Bawaslu Butuh Sarjana Hukum untuk Perkuat Kinerja
Berita

Bawaslu Butuh Sarjana Hukum untuk Perkuat Kinerja

Bawaslu perlu membuat prioritas untuk menambal persoalan kapasitas sumber daya manusia.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Badan Pengawas Pemilu, baik di pusat maupun di daerah, membutuhkan anggota yang memiliki latar belakang pendidikan sarjana hukum. Tujuannya, memperkuat kinerja, khususnya memperkuat kewenangan memeriksa dan memutus sengketa Pemilu. Kebutuhan sarjana hukum di pengawas pemilu di daerah lebih mendesak. Karakteristik kewenangan Bawaslu itu sangat erat kaitannya dengan pengetahuan tentang hukum.

Anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, menyamaikan kebutuhan atas sarjana hukum itu dalam diskusi ‘Politk Tansaksional, Korupsi Politk, dan Kampanye Hitam pada Pemilu 2019 dalam Tinjauan Hukum Pidana’, di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Depok, Selasa (9/10). Ia mencontohkan proses pembuktian dalam penanganan perkara. Bawaslu membutuhkan sumber daya yang paham hukum.

Selama ini, proses pembuktian beberapa kali terkendala karena kurangnya pemahaman petugas pengawas pemilu mengenai hukum. Di daerah, beberapa anggota pengawas pemilu tak memiliki latar belakang hukum. Bagja percaya latar belakang hukum akan memudahkan Bawaslu menjalankan kewenangan, terutama jika berkoordinasi dengan aparat kepolisian dan kejaksaan. “Dalam proses pembuktian sering terkendala SDM pengawas yang harus diakui bukan berasal dari latar belakang Fakultas Hukum,” ujarnya.

Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Bawaslu punya kewenangan. Selain pengawasan terhadap penyelenggara pemilu, Bawaslu bertugas menyelesaikan sengketa pemilu. Pasal 93 huruf b UU Pemilu menyebutkan, tugas Bawaslu adalah melakukan pencegahan dan penindakan terhadap (i) pelanggaran Pemilu; dan (ii) sengketa proses Pemilu.

(Baca juga: Ada Subjek Hukum yang Dapat Lolos dari Jerat UU Pemilu).

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini memperjelas. Saat ini, untuk menjadi anggota Bawaslu, tidak hanya cukup memahami aspek Pemilu dan demokrasi semata, tetapi juga dibutuhkan anggota yang memiliki kompetensi di bidang hukum.

Dalam menjalankan tugas penyelesaian sengketa, anggota Bawaslu akan berhadapan dan menjalin kerjasama serta koordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan. Untuk itu anggota Bawaslu perlu memiliki pengetahuan hukum. Pengetahuan hukum dibutuhkan untuk penanganan pelanggaran dan menyiapkan argumentasi hukum ketika berhadapan dengan polisi dan jaksa yang menangani pidana pemilu. Begitu juga dalam penyelesaian sengketa Pemilu, terdapat hukum acara yang sangat khas. Aspek ini juga mesti dikuasai oleh seorang aggota Bawaslu. “Tidak cukup hanya memahami Pemilu dan demokrasi,” tegas Titi.

Titi menjelaskan seringkali ditemukan di beberapa daerah, terdapat kesenjangan pengetahuan antara anggota Bawaslu dengan penyidik polisi dan penuntut kejaksaan perihal pelanggaran. Pengawas daerah acapkali mengatakan suatu tindakan sebagai pelanggaran, tapi ketika sampai ke penyidik menjadi mentah karena ketidakseragaman pemahaman tentang pelanggaran Pemilu. Diduga ada inkonsistensi dalam penerapan hukum acara.

Jika konstruksi kelembagaan Bawaslu dengan tugas pencegahan dan penindakan ingin dipertahankan, perlu upaya rekontruksi rekrutmen anggota Bawaslu. Tujuannya, agar setiap Bawaslu kabupaten/kota, setidaknya memiliki satu angota yang berlatar belakang pendidikan sarjana hukum. Untuk menutupi celah yang ada saat ini, Bawaslu menempuh jalan dengan melakukan bimbingan teknis, penguatan kapasitas anggota, dan pelatihan yang intensif. Dengan pendekatan ini, diharapkan dapat mengejar ketertinggalan Bawaslu.

Titi menyebutkan, saat ini Bawaslu perlu membuat prioritas untuk menambal persoalan kapasitas sumber daya manusia. Ke depan, perlu membangun kurikulum pelatihan  penguatan kapasitas yang sifatnya jangka panjang. “Sekarang ini, Bawaslu harus membuat skala priorotas untuk menjawab kebutuhan kompetensi hukum yang harus dimiliki oleh jajarannya terkait dengan penegakan hukum dan penyelesaan sengketa”.

(Baca juga: Penyebaran Hoax Bukan Pelanggaran Pemilu).

Bagja mengatakan Bawaslu terlebih dahulu melakukan evaluasi internal, terutama pengawas di daerah. Tujuannya agar dapat diidentifikasi perbandingan jumlah sarjana hukum yang sudah menjadi anggota Bawaslu. Pengamatan sementara Bagja, dalam proses seleksi anggota Bawaslu di daerah, banyak diikuti oleh sarjana hukum. Namun, tidak sedikit yang gagal melalui proses seleksi. Ia menilai penting kerjasama dengan Fakultas Hukum, terutama di daerah bersangkutan. “Mereka akan bekerja di wilayah itu. Mereka akan memperbaiki daerah mereka lewat Pilkada dan Pemilu. Sehingga tidak terkosentrasi di Bawaslu,” ujar Bagja.

Guru Besar Pidana FH UI yang juga mantan pengawas Pemilu Presiden 2009, Topo Santoso menilai, langkah-langkah pelatihan yang diberikan kepada anggota Bawaslu di daerah masih menyisahkan pekerjaan rumah. Tidak semua kebutuhan diwilayah penguatan kapasitas dibidang hukum dalam terpenuhi lewat pelatihan kepada anggota Bawaslu di daerah. Namun, menurt Topo, tidak perlu seluruh anggota Bawaslu di suatu Kabupaten/Kota merupakan alumni Fakultas Hukum.

“Misalnya dari lima anggota, tiga orang sarjana hukum. Itu mungkin bisa lebih kuat karena dia memutus sengketa. Dia harus memutus pelanggaran administratif. Dia harus memastikan adanya unsur-unsur tindak pidana pemilu,” terang pria yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum UI itu.

Tags:

Berita Terkait