Bankir Plat Merah Minta Piutang BUMN Dipisahkan dari Piutang Negara
Berita

Bankir Plat Merah Minta Piutang BUMN Dipisahkan dari Piutang Negara

Hal ini penting untuk memperjelas bahwa penyelesaian piutang bank BUMN memiliki tata cara yang berbeda dengan tata cara penyelesaian piutang negara.

Tif/Lut
Bacaan 2 Menit
Bankir Plat Merah Minta Piutang BUMN Dipisahkan dari Piutang Negara
Hukumonline

Berlarut-larutnya penyelesaian kredit macet di perbankan nasional, terutama di bank-bank BUMN membuat para bankir Bank BUMN berkeluh kesah. Mereka mendesak pemerintah agar segera membuat aturan hukum yang menperjelas bahwa piutang bank BUMN tidak termasuk dalam piutang Negara.

 

Selama ini, piutang bank BUMN dianggap sebagai piutang Negara sehingga penyelesaiannya ditangani oleh Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) sesuai dengan tata cara prosedur penghapusan pokok piutang.

 

Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo menegaskan, tidak adanya aturan main yang jelas membuat piutang tersebut bermasalah atau biasa dikenal dengan kredit macet (non performing loan/NPL). Tingginya NPL bank BUMN ini disebabkan bank-bank BUMN tidak dapat melaksanakan penyelesaian secara tuntas terhadap NPL-nya. Ini akibat dari batasan-batasan peraturan perundangan yang berlaku terhadap bank BUMN. Penyelesaian NPL ban BUMN akan berdampak positif pada penurunan NPL nasionalm ujarnya dalam diskusi bertema Kemana Perbankan 2006 Akan Dibawa? di Hotel Nikko, Jakarta, Rabu (26/4).

 

Data Statistik Perbankan Indonesia dan Bank Indonesia menyebutkan, pada akhir Desember 2005, NPL perbankan nasional (BUMN dan swasta) mencapai 8,3 persen dengan nilai sebesar Rp 53,5 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak 74,9 persen NPL tersebut berasal dari bank-bank BUMN dengan nilai Rp 39,4 triliun. Sedang NPL non bank BUMN mencapai 25,1 persen dengan nilai Rp 14,1 triliun.

 

Dari bank BUMN yang ada, Bank Mandiri menempati urutan pertama dengan NPL 67,9 persen, lalu Bank BNI dengan NPL 21,5 persen, NPL Bank BRI 9 persen dan NPL Bank BTN 1,6 persen. Kalau dua bank BUMN dikeluarkan dari perhitungan, pasti tidak akan terjadi peningkatan NPL, tambah Agus.

 

Data DJPLN menyebutkan ada sembilan debitur piutang negara yang berasal dari Bank BNI dengan piutang masing-masing di atas Rp 50 miliar. Total sisa utang kesembilan debitur tersebut senilai Rp 323,337 miliar, US$46,908 juta, dan 870,849 juta yen Jepang. Sedang dari Bank Mandiri, ada 34 debitur piutang Negara dengan nilai piutang masing-masing di atas Rp 50 miliar.

 

Melihat fakta di atas, Agus menekankan bahwa produk hukum yang diminta itu akan memperjelas posisi mengenai piutang Negara. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara bahwa piutang negara adalah piutang yang dimiliki pemerintah pusat. Pemisahan piutang ini, lanjut mantan Dirut Bank Permata ini, tidak dimaksudkan mengubah pengertian keuangan negara sebagaimana diatur UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara.

 

Saat ini kurang jelas apa kewenangan bank BUMN dalam menyelesaikan NPL. Akibat adanya pembatasan terhadap bank BUMN membuat bank BUMN tidak dapat menerapkan pola restrukturisasi seperti dilakukan bank swasta lainnya sesuai dengan prosedur yang diizinkan Bank Indonesia. Kami hanya minta level playing field yang sama seperti bank swasta. Itu saja, tegas Agus.

 

Ia berharap dengan adanya kejelasan kewenangan bank BUMN ini akan menghapuskan keraguan sehingga bank BUMN dianggap sama dengan bank swasta lainnya yang bisa melakukan penghapusan pokok piutang, penjualan piutang di bawah nilai pokok serta mengalihkan/menjual piutang sebagai bagian dari penyelesaian NPL.

 

Sesmeneg BUMN Said Didu menyatakan bahwa dalam rapat yang dilakukan pada Selasa (25/4), telah disepakati revisi atas PP No 14/2005 tentang Penyelesaian Piutang Negara dan Keputusan Menteri Keuangan No 61/2002 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Revisi ini pada dasarnya, menegaskan bahwa piutang BUMN bukan piutang negara, sehingga tidak berlaku rezim pengelolaan piutang negara terhadap piutang BUMN. Selanjutnya, piutang BUMN ditangani secara rezim korporasi

 

Dari berbagai analisis, hanya dibutuhkan penegasan semacam PP yang dalam UU berbunyi bahwa ada yang diistilahkan penyelesaian piutang tingkat pertama, sehingga perlu penafsiran apa yang dimaksud penyelesaian piutang tingkat pertama. Itu bisa ditafsirkan bahwa diselesaikan secara korporasi, memakai UU Perseroan Terbatas, kata Didu.

 

Untuk kasus NPL, lanjut Didu, dapat diselesaikan dengan menggunakan UU PT dan Peraturan Bank Indonesia (PBI), sehingga perlakuan terhadap NPL sama. Untuk piutang tingkat kedua, harus masuk ke DJPLN. Jika hal ini disepakati Pemerintah maka dapat dilakukan, namun tetap melalui mekanisme rapat pemegang saham yang artinya pemerintah juga.

 

Tapi bukan berarti harus melalui lelang negara. Itu saja, jadi prosedurnya dipotong sehingga murni penyelesaian korporasi. Tapi karena pemegang sahamnya pemerintah, tidak lepas dari pengawasan pemerintah, kata Said Didu.

 

Direktur Utama Bank BNI Sigit Pramono menyatakan bahwa perubahan peraturan tidak semudah membalik telapak tangan dan NPL dapat langsung membaik. Pasalnya, lanjut ia, proses untuk restrukturisasi membutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk dapat memperbaiki posisi NPL. Dengan demikian, dampaknya baru dapat terlihat pada semester II 2006.

 

Target Bank BNI sebelumnya adalah menurunkan NPL di bawah 10 persen pada akhir 2006. Dengan adanya revisi PP, Sigit menyatakan bahwa pihaknya belum bisa menyatakan penurunan NPL akan lebih cepat. Pasalnya, ketentuan ini kan baru perbaikan dari sisi bank, sedangkan perbankan memerlukan debitur di sektor riil.

 

Sigit menilai pemberian haircut tidak bisa memberikan recovery 100 persen. Oleh karena itu, lanjut ia, bank BUMN meminta wewenang khusus dalam memberikan diskon agar nasabah bisa menyelesaikan masalah kreditnya.

 

Kalau dilihat dari aset bermasalah, tidak mungkin selesai 100 persen, harus ada diskon. Tapi kalau ada diskon, kan mengharap volume. Dulu yang selesai 1-2, orang yang baik hati, debitur yang masih mampu selesaikan 100 persen pokok. Kalau ada wewenang kita bisa buat percepatan program, misalnya kalau selesai dalam tiga bulan, kita berikan diskon pokok sekian persen. Kalau begini akan banyak yang datang, kata Sigit.

 

Sigit menyatakan bahwa jika dalam perubahan PP tersebut menyatakan bahwa modal bank BUMN yang BMPK dipisahkan tidak terkait dengan UU piutang negara, maka bank BUMN tidak perlu lagi SPV dan DJPLN. Masalahnya, lanjut ia, kalau bicara SPV sudah dianggap agak negatif, karena selama ini SPV dianggap sebagai suatu rekayasa. Padahal SPV ini merupakan praktek internasional.

Tags: