Bantuan Hukum Tak Terintegrasi, Polri Mengaku Patungan Bayar Advokat untuk Tersangka
Utama

Bantuan Hukum Tak Terintegrasi, Polri Mengaku Patungan Bayar Advokat untuk Tersangka

Penyaluran bantuan hukum hanya diketahui Polri lewat nota kesepahaman dengan Kementerian Hukum dan HAM. Belum ada teknis pelaksanaan terintegrasi mulai dari tahap penyidikan di kantor polisi.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Para narasumber sesi seminar dalam Konferensi Nasional Bantuan Hukum I, Selasa (20/8). Foto: NEE
Para narasumber sesi seminar dalam Konferensi Nasional Bantuan Hukum I, Selasa (20/8). Foto: NEE

Brigjen.Pol.Daniel T.M.Silitonga, Kepala Biro Pembinaan dan Operasional Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, mengaku pihak kepolisian kerap kali patungan untuk menyewa jasa advokat bagi tersangka yang harus didampingi penasihat hukum. “Rekan-rekan di lapangan itu urunan, kami bayar per bulan atau sesuai pekerjaan,” katanya.

 

Hal ini disampaikan Daniel dalam sesi seminar Konferensi Nasional Bantuan Hukum I, di Taman Wiladatika, Cibubur, Selasa (20/8). Ketika diminta konfirmasi oleh Hukumonline usai acara, Daniel juga mengaku tidak mengetahui pendanaan bantuan hukum termasuk pula untuk pendampingan di tahap penyidikan oleh kepolisian.

 

“Bantuan hukum itu ternyata tidak sampai di tingkat penyidikan, selama ini kami kesulitan,” ujar Daniel. Berdasarkan pengetahuan Daniel, layanan pro deo dan pro bono baru diperoleh ketika perkara dilimpahkan ke pengadilan. “Saya juga baru minta konfirmasi tadi ke Prof.Benny (Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional-red), apakah bantuan hukum itu juga untuk tahap penyidikan, selama ini kami tidak mendapatkan yang seperti itu,” katanya menambahkan.

 

Padahal berdasarkan Pasal 56 UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur kewajiban bantuan hukum secara cuma-cuma bagi kalangan miskin yang diancam pidana lima tahun atau lebih berat. Daniel sendiri tidak menampik kemungkinan bahwa distribusi bantuan hukum dari organisasi bantuan hukum atau advokat yang menjalankan pro bono belum merata.

 

Hanya saja, ia mengungkapkan, bahwa selama ini kantor-kantor kepolisian berinisiatif secara mandiri berpatungan untuk memenuhi syarat formil penyidikan berdasarkan KUHAP. Mereka harus mendatangkan advokat agar penyidikan terhadap tersangka kalangan miskin dilakukan secara sah berdasarkan prosedur KUHAP. “Itu kenyataan, bahkan pengalaman saya sendiri,” ujar Daniel.

 

Daniel menegaskan bahwa anggaran untuk menyediakan jasa advokat berdasarkan KUHAP tersebut tidak pernah dimiliki oleh kepolisian. “Karena berdasarkan Pasal 56 itu tersangka harus didampingi, otomatis rekan-rekan di lapangan berupaya mencari jalan,” Daniel menjelaskan.

 

Kepala Sub Bidang Program Bantuan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional, Masan Nurpian memberikan klarifikasi soal pendanaan bantuan hukum pemerintah. “Kalau perkara litigasi, didanai mulai dari penyidikan atau gugatan sampai persidangan selesai. Jadi di tahap penyidikan pun ada biayanya,” katanya kepada Hukumonline.

 

Masan mengatakan, seharusnya kepolisian bisa menghubungi organisasi bantuan hukum untuk mengakses layanan bantuan hukum yang telah didanai pemerintah. “Berarti ada MoU dengan Polri yang tidak terkoordinasi di internal kepolisian,” ia menjelaskan. Masan membandingkannya dengan nota kesepahaman antara Kementerian Hukum dan HAM dengan Mahkamah Agung.

 

“Kami dengan Mahkamah Agung bisa membuat Dirjen Badan Peradilan Umum membuat edaran agar pengadilan negeri merujuk kasus orang miskin untuk dibantu organisasi bantuan hukum mitra kami,” ia menjelaskan.

 

Baca:

 

Masan mengakui bahwa masih terjadi distribusi bantuan hukum yang belum merata. Namun setidaknya pada tingkat kepolisian resor (Polres) di daerah kabupaten/kota sudah tersedia jaringan organisasi bantuan hukum mitra pemerintah. “Ketika di tingkat Polres, ada organisasi bantuan hukum kami bisa menangani. Ini masalah koordinasi di internal Polri,” Masan menambahkan.

 

Ia menjelaskan tersedia pagu anggaran bantuan hukum sebesar Rp2 juta untuk tahap penyidikan, Rp3 juta di tahap persidangan, dan masing-masing Rp1 juta untuk tahapan upaya hukum banding, kasasi, hingga peninjauan kembali. Dengan demikian tersedia anggaran Rp5 juta hingga Rp8 juta untuk bantuan hukum per kasus litigasi. Anggaran ini akan dicairkan setelah organisasi bantuan hukum selesai menangani perkara.

 

Hakim yustisial Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Riki Perdana Raya Waruwu memberikan keterangan tambahan soal paket bantuan hukum lainnya melalui anggaran Mahkamah Agung. Ia menjelaskan, hingga saat ini masih berlaku Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.

 

Pasal 6 Perma No.1 Tahun 2014 menyatakan seluruh biaya layanan dibebankan pada negara melalui anggaran Mahkamah Agung. Layanan hukum tersebut termasuk honor untuk advokat yang bekerja di posbakum milik pengadilan. Tugas advokat di Posbakum adalah memberikan informasi, konsultasi, dan nasihat hukum. Termasuk pula pembuatan dokumen hukum yang dibutuhkan masyarakat tidak mampu  dalam berperkara.

 

“Di pengadilan negeri rata-rata ada 10 ribu orang penerima layanan hukum per tahun, di tahun 2018 ada sekitar 200 ribu layanan yang diberikan Mahkamah Agung melalui Posbakum se-Indonesia,” kata Riki kepada Hukumonline. Para advokat yang bekerja di Posbakum direkrut secara mandiri oleh masing-masing pengadilan. Biasanya bekerja sama dengan organisasi advokat atau per individu advokat.

 

“Kontraknya diatur masing-masing pengadilan, dipilih berdasarkan kebutuhan dan kualitas,” Riki menambahkan. Namun Riki tidak menjelaskan apakah advokat atau organisasi bantuan hukum yang telah menjadi mitra bantuan hukum pemerintah dilarang untuk juga bekerja dengan mendapat honor di Posbakum pengadilan. Ia juga tidak membuka berapa besar pagu anggaran untuk honor advokat yang bekerja di Posbakum.

 

Catatan Hukumonline, soal pendanaan dalam penanganan perkara masyarakat miskin ini bukanlah hal baru. Potensi terdapatnya advokat atau organisasi bantuan hukum yang mendapatkan dua pendanaan dalam menangani perkara masyarakat miskin bisa terjadi. Mereka bisa saja mendapatkan dana dari pemerintah sekaligus dana dari Mahkamah Agung. Pada saat yang sama, kepolisian mengaku masih harus patungan dari kantong sendiri demi menyediakan jasa advokat untuk tersangka miskin di tahap penyidikan.

Tags:

Berita Terkait