yang tidak memungkinkan lagi debitur menyusulkan prestasi dengan tanpa merugikan kreditur, maka kiranya patut, kalau debitur bisa mendesak agar kreditur menerima prestasi susulan debitur. “ Mendesak “ di sini adalah “ secara sepihak “ memaksa kreditur untuk menerima susulan prestasi. Kalau dengan persetujuan kreditur, tidak perlu dipermasalahkan. Para pihak bisa saling sepakat untuk merubah perjanjian, bahkan bisa membatalkan perjanjian yang ada (Pasal 1338 ayat 2 BW). Dengan dibenarkannya debitur menyusulkan prestasi sesudah debitur wanprestasi, maka debitur sekarang punya sarana untuk mengakhiri waktu penantian pernyataan sikap kreditur – yang tanpa ada kepastian -- yang sangat menyakitkan baginya.

 

Yang perlu ditegaskan di sini adalah, bahwa dengan menyusulkan prestasi, debitur tidak lagi memikul akibat dari wanprestasi, unsur kelalaiannya menjadi hapus, dengan konsekuensinya lebih lanjut, kreditur tidak berhak atas tuntutan ganti rugi.

 

Yang belum dibahas adalah, apakah kreditur boleh (dibenarkan) menerima prestasi debitur yang sudah wanprestasi? Kalau tidak boleh, untuk apa kita permasalahkan upaya prestasi susulan debitur?

 

Sudah tentu bisa. Kiranya tidak ada dasar untuk melarang kreditur menyetujui dan menerima susulan prestasi. Dalam peristiwa seperti di sini, yang bisa dipermasalahkan adalah apakah kreditur punya hak untuk menolak prestasi susulan? Kalaupun pada kreditur adalah “hak“, hak untuk menolak prestasi yang disusulkan, perlu diingat suatu hak boleh digunakan boleh tidak. Kalau “harus“ dilaksanakan itu namanya“ kewajiban “ bukan hak. Terhadap hutang debitur, kreditur bahkan berhak untuk membebaskan debitur dari kewajiban pembayarannya (kwijtschelden). Dengan demikian, kalau seorang penyewa mengirimkan uang sewa kepada pemilik rumah, sesudah penyewa berada dalam keadaan lalai, dan uang itu diterima oleh orang yang menyewakan, maka dengan penerimaan itu haruslah dianggap, bahwa orang menyewakan menerima dengan baik prestasi yang disusulkan sebagai tindakan debitur memperbaiki kelalaiannya. Jalan pikiran seperti itu juga dipunyai oleh RvJ Surabaya dalam keputusannya tanggal 22 September 1926, dimuat dalam T.127 : 226.

 

Dengan dasar pemikiran seperti tersebut di atas, kiranya kita, atas dasar pertimbangan kepatutan, bisa menerima, bahwa debitur harus diberikan hak untuk memperbaiki kelalaiannya dengan menyusulkan prestasinya yang terhutang, selama kreditur belum mengambil sikap, yang tidak memungkinkan lagi debitur menyusulkan prestasinya, tanpa merugikan kreditur. Jadi dasarnya adalah kepatutan. (Selesai).

 

 

Purwokerto, 17 September 2010

 

-----

*) Penulis adalah pemerhati masalah hukum. Tinggal di Purwokerto.

 

 

-----------------

 

Catatan literatur

 

C. Asser – P.A.J. Losecaat Vermeer, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands    Burgelijk Recht, Derde Deel,Verbintenissenrecht, eerste stuk.

 

Asser C. - L.E.H. Rutten,  Handleiding tot de beoefening van het Nederlands Burgelijk Recht, Verbintenissenrecht, De Verbintennis in het Algemeen, cetakan keempat, Tjeenk Willink, Zwolle 1973.

 

J. Satrio,  Hukum  Perikatan,  Perikatan Pada Umumnya,  Alumni, Bandung 1993.

 

Pitlo, A - M.F.H.J. Bolweg,  Het Nederlands Burgelijk Wetboek, Deel 3, Alge-meen Deel van het Verbintenissenrecht, cetakan kedelapan, Gouda Quint BV, 1979.

Tags: