Baca Referensi Sambil Jaga Diri di Jagat Maya
Resensi

Baca Referensi Sambil Jaga Diri di Jagat Maya

Pertanggungjawaban pidana sudah berkembang. Terbuka peluang pertanggungjawaban korporasi diberlakukan dalam kasus pemberitaan media.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Buku Pidana Pemberitaan Medsos. Foto: MYS
Buku Pidana Pemberitaan Medsos. Foto: MYS

Mungkin tak ada orang yang menginginkan dirinya masuk perangkap pidana karena ciutan atau postingan di media sosial. Tetapi perangkap itu selalu terbuka untuk menjerat siapa saja, tak peduli pekerjan atau latar belakang Anda. Perangkap itu bisa tiba-tiba dimasuki orang yang sedang menjabat di kekuasaan, bisa pula oleh anak remaja yang iseng membuat status di facebook, bahkan bisa jadi oleh seseorang yang mengomentari ciutan pesohor.

 

Penggunaan media sosial tak lagi sepenuhnya berstatus kebutuhan tersier. Di kawasan perkotaan hingga ke pedesaan ratusan juta orang di Indonesia punya gawai, sebagian besar di antaranya menggunakan fasilitas media sosial seperti facebook, instagram, atau twitter. Mereka mengeluarkan uneg-uneg, sikap politik, pernyataan dukungan, curahan hati (curhat), bertransaksi, hingga membuat postingan yang menyerang orang lain.

 

Ironisnya, tak semua orang yang berselancar di jagat maya dan berkomunikasi di medsos memahami betul rambu-rambunya. Ada yang menggunakan medsos sebagai sarana melakukan kejahatan; lain halnya sebagian lain menggunaan perangkat tekonologi untuk tujuan kebaikan. Begitulah teknologi berkembang: menampilkan dua sisi dalam satu keping luang logam. Tinggal bagaimana kita menggunakan dan mengendalikan diri untuk tidak masuk perangkap hukum jagat maya. Makanya ada adagium: ‘mulutmu harimaumu’, yang kini diubah menjadi ‘gadgetmu harimaumu’.

 

(Baca juga: Inilah Aturan dan Etika Bermedia Sosial ‘Gadgetmu Harimaumu’)

 

Salah satu perangkap yang telah banyak menjerat banyak orang adalah perangkap pidana. Puluhan orang di Indonesia harus berhadapan dengan aparat penegak hukum hanya karena postingan di medsos. Ada yang terjerat pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan ada yang dituduh melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

 

Sebenarnya, sudah banyak buku dan panduan yang diterbitkan, termasuk panduan berinternet sehat. Tetapi tak sedikit pula yang terus melakukan kajian, mendokumentasikan kajian itu, lalu menyebarkan pengetahuannya kepada masyarakat. Mengapa? Ternyata, hingga kini penggunaan medsos kian berkembang, dan makin banyak rambu yang harus dipenuhi. Jika dulu, medsos sekadar konsumsi pertemanan, kini ciutan di twitter atau postingan di laman facebook sudah sering dikutip orang untuk konsumsi publik melalui pemberitaan.

 

Salah satu kajian terbaru yang relevan dengan itu adalah ‘Pidana Pemberitaan Media Sosial’ karya Nynda Fatmawati Octarina. Buku ini sebenarnya berasal dari disertasi yang disusun Nynda dan dipertahankan perempuan kelahiran 29 Oktober 1977 itu di hadapan Guru Besar Universitas Airlangga, Surabaya. Penulis berangkat dari situasi dimana perkembangan teknologi informasi telah memunculkan beragam persoalan yang juga menyangkut aspek hukum.

 

Judul buku

Pidana Pemberitaan Media Sosial

Penulis

Nynda Fatmawati Octarina

Cet-1

Februari 2018

Penerbit

Setara Press, Malang

Ukuran

 15,5 x 23 cm; 262 hal + xxvii

 

Jika membaca judul yang tertera pada cover saja, pembaca bisa terkecoh seolah-olah buku ini murni mengenai pasal-pasal pidana yang bisa menjerat orang yang bermedsos ria. Begitu masuk ke dalam dan membaca secara utuh, maka pembaca akan paham bahwa buku ini sebenarnya lebih fosus pada persoalan pers, khususnya pertanggungjawaban di dunia jurnalistik dalam konteks perkembangan medsos.

 

Penulis memang mengangkat sebuah perkembangan yang menarik di dunia jurnalistik, yakni jurnalisme warga. Praktik jurnalistik ini melibatkan warga yang bukan pekerja jurnalistik, dan hasil pekerjaannya tidak diperoleh melalui cara-cara baku di dunia jurnalistik seperti coverboth sides. Di Indonesia, jurnalisme warga bisa dibilang sudah mulai berkembang dan kegunaannya dirasakan saat ada peristiwa-peristiwa besar seperti serangan teroris dan bencana alam (hal. 84).

 

(Baca juga: Seribu Wajah UU ITE Baru)

 

Buku ini juga mendeskripsikan teori-teori pertanggungjawaban yang berlaku di dunia jurnalistik: teori pers bebas atau libertarian, teori pers pertanggungjawaban sosial, dan pers Sovyet yang berakar pada otoritarianisme. Dalam perkembangannya, konsep pertanggungjawaban pidana itu meluas sehingga pihak-pihak yang bisa dijerat karena pemberitaan di medsos juga semakin luas. Penulis buku ini mencoba mengusulkan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap perusahaan pers, sebuah wacana yang sudah muncul beberapa tahun terakhir. Wacana yang telah menggerus asas hukum universitas delinquere non potest, asas yang menganggap korporasi tak bisa dipidana.

 

Lepas dari fokus penulisan buku ini dan bagian-bagian yang berulang, karya Nynda Fatmawati Octarina ini layak dibaca para pegiat medsos, khususnya yang bekerja di lingkungan dunia jurnalistik. Setidaknya, buku ini membuka cakrawala pembaca di dunia yang tak berbatas.

 

Selama membaca…!

Tags:

Berita Terkait