Banyak Penyebab Putusan MA Tidak Konsisten
Berita

Banyak Penyebab Putusan MA Tidak Konsisten

Ada berbagai penyebab tidak konsistennya putusan yang dikeluarkan oleh MA. Mulai dari tidak adanya sistem kamar di MA, buruknya dokumentasi putusan, perbedaan penafsiran hukum oleh hakim, sampai "mitos" mengenai sistem hukum civil law dan Anglo Saxon.

Nay/APr
Bacaan 2 Menit
Banyak Penyebab Putusan MA Tidak Konsisten
Hukumonline

Demikian benang merah dari diskusi "Konsistensi MA dalam Memutus perkara" yang dilakukan dalam rangka peluncuran jurnal Dictum oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepedensi Peradilan (LeIP) di Jakarta.

Johanes Johansyah, mantan hakim agung, mengemukakan bahwa secara administrasi, Mahkamah Agung (MA) belum sanggup menata agar perkara-perkara yang serupa jatuh pada majelis yang sama. Pasalnya, dalam MA belum ada sistem kamar. Misalnya, kamar pidana, perdata, militer, TUN  dan Agama.

"Seluruh hakim yang terdiri dari hakim empat badan peradilan--yaitu pidana, perdata, TUN, militer dan agama--membuat putusan untuk berbagai perkara (diluar bidangnya), sehingga putusan berbeda-beda," ujar Johansyah.

Perbedaan penafsiran hukum antar satu hakim dengan hakim lainnya juga membuat timbulnya putusan yang berbeda-beda. Johansyah menunjukkan betapa mantan hakim agung Asikin Kusumah Atmadja dan Indroharto selalu bertentangan  putusannya dalam masalah merk karena adanya perbedaan penafsiran hukum.  "Sampai akhirnya ketua MA saat itu, Ali Said, harus memilih salah satu mana yang digunakan," kata Johansyah.

Namun, Johansyah juga berpendapat bahwa putusan yang tidak konsisten bukan merupakan kesalahan MA, melainkan sistem hukumnya yang harus diubah. Yaitu, dari civil law menjadi common law, jika ingin putusan peradilan konsisten.

Inkosistensi putusan

Sebastian Pompe, pengamat hukum Indonesia yang juga pernah menulis tesis mengenai MA, meragukan apakah masalah inkostensi putusan ini merupakan masalah dari sistem hukum yang digunakan atau hanya masalah administrasi peradilan semata.

Dengan telah terjadinya pergeseran dalam sistem civil law maupun common law saat ini, tudingan bahwa perbedaan sistem yang menyebabkan terjadinya inkonsistensi putusan menjadi kurang relevan.

Dalam sistem civil law, yang selama ini  precedent dianggap tidak penting, saat ini telah terjadi pergeseran. Di negara-negara yang menerapkan sistem ini, putusan hakim yang telah ada mulai dipatuhi dan diikuti oleh hakim-hakim lainnya. Sementara sistem common law, yang selama ini dianggap selalu berdasarkan precedent, malah mulai membatasi  precedent.

Bahkan menurut Pompe, di Indonesia sebelum tahun empat puluhan, sistem precedent telah diterapkan. Putusan hakim sebelumnya diikuti oleh hakim-hakim yang lain. Ini bisa dilihat dari putusan-putusan hakim hakim pada masa itu yang tersusun rapi dengan indeks. Misalnya di perpustakaan Leiden Belanda, ada sekitar 150 putusan kepailitan dari masa itu yang dilengkapi dengan indeks dan referensi silang lainnya.

Pembicara lain, ahli hukum Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan bahwa putusan yang konsisten bisa dicapai dengan kemahiran melakukan penelusuran pada sumber-sumber hukum, baik formil maupun materil. "Saat ini kesulitan melakukan penelusuran adalah karena amburadulnya dokumentasi bahan-bahan hukum, baik bahan primer maupun bahan hukum sekunder," ujar Soetandyo.

Karena itu, hakim dalam membuat putusan hanya menggunakan bahan-bahan hukum berdasarkan ingatan dan pengalaman. Karena ingatan dan pengalaman hakim yang satu berbeda dengan yang lain, amar-amar putusan mereka akan lebih bernuansa personal dari pada bernuansa institusional yang akan relatif konsisten.

Pertimbangan hukumnya jelas

Yang menarik, salah satu peserta diskusi, Arsul Sani, salah seorang pendiri Karim Sani Law Firm, berpendapat bahwa konsistensi putusan MA adalah sesuatu yang masih sangat jauh untuk dicapai.

Sementara, yang penting bagi praktisi hukum adalah setiap putusan MA--walau berbeda dengan putusan MA yang lain--dalam pertimbangan hukumnya memuat argumentasi hukum yang jelas, runtut, dan komprehensif.

Sani menilai, saat ini putusan MA tidak cukup menguraikan dengan jelas alasan-alasan yang menjadi dasar pertimbangan hukum. "Yang kita lihat sekarang misalnya putusan MA hanya mengatakan, 'menimbang bahwa permohonan kasasi dari pemohon kasasi tidak dibenarkan karena judex facti tidak melanggar hukum', nah MA tidak menerangkan secara argumentatif di mana letak tidak melanggar hukumnya itu.

Sani mencontohkan. "Uraiannya pun tidak cukup dengan dua atau tiga kalimat," tambahnya. Sani membandingkan putusan MA kita dengan putusan MA negara lain atau putusan arbitrase swasta.

Menurut Sani yang juga arbitrer ini, pada putusan MA pertimbangan hukumnya hanya terdiri dari lima-enam halaman, paling banyak sepuluh halaman. Sementara pertimbangan hukum putusan arbitrase biasanya di atas dua puluh lima halaman.

"Dari jumlah halaman sudah menggambarkan komprehensifitas dari pertimbangan hukum itu. Padahal komprehensifitas, argumentatifnya putusan MA sangat diperlukan karena MA pengadilan yang paling tinggi di negara kita," ujar Sani kepada hukumonline.

Sani mengemukakan bahwa dengan pertimbangan hukum yang hanya dua halaman atau empat paragraf, sulit mengharapkan satu putusan MA bisa dijadikan pegangan. Padahal sebagai praktisi hukum yang berurusan dengan dunia bisnis, putusan-putusan MA yang pertimbangannya hanya sepotong tidak bisa ia jadikan sebagai dasar untuk mengadvis klien.

Apalagi, legal advis merupakan salah satu faktor yang dijadikan pertimbangan oleh kalangan bisnis jika misalnya ingin berinvestasi di Indonesia.  "Ini yang sebetulnya lebih kita harapkan ketimbang kita mengatakan jangan hari ini memutus begini, besok lain. Nggak apa-apa memutus berbeda asal argumentasi hukumnya jelas, komprehensif, tidak hanya mengutip ketentuan hukum. Tapi juga teori hukum, praktek binis, dan lain-lain," cetus  Sani.

Tags: