Banyak Mudarat Bila Jabatan Presiden 3 Periode
Utama

Banyak Mudarat Bila Jabatan Presiden 3 Periode

Konstitusi menganut prinsip pembatasan masa jabatan presiden selama 2 periode agar sirkulasi kepemimpinan terus berjalan. Tapi, MPR menjamin amendemen kelima konstitusi terbatas pada PPHN, tak ada penumpang gelap, seperti mengubah periodeisasi jabatan presiden menjadi 3 periode.

Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

Wacana memperpanjang jabatan presiden menjadi tiga periode melalui amendemen kelima konstitusi menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Sebab, wacana amandemen kelima konstitusi yang ingin memasukan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dapat menjadi pintu masuk gagasan memperpanjang jabatan presiden tiga periode, hingga menunda pemilu 2024 hingga 2027 dengan alasan pandemi Covid-19.

“Meski UUD Tahun 1945 menutup perpanjangan masa jabatan 3 periode, tapi langkah atau gaya-gaya mengubah (jabatan dari 2 menjadi 3 periode, red) itu dimungkinkan melalui amendemen konstitusi,” ujar Peneliti Senior Pusat Kajian Konstitusi dan Pemerintahan Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, Iwan Satriawan dalam diskusi bertajuk “Presiden Tiga Periode: Antara Mudarat dan Manfaat”, Senin (13/9/2021).

Dia khawatir bila masa jabatan presiden dalam konstitusi “dibongkar” menjadi tiga periode potensi menimbulkan polarisasi. Dia melihat materi PPHN dalam amendemen konstitusi soal pembangunan yang berlangsung agar tidak berhenti di tengah jalan bukanlah akar masalah. Justru persoalannya, pemerintahan yang gagal dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi sebagai indikator lemahnya kepemimpinan nasional dan manajemen pimpinan politik.

“Bila wacana solusinya amendemen konstitusi memperpanjang masa jabatan presiden 3 periode malah tak ada korelasinya. Yang harus diubah gaya/sikap pemimpinnya, bukan malah amendemen konstitusi,” kata dia. (Baca Juga: Dorong Capres Tiga Periode, Upaya Menabrak Konstitusi)  

Iwan berpandangan era orde lama dan orde baru menjadi pengalaman bagi bangsa Indonesia terkait kekuasaan panjang dipegang satu orang. Karena itu, pada Oktober 1999, melalui rapat paripurna MPR bersepakat pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi dua periode. Sebab, semua pihak paham betul semakin lama kekuasaan pemerintahan dipegang satu orang tanpa adanya regenerasi kepemimpinan hanya menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.

Karena itu, usulan masa jabatan presiden 3 periode tidaklah beralasan secara historis, filosofis, dan sosiologis. Bahkan usulan tersebut sangat prematur. Menurutnya, yang perlu dibenahi merevisi sistem seleksi kepemimpinan nasional yang membatasi jumlah calon presiden melalui aturan presiden threshold. Selain itu, membangun sistem dan budaya terhadap pejabat negara yang gagal memenuhi janjinya masa kampanye agar mengundurkan diri dan memberikan kesempatan ke orang yang lebih mampu mengelola negeri ini menjadi lebih baik.

“Jadi, lebih banyak mudharat-nya wacana 3 periode ini,” katanya.

Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pengurus Pusat (LHKP PP) Muhammadiyah, Titi Anggraini mengatakan masa jabatan 2 periode tidak terlalu pendek dan masyarakat bisa mengukur apakah pemimpin nasional berada dalam jalur yang benar memenuhi semua janji-janjinya pada masa kampanye?

Titi melihat bila jabatan presiden 3 periode sebagai multiple barrier to entry berujung melemahkan regenerasi kepemimpinan nasional. Bahkan, menghambat kader partai warga negara, khususnya kelompok muda dan perempuan untuk terlibat dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Selain itu, wacana presiden 3 periode memperburuk situasi politik dinasti atau kekerabatan di tingkat nasional maupun lokal. “Karena masa jabatan yang sangat lama akan digunakan untuk mengokohkan politik di semua lini,” lanjutnya.

Mantan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini mengingatkan konstitusi tak memungkinkan jabatan 3 periode bagi presiden dan wakil presiden. Titi melihat upaya amendemen kelima konstitusi secara terbatas bisa membuka kotak pandora yang memungkinkan dapat menjalankan agenda mengubah aturan masa jabatan presiden menjadi 3 periode.

“Tak ada jaminan melimitasi substansi secara absolut amendemen hanya soal PPHN semata. Pengaturan konstitusi saat ini tidak memungkinkan 3 periode karena secara filosofis dan prinsipil memang harus ditolak.”

Tak relevan dibahas

Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Lipi) Prof Siti Zuhro berpandangan wacana yang bergulir perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode tak relevan dibahas MPR. Hal ini bertentangan dengan semangat gerakan reformasi 1998 silam. Menurutnya, pembatasan masa jabatan 2 periode bertujuan menciptakan sirkulasi kepemimpinan yang pasti.

Sistem demokrasi yang disepakati sejak 1998 memerlukan konsistensi dan komitmen semua komponen bangsa. Karena itu, para elit terikat dengan kesepakatan yang telah dibangun pada gerakan reformasi, bukan malah membuat gaduh dan membingungkan masyarakat. Begitu pula dengan aturan hukum yang disepakati mesti ditaati para pejabat publik agar tidak diisi oleh orang dalam waktu yang lama.

“Jadi gunanya pemilu itu supaya terjadi sirkulasi dan lancarnya kepemimpinan.  Kalau di orde baru sirkulasinya ‘macet’ karena memimpin yang terlalu lama,” kata dia.

Prof Zuhro menyarankan agar para elit dan pejabat publik serius bekerja untuk rakyat. Termasuknya menghentikan berbagai wacana dengan tema-tema yang menimbulkan polemik. Seperti habis masa jabatan 2 periode malah bakal diperpanjang, penundaan pemilu 2024 menjadi 2027. “Jadi ini akal-akalan saja, cari-cari saja untuk payung hukumnya,” imbuhnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua MPR Bambang Soesatyo menjamin amendemen kelima konstitusi terbatas tak ada penumpang gelap, seperti mengubah periodeisasi jabatan presiden menjadi 3 periode. Lagi pula wacana perpanjangan masa jabatan tiga periode sangat prematur dan dari segi politik bakal sulit terjadi. Sebab, para partai politik sudah bersiap menghadapi Pemilu 2024 dengan mengusung calon presidennya masing-masing.

“Kekhawatiran amendemen terbatas akan membuka kotak pandora dan membuka peluang dilakukan amendemen pada substansi lain di luar PPHN, juga tidak beralasan dan terlalu prematur,” kata Bambang Soesatyo.

Menurutnya, di internal MPR dari mulai Komisi Kajian Ketatanegaraan, Badan Pengkajian MPR, hingga tingkat pimpinan, tak pernah sekalipun membahas wacana perpanjangan periodeisasi masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Baginya, rencana MPR mengamendemen terbatas hanya memasukan PPHN. Toh, sudah jelas aturan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden sudah diatur secara tegas dalam pasal 7 UUD Tahun 1945.

Baginya, mengubah konstitusi dibutuhkan konsolidasi politik yang besar. Sebab, persyaratannya sangat berat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 37 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUD Tahun 1945. Dalam Pasal 37 ayat (4) menegaskan keputusan mengubah pasal dalam UUD 1945 harus mendapat persetujuan sedikitnya 50 persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR. “Satu fraksi partai saja tak setuju rencana amendemen, amandemen terbatas itupun kandas.”

Anggota MPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny Kabur Harman menambahkan di MPR belum terdapat agenda konkrit mengubah konstitusi dalam memenuhi tuntutan sekelompok orang soal jabatan presiden menjadi 3 periode. Menurutnya, dalam diskusi di internal MPR tak muncul gagasan tersebut. Dalam diskusi dan pembahasan di Badan Pengkajian fokus pada gagasan menghidupkan PPHN.

Menariknya, semua kelompok di MPR mulai DPR, fraksi partai hingga DPD menyepakati model pembangunan, seperti PPHN dihidupkan kembali agar pemimpin bangsa memiliki haluan ke depannya. Hanya saja, belum menemui titik temu soal payung hukum bagi PPHN. Selain itu memang muncul ide yang tak jelas ujung pangkalnya soal penambahan masa jabatan presiden 3 periode dan penundaan pemilu yang berujung perpanjangan masa jabatan presiden hingga 2027. “Ini wacana yang belum jelas asal-usulnya,” katanya.

Dibutuhkan sikap tegas menolak

Benny melanjutkan kekhawatiran publik adanya menyisipkan agenda terselubung dalam amendemen seperti menambah masa jabatan presiden hingag 2027 bila pandemi Covid belum berakhir. Selain itu, muncul isu perpanjangan masa jabatan Jokowi sebagai bagian mengamankan proyek Ibukota Negara baru di Kalimantan

“Ini wacana berjalan di tengah masyarakat tanpa ada solusi dan penjelasan apa sebenarnya di balik agenda ini, apakah mengkomodir PPHN atau ada agenda lain. Ini perlu ada penjelasan, dan ada keterbukaan pemerintah terutama presiden mengenai isu asal yang tidak jelas,” kata dia.

Karena itulah, presiden mesti bersikap tegas tanpa hanya berdalih amendemen konstitusi menjadi urusan MPR. Begitu pula presiden enggan melakukan intervensi. Bagi Benny, publik membutuhkan sikap tegas presiden. Seperti tegas menolak amendemen dengan penambahan masa jabatan presiden hingga 2027. “Beliau harus tegas menolaknya, dan tidak mau maju lagi,” ujarnya mencontohkan.

Anggota Komisi III DPR itu berpendapat, bila presiden memberikan penegasan tersebut, maka isu penambahan maupun perpanjangan masa jabatan presiden bakal selesai. Sehingga tak lagi spekulasi di tengah masyarakat soal rezim sedang menimbun kekuasaan dengan cara amendemen konstitusi. Praktik mengubah konstitusi menambah kekuasaan, memperpanjang kekuasaan, maupun mempertahankan kekuasaan bukan hal baru di beberapa negara.

“Pengalaman di negara lain, apabila pemimpin mempertahankan kekuasaan dengan mengubah konstitusi maka pada saat bersamaan pemimpin bersangkutan sedang menggali lubang kubur untuk mematikan demokrasi itu. Itu yang kita takut selama ini. Kami dari awal menolak agenda amendemen konstitusi khusus menambah jabatan presiden dengan memberi landasan konstitusional,” katanya.

Titi pun mengamini pandangan Benny. Menurutnya semua pihak yang memiliki otoritas seperti Presiden, DPR, MPR, DPD, hingga pimpinan parpol mesti menghindari penghalusan diksi dalam merespon wacana perpanjangan dan penambahan jabatan presiden. Karenanya, dibutuhhkan narasi tegas penolakan soal wacana presiden 3 periode. Baginya perpanjangan dan penambahan masa jabatan presiden mengancam kredibilitas demokrasi.

“Meski sudah ada jaminan dari pimpinan MPR, tapi kecenderungan pembahasan legislasi terakhir, dimana koalisi partai itu sangat dominan. Masyarakat sipil harus terus mewaspadai.”

Tags:

Berita Terkait