Bebas Masuk Papua, Pers Asing Mesti Patuhi UU Penyiaran
Berita

Bebas Masuk Papua, Pers Asing Mesti Patuhi UU Penyiaran

Tetap berlaku ketentuan hukum, mulai mengantongi izin dari kementerian luar negeri hingga Mabes Polri.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Sejumlah wartawan asing. Foto: RES (Ilustrasi)
Sejumlah wartawan asing. Foto: RES (Ilustrasi)
Presiden Joko Widodo telah memberikan ruang kebebasan terhadap pers asing masuk ke wilayah Papua. Namun, pers asing mesti memenuhi persyaratan sebagaimana tertuang dalam UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Hal itu diungkapkan anggota Komisi I DPR, TB Hasanudin, di Gedung DPR, Rabu (13/5).

“Jadi sebagai negara penganut demokrasi maka wartawan harus bebas keluar masuk wilayah NKRI. Tetapi harus tetap ada aturannya bagi wartawan asing,” ujarnya.

Menurutnya, dalam UU Penyiaran telah tegas memberikan kebebasan terhadap pers asing melakukan peliputan di dalam negara Indonesia. Hanya saja itu tadi, mesti mendapat perizinan dari lembaga terkait.  TB Hasanuddin menyitir Pasal 32 ayat (2) UU Penyiaran.

Ayat (2) menyebutkan, Lembaga penyiaran asing dan kantor penyiaran asing yang akan melakukan kegiatan jurnalistik di Indonesia, baik yang disiarkan secara langsung maupun dalam rekaman, harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Selain itu, jelas TB Hasanuddin, terdapat Peraturan Pemerintah (PP) No.49 Tahun 2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing. Pasal 3 menyebutkan, “Lembaga penyiaran asing hanya dapat melakukan kegiatan siaran secara tidak tetap dan/atau kegiatan jurnalistik di Indonesia dengan izin Menteri”.

Sedangkan Pasal 6 menyebutkan, “Lembaga Penyiaran Asing dan kantor penyiaran asing yang akan melakukan kegiatan jurnalistik di Indonesia, baik yang disiarkan secara langsung maupun dalam bentuk rekaman audio dan/atau video harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku’.

Dikatakan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, perizinan dari menteri dimaksud mengacu pada Permen Kemenlu. Menurutnya, kunjungan pers asing mesti mendapat surat jalan ke daerah yang dituju dari pihak Mabes Polri atas dasar rekomendasi media departemen luar negeri.

“Jadi apakah pak Jokowi melanggar UU?, menurut saya tidak. Pak Jokowi persilakan pers asing hadir ke NKRI termasuk Papua yang selama ini dilarang, tapi perlu berlaku ketentuan hukum. Artinya, daerah Papua tidak dibedakan dengan daerah lain,” katanya.

Anggota Komisi I lainnya, Sukamta berpandangan pencabutan syarat ketat terhadap pers asing dinilai sebagai sikap reaktif Presiden Jokowi. Ia menilai tindakan tersebut hanya merespon desakan dunia internasinal atas ditangkapnya dua jurnalis Prancis, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, di Wamena, Papua, karena menyalahi izin tinggal.


“Pendekatan yang dilakukan Jokowi adalah pendekatan reaktif bukan substantif atau bisa jadi karena desakan dari dunia internasional karena ada dua pers Prancis yang ditahan karena meliput di Papua, Jokowi akhirnya mencabut syarat ketat bagi pers asing melakukan liputan di Papua,” ujarnya.

Sukamta menilai pemerintah acapkali membuat kebijakan reaktif, termasuk menyikapi pemberitaan asing tentang Papua. Ia menyarankan agar Presiden Jokowi lebih mementingkan kesejahteraan masyarakat Papua. Dengan begitu, setelah ekonomi masyarakat Papua  berangsur membaik, maka mereka akan menyampaikan kepada media asing bahwa pendekatan yang digunakan Jokowi berbeda dengan era sebelumnya. “Baru pers asing boleh meliput sebebas-bebasnya di Papua,” katanya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu lebih jauh berpandangan tak ada jaminan masuknya pers asing ke  bumi Cenderawasih itu bakal memberikan kabar positif tentang Indonesia ke dunia internasional dengan berimbang.

“Sederhananya, jika saat masih dibatasi saja, banyak berita asing yang melanggar prinsip-prinsip jurnalisme dan menyudutkan Indonesia di mata dunia, apalagi jika dibebaskan sebebas-bebasnya,” imbuhnya.

Anggota Komisi I dari Fraksi Gerindra, Rachel Maryam berpandangan Papua merupakan wilayah yang sarat dengan kepentingan asing. Oleh sebab itulah pemerintah mesti siap mengantisipasi potensi ancaman terhadap NKRI akibat kebijakan Presiden Jokowi.

“Hal ini merupakan bentuk sikap hati-hati dan usaha preventif pemerintah yang harus disikapi sebagai suatu hal yang wajar dan tidak perlu dianggap sebagai bentuk paranoid pemerintah,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait