Badan Pengkajian MPR Tindaklanjuti Rekomendasi Amandemen UUD 1945
Berita

Badan Pengkajian MPR Tindaklanjuti Rekomendasi Amandemen UUD 1945

Dengan menyerap aspirasi dan masukan dari seluruh elemen masyarakat. Saat ini, belum ada kata sepakat antarfraksi dan kelompok DPD soal poin mana saja yang bakal diamandemen secara terbatas.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Hanya saja, di tingkat internal fraksi di MPR belum ada kata sepakat amandemen UUD 1945 secara terbatas seperti apa yang diinginkan. Menurut Saleh, bila mengikuti rekomendasi MPR periode 2014-2019 dengan tujuh poin tersebut, konsekuensinya bakal berdampak luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. “Sistem ketatanegaraan yang berlaku saat ini pun terkena dampaknya,” kata dia.  

 

Dia mengingatkan agar keputusan amandemen UUD 1945 perlu adanya kesamaan pandangan antarfraksi dan kelompok DPR serta membuka diri menerima masukan dari semua kalangan masyarakat. Nantinya, aspirasi atau masukan masyarakat menjadi pertimbangan MPR dalam mengamandemen konstitusi. “Fraksi PAN sendiri sedang menyisir poin-poin mana saja yang layak untuk diamandemen.”

 

Diakuinya rencana amandemen UUD 1945 masih sebatas rekomendasi, belum ada keputusan bersama di parlemen yang baru dilantik. Keputusan bersama amandemen 1945 bergantung dari kesiapan masing-masing fraksi, kelompok DPR, DPR di MPR periode saat ini. “Kita tunggu saja dulu bagaimana perkembangannya karena pekerjaan ini tidak mudah,” katanya.

 

Ketua MPR periode 2014-2019 Zulkifli Hasan pernah mengatakan perlunya mengamandemen terbatas terhadap UUD 1945. Yakni memasukan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) ke dalam konstitusi. Tujuanya supaya ada arah keselarasan pemerintah pusat dan daerah dalam pemerintahan.

 

Zul yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua MPR periode 2019-2024 itu menilai, GBHN bersifat filosofis dengan tanpa mengubah hal lainnya dalam konstitusi. Termasuk soal aturan pemilihan presiden tetap digelar secara langsung. Prinsipnya, semua fraksi dan kelompok DPR menyepakati amandemen terbatas dengan menghidupkan kembali GBHN. “Perlunya Indonesia punya haluan negara,” katanya.

 

Sebelumnya, wacana amandemen UUD RI 1945 kembali disuarakan sejumlah elit poltik di Senayan. Salah satunya, amandemen UUD RI 1945 ditujukan untuk memperkuat MPR dan memberlakukan kembali GBHN. Wacana itu menuai kritik dari sejumlah kalangan, antara lain dari masyarakat sipil dan akademisi.

 

Salah satunya, Dosen STHI Jentera Bivitri Susanti yang menilai tidak ada urgensinya mengamandemen konstitusi jika tujuannya hanya memberlakukan kembali GBHN dan memperkuat MPR. Menurutnya, ada empat alasan kenapa GBHN tidak diperlukan lagi untuk kondisi saat ini. Pertama, GBHN tidak relevan lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku saat ini. Sebelum amandemen UUD 1945, GBHN merupakan mandat MPR untuk presiden karena sistem yang berlaku ketika itu presiden dipilih oleh MPR. Namun, sejak Pemilu 2004, presiden dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat.

Tags:

Berita Terkait