Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian IV)
Kolom

Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian IV)

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tiga tulisan terdahulu. Masih membahas soal somasi dikaitkan dengan asas exceptio non adempleti contractus.

Bacaan 2 Menit
Beberapa Segi Hukum Tentang Somasi (Bagian IV)
Hukumonline

Exceptio non adimpleti contractus

Ekseptio non adimpleti contractus adalah suatu tangkisan, yang mengatakan anda sendiri belum berprestasi dan karenanya anda tidak patut untuk menuntut saya berprestasi. Eksepsi ini dikemukakan untuk melawan tuntutan kreditur akan pemenuhan perikatan. Sudah bisa diduga, bahwa tangkisan itu hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik saja.

 

Masalahnya adalah, bagaimana kalau tangkisan itu dikemukakan untuk melawan somasi kreditur?  Dengan kata lain, apakah ada kewajiban bagi kreditur untuk memenuhi kewajibannya sendiri lebih dahulu, sebelum ia mensomir debiturnya?

 

Di dalam BW tidak ada ketentuan umum tentang hal itu. Jadi secara umum tidak disyaratkan, bahwa kreditur harus memenuhi kewajiban perikatannya lebih dahulu, sebelum ia mensomir debitur. Namun para sarjana pada umumnya mengakui hak tangkisan seperti itu (Rutten, Overeenkomten, hal. 325).

 

Bagaimana pendapat yurisprudensi? Pendapat Pengadilan mengenai hal ini tidak jelas. Namun demikian secara umum diterima pendapat, bahwa para pihak dalam perjanjian tetap harus memenuhi kewajibannya, sekalipun pihak lain wanprestasi (Rutten, loc.cit.). Jadi tidak nampak diterima asas exeptio non adimpleti contractus. Konsekuensinya, seorang penyewa yang mengemukakan, bahwa lawan janjinya wanprestasi, tidak membebaskan dirinya sendiri untuk berprestasi (HgH Batavia 24 Maret 1938, T. 147 : 700).

 

Debitur yang melawan dengan exceptio non adimpleti contractus tentunya mau menghindar dari kewajibannya memenuhi perikatan. Lalu bagaimana jalan keluarnya, kalau debitur mau terlepas dari kewajiban perikatannya?

 

Ya, dengan menuntut pembatalan perjanjian. Pada asasnya tuntutan pemenuhan dan pembatalan bisa dikemukakan para pihak dalam perjanjian, terlepas dari, apakah ia sendiri sudah memenuhi kewajibannya atau belum.

 

Namun demikian, mengingat dalam perjanjian timbal balik kedua prestasi timbal balik berhubungan sangat erat satu sama lain, maka kiranya bisa diterima, bahwa kalau pihak yang satu menuntut pemenuhan dari pihak yang lain, maka ia sendiri sudah harus memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian ybs. Hal itu berarti, bahwa mestinya exeptio non adimpleti contractus bisa diterima secara umum.

 

Khusus untuk perjanjian jual beli, ada suatu ketentuan yang mengandung syarat seperti itu, sebagai yang diatur dalam Pasal 1478 BW. Untuk jelasnya, kita kutip Pasal 1478 BW yang  berbunyi: “Si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedang si penjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya“.

 

Apakah dengan itu berarti, bahwa pembeli harus memenuhi kewajiban pembayarannya lebih dahulu, sebelum mensomir penyerahan barang yang ia beli dari penjual? Ya, benar sekali.

 

Kita coba sekarang untuk meninjau ketentuan yang mengatur kewajiban pembeli. Dalam Pasal 1513 BW dikatakan, bahwa: “Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian“.

 

Lalu dalam Pasal 1517 BW dikatakan: “Jika si pembeli tidak membayar harga pembelian, si penjual dapat menuntut pembatalan pembelian, menurut ketentuan ketentuan-ketentuan pasal 1266 dan 1267“.

 

Jadi memang ada ketentuan yang mewajibkan pembeli membayar harga pembelian, dan dari pasal-pasal itu nampak, bahwa pembeli harus membayar lebih dahulu untuk dapat menuntut penyerahan barang dari penjual. Sebaliknya – sebagaimana sudah disebutkan di depan -- dalam Ps. 1478 BW dikatakan, bahwa: “Si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedang si penjual tidak telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya“.

 

Kesimpulannya pembeli baru bisa melancakan somasi kepada penjual secara sah, kalau ia telah membayar harga pembeliannya kepada penjual.

 

Apa yang dimaksud dengan “penjual mengizinkan penundaan pembayaran“? Maksudnya penjual telah memberikan kesempatan untuk tidak segera membayar harga pembelian dan penundaan yang demikian tidak menghalangi pembeli melancarkan somasi menuntut penyerahan, sekalipun pembeli belum membayar harganya.

 

Bagaimana kalau somasi pembeli ditujukan kepada penjual – untuk penyerahan barang yang dibeli – tetapi disertai dengan janji untuk membayar harganya atau dengan menawarkan uang harga pembelian?

 

“Menawarkan pembayaran“ atau “menjanjikan pembayaran“ belum cukup untuk memenuhi ketentuan Pasal 1478 BW, yang mensyaratkan pembeli untuk                       “membayar harganya“.

 

Kesimpulannya, somasi pembeli kepada penjual untuk penyerahan obyek jual beli, yang disertai dengan penawaran atau janji pembayaran, bukan merupakan somasi yang sah.

 

Bagaimana kalau penyerahan itu dilakukan dengan syarat “loco gudang penjual“ padahal barang itu sudah keluar dari gudangnya? Keluar dari gudang belum berarti telah sampai pada kreditur. Apakah dalam peristiwa seperti itu kreditur masih mempunyai hak untuk melancarkan somasi?

 

Mengapa dipersoalkan? Karena bukankah  klausula “loco gudang“ baru mengatur siapa saja yang  menanggung resiko, dengan kata lain mengatur, sampai sejauh mana debitur menanggung kerugian atas obyek jual beli yang ada diluar salahnya?

 

Klausula seperti itu baru mempunyai arti, bahwa kalau ada kerugian yang timbul pada benda itu sesudah keluar dari gudang -- diluar salahnya penjual -- kerugian menjadi tanggungan pembeli. Klausula seperti itu belum membuktikan, bahwa benda yang diserahkan adalah sesuai dengan yang diperjanjikan. Dengan kata lain, hal itu berarti, bahwa kalau ada kekeliruan debitur atas benda yang diserahkan, kekeliruan itu tetap menjadi tanggungan penjual. Bukankah kewajiban penjual adalah memberikan prestasi yang telah diperjanjikan?

 

Masalahnya, apakah kalau kreditur masih menghendaki penyerahan benda yang diperjanjikan, ia perlu memberikan somasi?

 

Kalau kreditur masih menghendaki prestasi yang benar dari debitur –dengan kata lain masih menghendaki debitur menyerahkan benda yang diperjanjikan-- maka kreditur tidak perlu melancarkan somasi. Undang-undang –dalam peristiwa salah berprestasi -- tidak menuntut adanya somasi lebih dahulu (HgH Batavia 3 November 1904). Hak untuk menuntut pemenuhan perikatan dipunyai kreditur berdasarkan perikatan itu sendiri. Kreditur cukup protes, menawarkan penyerahan kembali benda yang telah diberikan kepadanya, dan minta penyerahan benda yang telah diperjanjikan.

 

Yang tidak memerlukan somasi

Bagaimana kalau kreditur masih menghendaki penyerahan prestasi yang benar, tetapi disamping itu juga menuntut ganti rugi?

 

Memang dengan wanprestasinya debitur, kreditur berhak untuk menuntut pemenuhan perikatan disertai dengan ganti rugi (Pasal 1267 BW), namun untuk itu debitur harus sudah berada dalam keadaan lalai, sehingga disini diperlukan adanya somasi (Pasal 1243 BW).

 

Masalahnya sekarang, apakah dengan prestasi yang keliru, debitur sudah berada dalam keadaan wanprestasi dan karenanya tidak perlu ada somasi lagi? Dengan konsekuensinya, kreditur bisa menuntut pemenuhan disertai dengan ganti rugi atau menuntut pembatalan perikatan atau menuntut pembatalan disertai dengan ganti rugi?

 

Kalau --seperti disebutkan di atas-- salah berprestasi adalah sama dengan tidak berprestasi, maka mestinya pada peristiwa salah berprestasi, sama dengan pada peristiwa tidak berprestasi, tidak perlu ada somasi, karena dengan itu saja ia sudah dalam keadaan lalai dan karenanya wanprestasi (Rutten, Verbintenissenrecht, hal. 176). Dengan demikian, kalau gugatan kreditur didasarkan atas tindakan debitur yang bertentangan dengan kewajibannya dalam perjanjian, tidak perlu didahului dengan suatu somasi (HgH Batavia 3 November 1904, dimuat dalam Duparc hal. 63). Demikian pula penjual yang melancarkan tuntutan pembatalan perjanjian, tidak memerlukan somasi, kalau pembeli telah menghalang-halangi penjual untuk berprestasi (R.v.J. Batavia, 2 Januari 1903, dimuat dalam Duparc hal. 62). Kalau atas tuntutan ganti rugi yang dilancarkan kreditur, debitur membayar hutangnya, maka tidak perlu dipermasalahkan, bahwa kreditur belum melancarkan somasi (R.v.J. Semarang 22 April 1903, dimuat dalam Duparc hal. 62). Pernyataan debitur, bahwa ia  secara sepihak membatalkan perjanjian, dianggap sebagai pernyataan, bahwa debitur tidak mau memenuhi kewajiban perikatannya, dan karenanya terhadapnya tidak perlu lagi dilayangkan suatu somasi (R.v.J. Batavia 3 Februari 1904, dimuat dalam Duparc hal. 6). Pernyataan debitur, bahwa barang yang menjadi kewajibanya untuk diserahkan – yang berupa barang yang adanya pada musim tertentu saja -- tidak bisa didapat lagi, karena semuanya hasil panen musim itu telah dijual semua, merupakan pernyataan yang berakibat, bahwa untuk menuntut pembatalan dan atau ganti rugi, tidak perlu ada somasi lagi (R.v.J. Surabaya 29 Agustus 1906, dimuat dalam Duparc hal. 63). Dengan demikian, pernyataan debitur, bahwa ia tidak mau berprestasi, ada kalanya bisa ditafsirkan, bahwa debitur dengan sikapnya menolak berprestasi, tidak akan berubah dengan dilancarkannya somasi, atas sikap mana adalah patut, kalau kreditur tidak perlu lagi melancarkan somasi dan debitur sudah membawa dirinya dalam keadaan lalai.

 

Permasalahannya adalah, kalau orang yang terlambat berprestasi, baru dianggap telah wanprestasi, kalau ia setelah disomir dan tetap saja tidak memenuhi somasinya, sedang orang yang keliru berprestasi, dengan kekeliruan itu dianggap sudah wanprestasi, maka kepada mereka yang salah berprestasi tidak diberikan kesempatan (hak) untuk memperbaiki kekeliruannya, demi untuk menghindarkan diri dari berada dalam keadaan lalai. Apakah pendapat seperti tersebut di atas patut?

 

Dasar pemikirannya adalah, kalau debitur memberikan prestasi yang keliru --yang tidak baik– maka ia memang tidak telah memenuhi kewajiban perikatannya, ia telah melanggar apa yang telah disepakati dan karenanya telah melakukan pelanggaran kontrak yang positif (tidak memberikan yang seharusnya diberikan). Di sini kesalahannya ada pada prestasinya itu sendiri, bukan karena keterlambatan berprestasi, sehingga tidak bisa diterapkan ketentuan tentang keterlambatan prestasi. Pada keterlambatan prestasi memang debitur baru wanprestasi, kalau -tanpa ada dasar yang dibenarkan – tidak telah berprestasi sebagaimana mestinya.

 

Atas dasar prestasi yang salah, doktrin membedakan dua macam akibat yang berbeda, berdasarkan atas: apakah dengan kekeliruan prestasi (wanprestasi) itu, kreditur menderita rugi dalam wujud kekayaannya menjadi berkurang, karena telah dikeluarkannya ongkos-ongkos (seperti ongkos angkut) dan atau biaya reparasi. Ataukah kerugian kreditur berupa kehilangan keuntungan yang mestinya didapat (keuntungan yang diharapkan). Kerugian dalam bentuk sebagai yang disebutkan pertama, dalam doktrin disebut pelanggaran kontrak yang menimbulkan akibat yang positif, sedang yang kedua disebut pelanggaran kontrak yang menimbulkan akibat yang negatif (Rutten, Vebintenissenrecht, hal. 176). Orang menyebutnya sebagai pelanggaran kontrak yang positif dan pelanggaran kontrak yang negatif. Yang dimaksud dengan “positif“ di sini adalah kerugian  yang benar-benar telah diderita sebagai akibat pelanggaran perjanjian, sedang yang dimaksud dengan “negatif“ adalah kerugian yang masih di atas kertas (dalam perhitungan).

 

Untuk kerugian yang timbul karena wanprestasi yang positif, debitur wajib mengganti tanpa perlu ada somasi (Hof den Haag 14 April 1919, W. 10515 dan 24 Januari 1919, W. 10531, WPNR 1921, hal. 5). Sejalan dengan pendirian seperti itu, kiranya bagi seorang penyewa, untuk menuntut ganti rugi dari pemilik benda sewa, atas dasar kerugian yang timbul dari cacad benda sewa, tidak perlu mendahuluinya dengan suatu somasi (Hof den Haag 16 Juni 1919, W.10527).

 

Sebaliknya wanprestasi yang negatif, disamakan dengan keterlambatan prestasi, sehingga untuk tuntutan ganti rugi diperlukan adanya somasi untuk menetapkan debitur telah wanprestasi.

 

Kesimpulannya: dalam peristiwa-peristiwa tertentu, kreditur tidak perlu melancarkan somasi untuk menuntut pembatalan maupun ganti rugi.

 

Selanjutnya perlu diperhatikan bunyi Pasal 1243 BW yang berbicara tentang keterlambatan memenuhi kewajiban perikatan, yang hanya bisa terjadi pada perikatan yang lahir dari perjanjian. Konsekuensinya, untuk menuntut ganti rugi atas dasar tindakan melawan hukum, tidak perlu didahului dengan suatu somasi, karena hak tuntut ganti rugi pada peristiwa tindakan melawan hukum lahir dari undang-undang (HgH Batavia 12 Januari 1933, dimuat dalam T. 137 hal. 353). Setelah tuntutan ganti rugi dikabulkan oleh Pengadilan, maka debitur bisa terlambat memberikan ganti rugi, untuk mana perlu ada somasi (bersambung).

 

 

 

Purwokerto, 8 September 2010

 

*) Penulis adalah pemerhati hukum. Tinggal di Purwokerto.

 

----------------------------

Catatan literatur:

Asser C. - L.E.H. Rutten, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands Burgelijk Recht, Verbintenissenrecht, Algemene Leer der Overeenkomsten, cetakan keempat, Tjeenk Willink, Zwolle 1975.

Asser C. - L.E.H. Rutten, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands Burgelijk Recht, Verbintenissenrecht, De Verbintebis in het algemeen, cetakan keempat, Tjeenk Willink, Zwolle 1973.

Duparc          J. Verzameling van Nederlands Indische Rechtspraak en Rechts-litteratuur 1898 – 1907, Martinus Nijhoff 1909

 

---------------------------

 

R.v.J. Semarang 22 April 1903, dimuat dalam Duparc Verz. v. Ned. Ind. Rechtspraak en Rechtslitt. 1898 – 1907

2 Januari 1903, dimuat dalam Duparc.

R.v.J. Surabaya 29 Agustus 1906, dimuat dalam Duparc.

HgH Batavia, 28 Agustus 1912, dimuat dalam T. 106 : 367 

HgH Batavia, 3 November 1904  dimuat dalam Duparc.

Hof den Haag 14 April 1919, W. 10515; dan

Hof den Haag 24 Januari 1919, W. 10531, WPNR 1921.

Hof den Haag 16 Juni 1919, W.10527.

Tags: