Bagi Parpol, Visi-Misi Hanya Kewajiban Administratif
Berita

Bagi Parpol, Visi-Misi Hanya Kewajiban Administratif

Sebab, pemilihan umum tak mewajibkan kubu parpol melakukan reformasi internal.

KAR
Bacaan 2 Menit
Bagi Parpol, Visi-Misi Hanya Kewajiban Administratif
Hukumonline
Ketimpangan ekonomi sampai saat ini masih menjadi salah satu permasalahan utama di Indonesia. Kenyataan itu tetap mengemuka meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi 1997 lalu.

Koordinator Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, Irine Gayatri, menilai banyak faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan di Indonesia. Ia menyebut bahwa faktor yang utama adalah tidak adanya strategi utuh yang menjaminpemenuhan hak‐hak dasar warga Negara terutama di wilayah yang masih tertinggal.

“Dari sisi tata kelola pemerintahan, ketimpangan juga belum mendapat perhatian dari aktor‐aktor lainnya seperti partai politik dan parlemen dalam hal ini DPR. Mereka masih melihat ketimpangan sebagai isu nomor dua  dibandingkan dengan korupsi, pemerintahan yang baik, reformasi birokrasi ataupun pertumbuhan ekonomi,” katanya dalam seminar hasil studi bertajuk 'Partai Politik, Pemilihan Umum dan Ketimpangan Sosial dan Ekonomi di Indonesia' di Jakarta, Kamis (27/3).

Lebih lanjut, Irine melihat visi partai politik terkait masalah ketimpangan ekonomi dan sosial masih bersifat normatif. Menurutnya, visi ini belum dapat menjadi acuan bagi kader di daerah untuk membuat suatu program yang dekat dengan permasalahan. Irine mengakui, umumnya parpol memiliki visi yang jelas merepon isu ketimpangan.

“Namun, dalam penerapan kebijakan yang merespon ketimpangan ekonomi dan sosial, ditentukan kualitas pemahaman pada konsep partai dari kader di daerah,” tambahnya.

Dia mencontohkan, Partai Demokrat memiliki Grand Strategi 2005 sampai 2010. Selain itu, Partai Demokrat juga memiliki buku saku penanggulangan kemiskinan yang dikeluarkan DPP Demokrat.

Sayangnya, Irine menemukan fakta di lapangan yang menunjukkan sedikit kader atau bahkan tidak ada yang merujuk dokumen tersebut ketika menjawab isu ketimpangan.

"Jawaban lebih banyak berasal dari penalaran yang bersifat individual. Artinya, belum ada penjabaran lebih lanjut yang dapat diturunkan ke tingkat program," ujarnya.

Tanpa pemahaman kader, kata Irine, program yang diusung cenderung jauh dari akar permasalahan. Ia menganggap visi parpol seharusnya diturunkan kepada kader melalui pendidikan berkelanjutan. Selain itu, ia menekankan bahwa partai politik harus membuat sistem rekrutmen yang mengedepankan kualitas calon kader, sehingga parpol menjadi partai modern tanpa bergantung pada sosok individual semata.

Pengamat politik Syamsudin Haris juga mengkritisi visi dan misi parpol dalam pemilu mendatang. Menurut Syamsudin, visi dan misi caleg dan parpol hanya untuk memenuhi syarat administratif dalam Pemilu 2014. Sebab, ia menilai sistem pemilihan umum tak mewajibkan kubu parpol melakukan reformasi internal. Akibatnya, parpol justru menikmati skema pemilu ini.

"Parpol menikmati pemilu. Platform visi misi itu cuma dokumen tertulis, makanya begitu naik ke panggung ya dangdutan. Visi misi cuma kewajiban administratif saja. Mereka tidak harus capek menuliskan platform visi misi, enggak perlu kaderisasi, enggak perlu pusing soal pendanaan. Skema pemilu macam ini dapat menciptakan pemerintahan yang tidak efektif dan tidak akuntabel,” ujarnya.

Padahal, Syamsudin menyatakan bahwa parpol memiliki peran penting terkait dengan persoalan bangsa. Ia mengungkapkan, parpol adalah salah satu agen utama sistem demokrasi. Oleh karena itu, dirinya berharap seharusnya parpol bisa berkontribusi dan member solusi, tidak hanya dalam meningkatkan kualitas demokrasi ke arah yang lebih substansial dan terkonsolidasi.

“Melalui partai politiklah, aspirasi pemilih bisa diagregasi dalam bentuk kebijakan ketika mereka terpilih sebagai anggota parlemen. Makanya kita melihat perlu mengidentifikasi partai politik sebagai aktor pembangunan dalam melihat persoalan yang berkaitan dengan ketimpangan di Indonesia,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait