Bahasa Hukum: “Atasan yang Berhak Menghukum”
Berita

Bahasa Hukum: “Atasan yang Berhak Menghukum”

Keberadaan Ankum menjadi salah satu masalah krusial dalam revisi UU Peradilan Militer.

Mys
Bacaan 2 Menit
Bahasa Hukum: “Atasan yang Berhak Menghukum”
Hukumonline

Dalam dunia hukum kita sering mendengar kata ‘Ankum’ dan ‘Papera’. Ankum adalah singkatan dari atasan yang berhak menghukum, sedangkan papera singkatan dari perwira penyerah perkara. Istilah ankum dikenal dalam hukum pidana militer.

Bagi anggota militer di Indonesia berlaku dua ketentuan materil sekaligus yaitu KUH Pidana (KUHP) sebagai pidana umum, dan KUH Pidana Militer (KUHPM) sebagai aturan khusus. Pemberlakuan hukum pidana khusus (KUHPM) itu, menurut Subekti (1955: 130), berkaitan dengan adanya beberapa perbuatan yang jika dilakukan masyarakat sipil tidak diancam hukum, tetapi jika dilakukan militer menjadi suatu tindak pidana. Misalnya, insubordinasi dan desersi.

Ankum, dalam UU No. 31 Tahun 1997, diartikan sebagai atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan.

Ankum memiliki beberapa kewenangan, yaitu: (i) melakukan penyelidikan terhadap prajurit yang ada di bawah wewenang komandonya; (ii) menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari penyidik; (iii) menerima berkas perkara hasil penyidikan; dan (iv) melakukan penahanan terhadap tersangka prajurit yang ada di bawah komandonya. Jika bertugas sebagai penyidik, kewenangan seorang penyidik berlaku juga bagi Ankum.

Kewenangan utama Ankum yang tak dimiliki semua petugas peradilan militer adalah menahan atau menangguhkan penahanan tersangka. Pemberian kewenangan yang besar pada Ankum merupakan koreksi terhadap UU No. 6 Tahun 1950 mengenai Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam Lingkungan Pengadilan Ketentaraan. Undang-Undang ini memungkinkan jaksa tentara dirangkap oleh sipil, sehingga acapkali tentara dihukum tanpa sepengetahuan komandan. Melalui sistim UU No. 6 Tahun 1950, Ankum sebagai penanggung jawab kesatuan merasa dilampaui. Hal ini, kata Moch. Faisal Salam (2002: 12), menimbulkan salah pengertian antara komandan selaku penanggung jawab kesatuan dengan jaksa yang bertanggung jawab menegakkan hukum. Perubahan paradigma dilakukan pada produk hukum selanjutnya, dimulai dari UU No. 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara Republik Indonesia, dan UU No. 1 Drt Tahun 1958 tentang Hukum Acara Pidana Tentara.

Ankum biasanya adalah komandan langsung prajurit bersangkutan. Tugas seorang ankum akan bertambah jika ia diangkat menjadi Perwira Penyerah Perkara (Papera). Urgensi Ankum dalam peradilan militer berangkat dari prinsip ‘kesatuan komando’ (unity of command). Peran komandan prajurit dalam menangani suatu tindak pidana militer tidak bisa dikesampingkan. Sebab, menurut S.R. Sianturi (1985: 54), adakalanya peran komandan lebih diutamakan ketimbang petugas penegak hukum seperti polisi militer, oditur, dan hakim militer.

Bahkan ankum dan Papera sangat menentukan hasil kerja proses peradilan militer. Ankum dan Papera menentukan dilanjutkan tidaknya suatu tindakan prajurit ke proses hukum di peradilan militer. Karena itu, Kontras (2009: 59) mengkritik keberadaan Ankum dan Papera. Independensi penyelidik dan penyidik tindak pidana militer bisa terganggung akibat mekanisme atasan-bawahan, terutama proses melalui Ankum. Ini yang menyebabkan penegakan hukum militer tidak efisien dan menyita waktu banyak.

Dalam praktik, terjadi tarik menarik antara Ankum di satu pihak dengan aparat penegak hukum di pihak lain. Aparat penegak hukum berkepentingan membawa tersangka ke pengadilan, sedangkan Ankum/Papera cenderung menghindari karena membawa ke pengadilan sama saja mempersoalkan tanggung jawab Ankum bersangkutan sebagai komandan. Selalu ada potensi konflik antara komandan kesatuan selaku Ankum dengan aparat penegak hukum. Apalagi kalau militer diadili di peradilan sipil. (M. Fajrul Falaakh et al, 2001: 159).

Keinginan membawa prajurit yang melakukan tindak pidana ke peradilan sipil muncul dalam upaya revisi UU No. 31 Tahun 1997. Gagasan ini sebagai konsekuensi dari penyatuan atap peradilan militer ke bawah Mahkamah Agung. Dalam dalam prosesnya, banyak kendala yang muncul. Salah satunya adalah mengenai Ankum. Jika peran Ankum dan Papera diabaikan, maka Brigjen Haryanto (19) khawatir “pembinaan prajurit menjadi tidak jelas”.

Sementara dalam pembinaan dan pengawasan personil, harus senantiasa memperhatikan kewenangan Ankum menegakkan hukum disiplin. Kata Sonson Basar (2009: 15), “wewenang atasan yang berhak menghukum senantiasa diperhatikan”.

Referensi:

Haryanto, Brigjen TNI. “Prospektif Peradilan Militer dalam Hukum Nasional”, disampaikan pada Rakernas MA Tahun 2009

Kontras. Menerobos Jalan Buntu: Kajian Terhadap Sistem Peradilan Militer di Indonesia. Jakarta: Kontras, 2009.

M. Fajrul Falaakh et al. Implikasi Reposisi TNI-Polri di Bidang Hukum. Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, 2001.

Moch. Faisal Salam. Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 2002.

S.R. Sianturi. Hukum Pidana Militer di Indonesia. Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1985.

Sonson Basar, “Pembinaan dan Pengawasan Prajurit TNI dalam Rangka Meningkatkan Pelayanan Pengadilan di Lingkungan Peradilan Militer”, disampaikan pada Rakernas MA Tahun 2009.

Subekti. Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan. Jakarta: Soeroengan, 1955.

Tags: