“Kebijakan ini dimaksudkan agar pemilik perusahaan sudah memiliki pengetahuan bisnis perasuransian yang memadai dan terjadi alih teknologi dan pengetahuan,” kata Suahasil.
Kemudian, BHA tersebut harus memiliki modal sendiri sekurang-kurangnya 5 kali dari besarnya saat penyertaan langsung pada Perusahaan Perasuransian. Ketentuan tersebut diharapkan dapat memberi kepastian terjaganya kelangsungan bisnis perusahaan karena didukung permodalan pemilik yang kuat. Selain itu, terdapat kriteria lain dari OJK yang harus dipenuhi BHA. Persyaratan tersebut antara lain tingkat kesehatan BHA dan rating dari lembaga independen.
Kepemilikan Asing oleh Badan Hukum Asing (BHA) pada perusahaan perasuransian dapat dilakukan melalui penyertaan langsung, transaksi di bursa efek, dan penyertaan pada Badan Hukum Indonesia (BHI). Sementara itu, kepemilikan asing oleh WNA hanya dapat melalui transaksi di bursa efek.
Bagi perusahaan perasuransian yang dikecualikan tersebut akan menambah modal disetor, maka atas setiap tambahan modal tersebut harus paling sedikit 20 persen diperoleh dari BHI dan/atau WNI. Lalu, tambahan modal tersebut paling sedikit 20 persen melalui penawaran umum perdana saham di Indonesia.
Sementara itu, Ketua Dewan Asuransi Indonesia, Dadang Sukresna mengatakan dengan terbitnya regulasi ini memberi kepastian hukum bagi pelaku industri asuransi mengenai kepemilikan asing. Menurutnya, perkembangan industri asuransi saat ini tidak lepas dari peran asing.
Dadang menilai potensi industri asuransi di Indonesia saat ini masih sangat besar. Hal tersebut terlihat dari perbandingan antara rata-rata premi dengan populasi penduduk. Selain itu, perkembangan ekonomi digital juga berdampak positif terhadap geliatnya industri asuransi ini.
“Perusahaan asuransi di Indonesia, baik asuransi umum maupun jiwa aktif dalam adopsi teknologi baru, terutama teknologi digital. Di masa depan hal ini berpotensi menjadi katalis perluasan pasar asuransi dan saluran pemasaran asuransi,” kata Dadang.