Batasi Akses Media Sosial, Pemerintah Harus Punya Protokol yang Jelas
Berita

Batasi Akses Media Sosial, Pemerintah Harus Punya Protokol yang Jelas

Hal ini bertujuan agar kebijakan yang diambil pemerintah menjadi jelas dan terukur.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Aksi demo yang digelar pada 21-22 Mei lalu berbuntut pada pemblokiran media sosial oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Pemblokiran ini dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah menyebarnya berita hoaxs atau video provokatif di sosial media.

 

Akan tetapi, kebijakan ini kemudian menimbulkan reaksi bagi publik. Meski pemblokiran dilakukan hanya untuk beberapa kegiatan media sosial saja, publik menilai kebijakan ini tidak tepat. Terutama bagi pelaku bisnis online yang sangat bergantung pada jaringan internet dan media sosial.

 

Menurut Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, kebijakan pemblokiran media sosial yang dilakukan pemerintah selama tiga hari memang hal baru yang terjadi di Indonesia. Namun hal serupa seperti ini sudah banyak dilakukan oleh berbagai negara dengan tujuan keamanan.

 

Salah satunya adalah Srilanka. Sudaryatmo mengungkapkan Srilanka menutup akses media sosial ketika terjadi situasi genting. Maka, walaupun kebijakan tersebut baru diterapkan di Indonesia, tapi hal ini adalah hal lazim yang dilakukan suatu negara pada situasi-situasi tertentu.

 

“Memang ini hal yang baru, tapi poinnya dari sisi konsumen, kalau kita belajar dari beberapa negara lain seperti di Srilanka itu juga melakukan hal yang sama ketika terjadi situasi genting. Artinya apa, yang dilakukan pemerintah Indonesia itu hal yang lazim karena juga dilakukan di bberapa negara ketika ada sitausi yang memang harus ada pembatasan akses terhadap media sosial,” kata Sudaryatmo kepada hukumonline, Jumat (24/5) malam.

 

Kendati demikian, pemerintah harus tetap transparan dalam mengeluarkan kebijakan ini. Menurut Sudaryatmo, pemerintah harus memiliki protokol yang jelas ketika memilih untuk melakukan pembatasan akses terhadap media sosial. Protokol tersebut diperlukan agar kebijakan yang dilakukan pemerintah dapat terukur.

 

“Saya terus terang tidak tahu apakah pemerintah sudah punya protokol ketika ada pembatasan itu. Step-step yang dilakukan seperti apa. Sehingga apa yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Kominfo itu memang terukur. Step-stepnya jelas, alasannya jelas,” tambahnya.

 

Di sisi lain, seyogyanya pemerintah juga harus mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap sektor-sektor lain seperti e-commerce, misalnya. Sudaryatmo lalu mempertanyakan apakah langkah yang diambil pemerintah kali ini sudah efektif dengan tetap mempertimbangkan fungsi-fungsi positif lainnya dari penggunaan media sosial.

 

(Baca: Pembatasan Akses Medsos Dinilai Langgar Hak Publik)

 

Namun jika langkah pembatasan akses media sosial ini harus dilakukan, maka pemerintah, kata Sudaryatmo, harus menyediakan akses poin bagi masyarakat. Tujuannya adalah sebagai wadah bagi masyarakat untuk melaporkan dampak pembatasan akses media sosial bagi masyarakat-masyarakat yang melakukan kegiatan positif.

 

“Alasan untuk keamanan, negara lain juga melakukan. Ketika pemerintah bilang ini akan dibuka kalau kondisinya sudah baik atau kondusif, kategori kondusif itu seperti apa. Siapa yang bisa menentukan. Protokolnya harus jelas,” tegasnya.

 

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menilai pembatasan akses medsos berupa Instagram, Twitter, Facebook, WhatsApp, dan Line tidak didasari dua alasan. Pertama, pembatasan akses medsos bertentangan dengan hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta kebebasan berekspresi. Kedua, pembatasan akses terhadap medsos dan aplikasi messaging dilakukan tanpa pemberitahuan sebelumnya adalah tidak tepat.

 

Merujuk Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005. Dalam UU 12/2005 itu memberi kewenangan kepada negara untuk melakukan pembatasan-pembatasan hak asasi manusia ketika negara dalam keadaan darurat.

 

Keadaan darurat dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti penyebab yang timbul dari luar (eksternal) atau dari dalam negeri (internal). Ancamannya dapat berupa ancaman militer/bersenjata atau dapat pula tidak bersenjata seperti teror bom dan keadaan darurat lainnya.

 

Dalam Komentar Umum No. 29 terhadap Pasal 4 ICCPR mensyaratkan ada dua kondisi mendasar harus dipenuhi untuk dapat membatasi hak asasi manusia. Pertama, situasinya mesti berupa keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa. Kedua, presiden melakukan penetapan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui Keputusan Presiden.

 

Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta masyarakat bersabar terhadap masa periode pembatasan medsos. Sejalan dengan itu, Bamsoet biasa disapa mengimbau masyarakat dapat meningkatkan literasi tentang penggunaan medsos dengan lebih kritis, khususnya dalam membaca dan menerima informasi di medsos.

 

“Seperti lebih memperhatikan judul, alamat situs atau sumber berita, data yang disebutkan, keaslian video dan foto, dan legitimasi konten dari berita terkait,” ujarnya.

 

Politisi Partai Golkar itu pun mendorong pemerintahan Joko Widodo agar dapat segera mempertimbangkan pencabutan akses medsos sebagai sarana komunikasi. Sebab, dari aspek ekonomi, banyak yang mengalami kerugian akibat menurunya omset pendapatan yang bidang usahanya menggunakan medsos.

 

“Pemerintah mempertimbangkan untuk dapat segera mencabut pembatasan penggunaan media sosial, mengingat media sosial merupakan salah satu kebutuhan masyarakat untuk berkomunikasi,” harapnya.

 

Tags:

Berita Terkait