Bantuan Hukum Front, Garda FPI yang Semi Otonom
Edsus Lebaran 2012:

Bantuan Hukum Front, Garda FPI yang Semi Otonom

Sering bersinggungan dengan masalah hukum, FPI akhirnya membentuk lembaga advokasi sendiri.

Rfq
Bacaan 2 Menit
Advokat Sugito Atmo Prawiro pengacara yang membela Ketua Umum FPI Habib M. Rizieq Shihab. Foto: Sgp
Advokat Sugito Atmo Prawiro pengacara yang membela Ketua Umum FPI Habib M. Rizieq Shihab. Foto: Sgp

Nama Sugito tercatat pada urutan nomor satu dari 20 list pengacara yang tertera pada pledoi Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib M. Rizieq Shihab. Berikutnya ada nama advokat Ari Yusuf Amir. Lalu sejumlah nama advokat yang kita kenal sering membela para terdakwa kasus terorisme antara lain Ahmad Michdan, Mahendradatta, dan Wirawan Adnan.

Ke-20 advokat itu tergabung dalam Bantuan Hukum Front yang menjadi pengacara Habib Rizieq. Sugito mengenang peristiwa sembilan tahun lalu itu. “Kita saling bekerjasama dengan TPM, karena bagaimanapun ada kesamaan visi dan misi,” ujar advokat bernama lengkap Sugito Atmo Prawiro itu.

TPM dimaksud adalah Tim Pembela Muslim yang diawaki Mahendradatta, Michdan, dan kawan-kawan. Kala membela Habib Rizieq di PN Jakarta Pusat pada 2003 silam, mereka meleburkan diri ke dalam tim pengacara Bantuan Hukum Front. Kala itu, Ketua Umum FPI itu tengah menghadapi dakwaan penghinaan terhadap pemerintah (pasal 154 KUHP) dan penghasutan (pasal 160 KUHP). Bantuan Hukum Front memungkinkan masuknya pengacara dari luar organisasi untuk proses pembelaan.

Bukan hanya Habib Rizieq yang dibela. Februari-April lalu, Bantuan Hukum Front (BHF) juga intens melakukan pembelaan terhadap Ketua FPI Yogyakarta, Bambang Tedi , yang dituduh melakukan penganiayaan.

Membela pengurus dan aktivis FPI merupakan bagian dari pekerjaan utama BHF. Lembaga bantuan hukum ini dibentuk sebagai respon atas berbagai permasalahan hukum yang timbul dalam kegiatan FPI. Ada beberapa aktivitas yang berbenturan dengan hukum. “Akhirnya DPP FPI berkeinginan supaya ada yang mem-back up secara advokasi,” jelas Sugito. BHF resmi berdiri melalui akta notaris pada sekitar tahun 1999.

Semi otonom

Meskipun berafiliasi dengan FPI, secara struktur BHF bukan bagian dari kepengurusan FPI. BHF menjadi lembaga bantuan hukum yang semi-otonom dari sisi pertanggungjawaban tugas-tugas bantuan hukum. Artinya, kata Sugito, “kami tidak di bawah kontrol DPP FPI”. Sugito adalah ketua umum BHF. Untuk urusan pelayanan bantuan hukum sehari-hari diangkat kepala kantor, yang saat ini diemban M. Sumantri.

Namun bukan berarti BHF lepas sama sekali dari radar organisasi. Segala program dan aktivitas BHF berada di bawah kendali ketua umum organisasi. Komunikasi dengan ketua umum tetap dijalin.

Dalam kaitan dengan bantuan hukum, selama ini BHF memanfaatkan forum training. Salah satu materi yang diajarkan dalam pelatihan di daerah dan wilayah adalah pembinaan hukum yang disajikan para advokat dari BHF. Bahkan sekarang ada kebijakan agar BHF didirikan di semua DPD (daerah) dan DPW (wilayah). Di DPP sendiri, rutin digelar pelatihan sekali dalam setahun.

Perkara yang ditangani BHF beragam, mulai dari perceraian, utang piutang, sengketa tanah, pidana, hingga perselisihan hubungan industrial. Sebagian besar kasus memang tak berujung ke pengadilan. “Konsultasi dan mediasi sangat banyak,” jelas Sugito. Kasus terakhir adalah penerbitan sebuah buku yang dinilai melecehkan agama Islam. Setelah mediasi, penerbit ternama akhirnya bersedia menarik buku terjemahan tersebut.

Dari sisi pendanaan, BHF mengandalkan anggota. Beberapa pengacara BHF memang menangani kasus profesional lain seperti korupsi. Pendapatan kantor pengacara menjadi semacam ‘zakat mal’ bagi operasional BHF.

Lintas agama

Dari sisi layanan, BHF wajib memberikan advokasi untuk pengurus dan aktivis FPI. Prinsip layanan bantuan hukum ini tidak menafikan pemberian layanan kepada orang yang bukan FPI. Bahkan para pendiri BHF, kata Sugito, sudah menggariskan kebijakan siapapun yang datang meminta bantuan hukum ke BHF, wajib dilayani. Masyarakat biasa yang datang meminta bantuan ke BHF cukup banyak terutama masalah sengketa tanah, utang piutang, dan hukum keperdataan lainnya.

Bahkan pemohon bantuan hukum bukan hanya Muslim sesuai identitas dasar FPI. “Bahkan, dari non-muslim juga banyak,” klaim Sugito Ia mengisyaratkan lewat tamsil. Jika ada warga yang hak-hak atas tanahnya dirampas oleh developer, sedangkan pemilik tanah punya bukti yang cukup, maka BHF akan memberikan advokasi. Bahkan tidak menutup kemungkinan bantuan laskar. Salah satu klien BHF dalam konteks lintas agama ini adalah pembangunan sebuah kluster perumahan di Jakarta Barat. BHF membantu sidang di PTUN Jakarta. Kali lain, BHF ikut mengadvokasi kasus ‘sengketa’ lahan parkir masjid di daerah Bekasi.

Sugito menegaskan BHF semata mengurusi advokasi hukum. Penegasan ini penting karena seringkali anggota masyarakat datang ke kantor pelayanan BHF padahal meminta bantuan laskar. Kalau minta bantuan laskar misalnya dalam kasus rebutan anak, urusannya dengan DPP FPI, bukan dengan BHF.

Aktivitas BHF berlandaskan aturan hukum. BHF akan bersikap ngotot membela yang hak jika yang dibela mampu menunjukkan bukti-bukti hukum yang kuat. Sebaliknya, pihak yang memiliki uang dan kekuasaan diminta menghormati hukum. Sebelum ada putusan pengadilan, selayaknya tidak mengklaim. Pesan ini disampaikan untuk sebuah kasus lahan tambang di Bekasi yang salah satu pihaknya diadvokasi pengacara dari BHF.

Persepsi dan identifikasi FPI dengan kekerasan ikut menjadi bahan refleksi dan pikiran BHF. Sebagai orang yang memahami hukum, Sugito dan rekan-rekan di BHF, termasuk pula divisi Hukum dan HAM di DPP FPI, selalu mengingatkan agar tidak terjadi keributan secara fisik dalam aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Bagaimanapun, hak-hak warga harus dihormati. Tetapi di lapangan masih sering terjadi penyimpangan. Dalam aksi sering ada reaksi. Resiko hukum aksi kekerasan sudah sering menimpa aktivis FPI. Dalam konteks ini, BHF selalu diminta memberikan advokasi.

Sebaliknya, Sugito juga mengingatkan agar aparat pemerintah menerapkan secara konsisten peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Jika ada larangan menjual minuman keras di bulan Ramadhan, misalnya, aparat penegak hukum harus bisa memastikan larangan itu dipatuhi. Dan, Sugito percaya, komunikasi adalah salah satu kuncinya…

Tags: