Awas Keliru! Ini Bedanya Penerjemah Tersumpah dan Juru Bahasa Pengadilan
Utama

Awas Keliru! Ini Bedanya Penerjemah Tersumpah dan Juru Bahasa Pengadilan

Ada perbedaan definisi dari yang diatur Permenkumham tentang Penerjemah Tersumpah.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Pelatihan juru bahasa dan penerjemah di FIB Universitas Indonesia. Foto: Istimewa/FIB
Pelatihan juru bahasa dan penerjemah di FIB Universitas Indonesia. Foto: Istimewa/FIB

Istilah ‘penerjemah’ kerap dipahami secara keliru sebagai ‘juru bahasa’. Kedua kata ini memang sama-sama muncul dalam teks peraturan perundang-undangan yang masih berlaku. Namun, jika ditelisik lebih cermat, sebenarnya ada perbedaan antara ‘penerjemah’ dengan ‘juru bahasa’. Apalagi jika penerjemah yang dimaksud adalah penerjemah tersumpah. Penting bagi kalangan ahli hukum memahami perbedaannya agar tidak salah langkah dalam menggunakan jasa mereka, misalnya sebagai ahli dalam persidangan.

Pada prinsipnya, seorang penerjemah dan juru bahasa adalah seseorang yang memiliki keahlian melakukan alih bahasa. Cuma, berdasarkan penelusuran hukumonline, dalam praktik saat ini penerjemah (translator) mengacu pada ahli dalam alih bahasa lewat tulisan. Sedangkan juru bahasa (interpreter) adalah ahli dalam alih bahasa secara lisan. Jika  bertemu seseorang yang menguasai kedua keahlian ini, Anda sangat beruntung menggunakan jasanya dalam proses hukum. “Keterampilannya berbeda,” jelas Inanti Pinintakasih Diran kepada hukumonline.

Inanti adalah seorang juru bahasa profesional yang menjadi pendiri Asosiasi Juru Bahasa Konferensi Indonesia. Perempuan yang telah menekuni profesi ini selama 20 tahun memaparkan, tidak semua penerjemah mampu melakukan alih bahasa sebagai juru bahasa. Demikian pula sebaliknya.

(Baca juga: Penerjemah Tersumpah, Profesi Peninggalan Kolonial yang Kembali Eksis).

Juru Bahasa

Inanti yang aktif mengajar di Lembaga Bahasa Internasional Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia menyayangkan kekeliruan pemahaman yang masih terjadi di masyarakat. Terutama kalangan praktisi hukum ketika mereka membutuhkan juru bahasa di pengadilan. Ia mengaku sering membantu sebagai juru bahasa dalam sidang arbitrase.

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, istilah ‘juru bahasa’ setidaknya muncul pada UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan istilah ‘penerjemah’ digunakan pada UU No. 30 Tahun 2004 juncto UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Demikian pula pada pasal 5 UU No. 13 Tahun 2006 juncto UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ditemukan lema ‘penerjemah’ dalam konteks hak bagi saksi dan korban.

Dalam perundang-undangan lama, keberadaan seseorang yang membantu alih bahasa di persidangan diatur dalam Pasal 131 Herzien Inlandsch Reglement (HIR). Ada versi terjemahan HIR yang menulisnya dengan istilah ‘juru bahasa’, sedangkan versi terjemahan lainnya menafsirkannya sebagai ‘penerjemah’.

Hukumonline.com

Bahkan, pengaturan tentang orang yang bertugas melakukan ‘alih bahasa’ dituangkan dalam  Staatsblad 1859 No. 69 tentang Sumpah Para Penerjemah dan Staatsblad 1894 No. 169 tentang Para Penerjemah. Teks berbahasa Belanda pada Staatsblad menggunakan istilah bentuk jamak yaitu translateurs.

Hukumonline.com

Staatsblad era Belanda yang mengatur tentang penerjemah. Foto: Edwin.

Inanti menjelaskan kekeliruan yang sering dilakukan oleh hakim, jaksa, atau advokat dalam membedakan ‘juru bahasa’ dengan ‘penerjemah tersumpah’. Menurut Inanti, pada dasarnya tidak ada ‘juru bahasa tersumpah’. “Banyak pengadilan di Indonesia masih meminta yang tersumpah, sementara tidak ada juru bahasa yang tersumpah. Seringkali yang dipakai adalah penerjemah tersumpah yang tidak memiliki keahlian di bidang penjurubahasaan,” Inanti menjelaskan.

Menurut Inanti, keahlian ‘juru bahasa’ bisa dijamin oleh sertifikat kompetensi lembaga pendidikan bahasa atau organisasi yang menaungi juru bahasa. Sedangkan perkara pengambilan sumpah, seorang ‘juru bahasa’ baru disumpah di pengadilan saat membantu terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 177 ayat (1) KUHAP. Hingga saat ini tidak ada prosedur juru bahasa di Indonesia yang diambil sumpah secara khusus untuk mengukuhkan statusnya profesinya.

Inanti menjelaskan bahwa salah satu perbedaan mencolok antara ‘juru bahasa’ dengan ‘penerjemah’ adalah hasil dari alih bahasa yang mereka lakukan. Penjurubahasaan disebutnya lebih dinamis dalam menyampaikan pesan dan pemikiran. “Juru bahasa harus mampu menyampaikan kembali pesan dengan akurat, tapi bukan kata per kata,” ujarnya. Prosesnya dapat melalui cara konsekutif yang seperti dialog bergantian dengan jeda atau cara simultan yaitu ‘juru bahasa’ berbisik secara langsung untuk setiap kalimat yang dialihbahasakan.

Penerjemah Tersumpah

Mengenai ‘penerjemah’, ada penjelasan dari Adhyastri Karmisanti Wirajuda, seorang penerjemah tersumpah. Perempuan yang biasa disapa Astrid ini bekerja sebagai penanggung jawab urusan penerjemahan di firma hukum Hiswara Bunjamin & Tandjung sekaligus pengajar di Lembaga Bahasa Internasional Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia untuk pelatihan penerjemahan teks hukum.

Menurut Astrid, penerjemah harus sangat setia terhadap kata-kata dan struktur kalimat yang sedang dialihbahasakan. Penerjemah cenderung sangat teliti memastikan tidak ada detil yang hilang dari teks bahasa asal. Ini berbeda dengan kerja juru bahasa yang berlangsung seketika sehingga lebih fokus pada substansi pesan yang dialihbahasakan. Ketelitian ini semakin tinggi untuk penerjemahan berbagai dokumen hukum. Terutama dokumen hukum asing ke bahasa Indonesia. “Ada perbedaan kosep sistem hukum,” ujarnya.

(Baca juga: Kini, Penerjemah Tersumpah Boleh Praktek di Seluruh Penjuru Indonesia).

Belum lagi ragam bahasa hukum setiap negara memiliki karakteristik berbeda dengan bahasa sehari-hari. Itu sebabnya kebutuhan penerjemah tersumpah paling utama untuk dokumen hukum. “Hasil terjemahan oleh penerjemah tersumpah sangat menjadi pegangan hakim di pengadilan,” ujarnya.

Sama seperti istilah ‘juru bahasa’ yang tidak ada penjelasan tentang kualifikasinya dalam undang-undang, ‘penerjemah tersumpah’ pun demikian. KUHAP tidak merinci kualifikasi juru bahasa, sedangkan UU Jabatan Notaris tidak merinci sertifikat dan pendaftaran apa yang dimaksudkan bagi para ‘penerjemah tersumpah’.

Astrid menjelaskan bahwa sejak tahun 1980 penerjemah tersumpah adalah mereka yang dinyatakan lulus Ujian Kualifikasi Penerjemahan (UKP) lalu dilantik oleh penyelenggara UKP. Kebanyakan mereka bergabung menjadi anggota Himpunan Penerjemah Indonesia. Namun tidak berarti para anggota Himpunan Penerjemah Indonesia adalah seorang penerjemah tersumpah yang telah lulus UKP dan diambil sumpah.

Perlu diketahui bahwa UKP yang dimaksud Astrid tidak diselenggarakan Himpunan Penerjemah Indonesia dan tidak diawasi oleh Kementerian manapun. Penyelenggaranya adalah Pemerintah DKI Jakarta bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (saat itu masih bernama Fakultas Sastra-red.) Universitas Indonesia. Peserta yang lulus akan diambil sumpah oleh Gubernur DKI Jakarta dan ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. Mekanisme ini terkesan janggal karena penerjemah diangkat gubernur. Apakah ini terjadi karena terjadi kekosongan hukum pada pengangkatan penerjemah tersumpah yang disebutkan dalam Staatsblad 1894 No. 169 tentang Para Penerjemah?

Kebutuhan penerjemah tersumpah saat itu bertujuan menjamin berbagai terjemahan dokumen transaksi investasi asing diakui oleh majelis hakim saat terjadi sengketa. DKI Jakarta yang menjadi pusat pembangunan merasa berkepentingan untuk menyediakan penerjemah tersumpah meskipun hanya mengacu pada Staatsblad 1894 No. 169 tersebut.

Atas inisiatif Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo, UKP terus berlangsung sejak tahun 1980 sampai 2010. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia ditunjuk sebagai penyelenggara UKP dengan Keputusan Gubernur No.1319 Tahun 1980 tentang Penunjukan Fakultas Sastra Universitas Indonesia sebagai Penguji Bahasa bagi Para Calon Penerjemah Bahasa Asing yang Disumpah dan Tidak Menerima Gaji dari Pemerintah/Negara.

Hukumonline.com

Foto: Dokumen MoU tentang penerjemah (Foto Istimewa)

Rahmat Sadeli Soebagia Soemadipradja, partner pendiri firma hukum Soemadipradja & Taher (S&T), membenarkan penjelasan Astrid. Pria yang juga seorang penerjemah tersumpah sejak tahun 1989 itu mengakui bahwa penerjemah tersumpah menjadi penting agar validitas dokumen hukum mudah diterima oleh pengadilan Indonesia saat terjadi sengketa.

Setidaknya dalam praktik hingga kini, pengadilan sudah menjadikan ‘penerjemah tersumpah’ jebolan UKP sebagai standar valid sebuah dokumen hukum hasil terjemahan. “Hasil terjemahan penerjemah tersumpah itu bisa diterima oleh hakim,” katanya. Padahal, yang terpenting bagi kliennya adalah terjemahan yang akurat ketimbang sekadar ‘cap’ hasil kerja penerjemah tersumpah.

Rahmat menjelaskan sejumlah kantor hukum besar di Jakarta memiliki unit penerjemahan sendiri yang tidak jarang juga mempekerjakan penerjemah tersumpah. Beberapa orang kantor hukum memiliki kemampuan menerjemahkan sangat akurat melampaui kemampuan rata-rata penerjemah tersumpah yang ada.

Bahkan untuk keperluan juru bahasa di pengadilan pun para hakim, jaksa, dan advokat selalu ngotot harus dilakukan seorang penerjemah tersumpah. Padahal keterampilan juru bahasa dan penerjemah memiliki perbedaan. UKP hanya menguji keterampilan penerjemahan tertulis. Penerjemah tersumpah yang hanya dihasilkan di Jakarta dirasakan menjadi tidak adil saat kebutuhannya semakin luas, termasuk di wilayah lain Indonesia. Berdasarkan catatan hukumonline, pada 2010 lalu, Pemerintah DKI Jakarta menghentikan UKP.

Diambil Alih Kemenkumham

Regulasi penerjemah tersumpah berubah ketika tahun 2016 lalu disahkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No. 29 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Pelaporan, dan Pemberhentian Penerjemah Tersumpah (Permenkumham Penerjemah Tersumpah).

Melalui regulasi ini, pertama kalinya sepanjang sejarah, Pemerintah Pusat memberikan pengakuan pada profesi penerjemah tersumpah mulai dari definisi hingga cara pengangkatan. Pengambilan sumpah akan diambil alih Kementerian Hukum dan HAM, sedangkan UKP diserahkan pada lembaga pendidikan atau perguruan tinggi.

Permenkumham tersebut ternyata juga langsung mengacu pada Staatsblad sebagai landasan hukum. Artinya, memang belum ada dasar hukum lain soal penerjemah tersumpah. Terjadi perubahan syarat untuk menjadi penerjemah tersumpah antara lain tidak boleh dirangkap dengan menjadi advokat. Namun Permenkumham ini telah menyatukan fungsi penerjemah dengan juru bahasa sekaligus dalam definisi penerjemah tersumpah.

Pasal 1 Permenkumhan menegaskan bahwa Penerjemah Tersumpah adalah orang atau individu yang mempunyai keahlian dalam melakukan terjemahan, yang telah diangkat sumpah oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dan terdaftar pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Terjemahan adalah hasil alih bahasa, baik tertulis maupun lisan, dari bahasa asing ke bahasa Indonesia atau sebaliknya.

Sayangnya, berdasarkan keterangan dari Lembaga Bahasa Internasional Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia belum ada UKP yang diselenggarakan sejak Permenkumham Penerjemah Tersumpah disahkan. Rekrutmen penerjemah tersumpah masih vakum sejak 2010.

Hingga kini belum ada kejelasan tentang pelaksanaan Permenkumham Penerjemah Tersumpah. Belakangan, Himpunan Penerjemah Indonesia menyelenggarakan banyak Tes Sertifikasi Nasional bagi anggotanya dengan pilihan kualifikasi penerjemahan dokumen hukum atau juru bahasa. Nampaknya cara tersebut untuk membantu kekurangan sumber daya profesional yang tersedia karena UKP masih belum diselenggarakan kembali.

Tags:

Berita Terkait