Bahasa Hukum: Sumber Hukum Formal Bernama ‘Yurisprudensi’
Reformasi Peradilan:

Bahasa Hukum: Sumber Hukum Formal Bernama ‘Yurisprudensi’

Tradisi mengikuti putusan hakim terdahulu sebenarnya sudah lama dipraktekkan di Indonesia. Meski tak wajib, yurisprudensi bisa menjadi panduan.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kumpulan yurisprudensi yang diterbitkan Mahkamah Agung. Foto: MYS
Ilustrasi kumpulan yurisprudensi yang diterbitkan Mahkamah Agung. Foto: MYS

Putusan adalah mahkotanya hakim. Mempertimbangkan alat-alat bukti, fakta yang terungkap, plus keyakinan batinnya, majelis hakim memutuskan suatu perkara dengan menggunakan irah-irah ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Jika substansi perkaranya relatif sama, hakim bisa menggunakan putusan terdahulu sebagai rujukan. Jika hal ini dijalankan terus menerus niscaya kesatuan dan konsistensi putusan pengadilan dapat dicapai.

 

Putusan-putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap dan diikuti hakim-hakim lain itulah yang dipahami akademisi dan praktisi hukum di Indonesia sebagai yurisprudensi. Masalah yurisprudensi dan langkah-langkah yang perlu diambil oleh kalangan peradilan demi melahirkan kepastian hukum lewat putusan itulah antara lain yang ikut dibahas dalam Indonesian Judicial Reform Forum di Jakarta pertengahan Januari lalu.

 

Yurisprudensi berkaitan dengan perkembangan ilmu hukum dan dipandang sebagai salah satu intrumen untuk melihat konsistensi putusan hakim atau kepastian hukum. Sebagai negara yang mewarisi tradisi Eropa Kontinental, keberadaan yurisprudensi di Indonesia tidak semengikat dibanding negara dengan sistem hukum Anglo Saxon. Bukan berarti Indonesia tak mengenal penggunaan putusan hakim terdahulu. Tetapi jika dihubungkan dengan prinsip dasar kemandirian hakim, maka penerapan yurisprudensi akan menjadi tantangan. Terutama berkaitan dengan pertanyaan apakah yurisprudensi itu memiliki kekuatan mengikat, atau sebenarnya lebih memiliki kekuatan persuasif.

 

(Baca juga: Siapa Bilang Yurisprudensi Tak Penting Bagi Hakim Indonesia).

 

Tetapi pertanyaan yang paling mendasar dipahami sebenarnya adalah apa yang dimaksud yurisprudensi? Yurisprudensi berasal dari kata Latin ‘iuris’ ‘prudentia’ yang berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerheid). Secara leksikal, Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka (2015: 1568), mendefinisikan yurisprudensi sebagai (i) ajaran hukum melalui peradilan; dan (ii) himpunan putusan hakim.

 

Rachmat Trijono dalam buku Kamus Hukum (2016: 269) menyebutkan yurisprudensi sebagai putusan hakim yang diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya dalam kasus yang serupa. Dalam kamus hukum lain karya M. Marwan dan Jimmy P (2009: 651), yurisprudensi diartikan sebagai (a) ajaran hukum yang tersusun dari dan dalam peradilan, yang kemudian digunakan sebagai landasan negara; dan (b) suatu putusan haki terdahulu yang diikuti oleh hakim-hakim lainnya dalam perkara yang sama; atau kumpulan putusan Mahkamah Agung tentang berbagai vonis dari beberapa macam jenis kasus perkara berdasarkan pemutusan kebijakan para hakim sendiri yang diikuti hakim lainnya dalam perkara yang sama.

 

Dalam Black’s Law Dictionary (1999: 871) lema jurisprudence diterjemahkan ke dalam beberapa pengertian. Pada awalnya, di abad ke-18, jurisprudensi dimaknai sebagai studi tentang prinsip pertama alam, hukum sipil dan hukum bangsa-bangsa, yang lazim dikenal dengan istilah jurisprudentio natularis. Pada era yang lebih modern, dimaknai sebagai studi tentang elemen-elemen dasar sistem hukum. Ia juga bisa dimaknai sebagai studi tentang sistem hukum secara umum; preseden peradilan yang diikuti secara kolektif; studi tentang pengetahuan hukum (dalam literatur Jerman); suatu sistem, badan, atau bagian dari hukum; dan case law.

 

(Baca juga: Ini 11 Putusan MA Berstatus Landmark Decisions Tahun 2016).

 

Dalam ilmu pengetahuan hukum, yurisprudensi dianggap sebagai salah satu sumber hukum formal, selain perundang-undangan, kebiasaan, traktat, dan doktrin. Ada banyak contoh yurisprudensi, sebagian di antaranya sangat dikenal para praktisi dan akademisi hukum. Salah satunya, yurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtsmatigedaad). Sebelum tahun 1919, Hoge Raad di Belanda menganut pandangan bahwa perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar undang-undang atau berhubungan dengan hak orang lain. Setelah putusan Hoge Raad Belanda tanggal 31 Januari 1919, pandangan pengadilan itu berubah. Kini, perbuatan hukum termasuk pula perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan sikap hati-hati yang pantas dalam lingkup kehidupan bermasyarakat. Contoh yurisprudensi lain yang terkenal adalah pencurian listrik. Meskipun bendanya tidak terlihat, pencurian arus listrik bisa dikualifikasi sebagai pencurian.

 

Di Indonesia, selama puluhan tahun, Mahkamah Agung menjaga tradisi menghimpun putusan-putusan yang dianggap sebagai yurisprudensi. Beberapa tahun terakhir, putusan-putusan terpilih –tidak menggunakan istilah yurisprudensi—dipublikasikan bersamaan dengan Laporan Tahunan Mahkamah Agung. Ada juga yurisprudensi tentang kedudukan janda dalam pewarisan; ahli waris pengganti; dan hak isteri yang berbeda agama dari suaminya.

 

Seiring bertambahkanya pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia, maka yurisprudensi bukan saja datang dari Mahkamah Agung dan empat lingkungan peradilan di bawahnya, tetapi juga dari putusan Mahkamah Konstitusi. Misalnya, putusan mengenai hak pilih keturunan orang tua yang terkena tuduhan anggota Partai Komunis Indonesia; putusan tentang hubungan anak yang lahir di luar nikah dengan ayah biologisnya, dan putusan mengenai hak buruh dalam kepailitan.

 

Yurisprudensi tetap dan yurisprudensi tidak tetap

Dalam praktek hukum di Indonesia, dikenal pula istilah ‘yurisprudensi tetap’ dan ‘yurisprudensi tidak tetap’. Kamus Hukum karya M Marwan da Jimmy P mengartikan yurispruensi tetap sebagai putusan hakim yang terjadi karena rentetan putusan yang sama dan dijadikan dasar atau patokan untuk memutuskan suatu perkara. Sebaliknya, yurisprudensi tidak tetap sebagai putusan hakim terdahulu yang belum masuk menjadi yurisprudensi tetap.

 

Ahmad Kamil dan M. Fauzan dalam buku Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi (2004: 8-13) menuliskan belum ada defisini jelas tentang apa itu ‘yurisprudensi tetap’ dan ‘yurisprudensi tidak tetap’. Cuma, ditegaskan dalam buku itu, untuk dapat dikategorikan yurisprudensi harus melalui proses eksaminasi dan notasi dari Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi.

 

Hasil penelitian BPHN pada 1995 menyimpulkan bahwa suatu putusan hakim dapat disebut sebagai yurisprudensi, apabila putusan hakim itu memenuhi unsur-unsur berikut: (a) Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya; (b) Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap; (c) Telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama; (d) Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan; dan (e) Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

 

Dari pendapat dan pendirian beberapa hakim agung Mahkamah Agung, ‘yurisprudensi tetap’ adalah: putusan-putusan hakim tingkat pertama, banding, atau putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, atas perkara atau kasus yang belum jelas aturan hukumnya yang memiliki muatan keadilan dan kebenaran, telah diikuti berulang kali oleh hakim berikutnya dalam memutus perkara yang sama, putusan mana telah diuji secara akademis oleh majelis yurisprudensi di Mahkamah Agung dan telah direkomendasikan sebagai yurisprudensi tetap yang berlaku mengikat dan wajib diikuti hakim-hakim di kemudian hari’. Contoh yurisprudensi tetap adalah bunga yang tidak diperjanjikan sebesar 6 persen per tahun.

 

Yurisprudensi tidak tetap adalah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap namun belum melalui uji eksaminasi dan notasi tim Mahkamah Agung dan belum ada rekomendasi untuk menjadi yurisprudensi tetap.

 

(Baca juga: Melihat Intisari Landmark Decisions MA Tahun 2012).

 

Sudah pasti, jumlah putusan yang dijatuhkan hakim terus bertambah. Untuk mengetahui kualifikasi putusan itu sebagai yurisrudensi perlu dilakukan kajian, terutama oleh Mahkamah Agung. Tetapi agar argumentasinya lebih kuat, pemilihan putusan berkualifikasi yurisprudensi itu perlu dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas. Seperti terungkap dalam IJRF 2018, kalangan akademisi juga harus terus didorong untuk melakukan kajian (anotasi) terhadap putusan-putusan hakim.

Tags:

Berita Terkait