Bank Setuju Buka Nasabah untuk Pajak dengan Syarat
Berita

Bank Setuju Buka Nasabah untuk Pajak dengan Syarat

Transparansi sudah menjadi tren dunia perpajakan.

FNH
Bacaan 2 Menit
Kantor Pusat Ditjen Pajak. Foto: SGP
Kantor Pusat Ditjen Pajak. Foto: SGP
Proses pembahasan revisi UU Perbankan saat ini memang masih bergulir di DPR. Masih ada poin-poin dalam revisi yang masih terus dibahas. Salah satu yang krusial adalah keterbukaan data nasabah untuk kepentingan  perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP) menginginkan diberi akses data perbankan wajib pajak agar bisa dihitung kewajiban riil seorang wajib pajak.

Masalah itu sudah menjadi perdebatan. Ada yang menggangap jika data nasabah dibuka, data itu rawan disalahgunakan. Ada juga yang tegas menyebut data nasabah itu adalah rahasia yang tak bisa ditembus kecuali yang secara tegas dinyatakan dalam undang-undang. Misalnya untuk kepentingan penyidikan perkara pidana.

DJP berpandangan keamanan data nasabah akan dijamin jika akses diberikan.  Malah data nasabah perbankan asing untuk kepentingan perpajakan sudah dibuka bagi negara-negara yang bekerjasama dengan Indonesia dalam Common Reporting Standard. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 25/POJK.03/2015 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. Diatur juga dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 125/PMK.010/2015 tentang Perubahan Atas PMK No 60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi (Exchange of Information).

Komisi Kerja Perpajakan Perhimpunan Bank Swasta Nasional (Perbanas) Yudo Abrianto menyampaikan pada hakikatnya Perbanas tidak menolak data nasabah perbankan dibuka untuk kepentingan perpajakan. Sebab, perkembangan zaman saat ini sudah menuju tren transparansi terhadap data nasabah.

“Sekarang sudah transparan. Semua negara sudah membuka data nasabahnya salah satunya untuk kepetingan perpajakan,” kata Yudo dalam sebuah acara di Jakarta, Sesala (23/2).

Namun demikian, lanjutnya, permasalahannya terletak pada UU Perbankan yang tidak mengizinkan data dibuka kepada pihak DJP kecuali untuk kepentingan penyidikan. Masalahnya, belum jelas kapan revisi UU Perbankan rampung. Dalam draft revisi pun, data nasabah masih belum mendapatkan lampu hijau untuk boleh dibuka.

Yudo mengakui, sejauh ini data nasabah asing sudah dibuka bagi negara-negara asal nasabah yang sudah bekerjasama dengan Indonesia. Aturan pun sudah dikeluarkan. Sayang, hal tersebut justru belum berlaku di dalam negeri. “Kalau dalam negeri itu masih rahasia,” imbunya.

Hal senada juga disampaikan Komisi Kerja Perpajakan Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Nazaro Aulany Priyadi. Menurutnya, tak ada masalah bagi pihak perbankan untuk membuka data nasabah kepada DJP. Hanya saja, aturan yang dikeluarkan terkait keterbukaan data nasabah tersebut haruslah sepaket. “Kita sepakat dan sepaket (keterbukaan nasabah),” kata Nazaro kepada hukumonline.

Sepaket maksudnya adalah aturan haruslah diimplementasikan dan diinterpretasikan sama antarbank. Jika ada bank yang salah menginterpretasikan aturan tersebut maka hal tersebut akan menjadi masalah karena risiko adalah kehilangan nasabah dari bank yang patuh aturan ke bank yang semi patuh.

“Sepaket itu maksudnya jangan sampai di bank A itu memberikan, bank B tidak. Nasabah bisa pindah karena lemahnya interpretasi bank B itu menginterpretasikan tidak wajib. Bank yang A yang patuh malah rugi, semi patuh malah diuntungkan,” jelas Head of Taxation Bank BJB ini.

Jadi, UU Perbankan nantinya harus sepaket dengan ketentuan di bawahnya agar harmonis. Berdasarkan pengalamannya, dalam membuat UU seringkali peraturan petunjuk turunan lama diterbitkan.

Nazaro juga mengeluhkan benturan aturan-aturan yang ada di perbankan, salah satunya adalah keterbukaan data nasabah. Acapkali DJP memberikan ‘lampu merah’ bagi bank yang tidak mau memberikan data nasabah kepada pihak pajak di luar kepentingan penyidikan. Akibatnya, profil risiko bank jadi meningkat. “Sering terjadi. Ketika kita melakukan penolakan tendensinya adalah kita dianggap tidak patuh sehingga nanti saat dilakukan pemeriksaan itu pemeriksaannya jauh lebih dalam, jadi mengorek yang seharusnya tidak perlu,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait