Awal 2020, Revisi Permenaker KHL Bakal Terbit
Berita

Awal 2020, Revisi Permenaker KHL Bakal Terbit

Sesuai ketentuan Pasal 43 ayat (5) PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mengamanatkan KHL ditinjau dalam jangka waktu 5 tahun.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Penetapan upah minimum setiap tahun kerap diwarnai polemik. Upaya meminimalisir polemik itu pemerintah menerbitkan sejumlah aturan, salah satunya PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Beleid itu mengatur formula penetapan upah minimum antara lain mengacu inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sejak PP Pengupahan diterbitkan, kenaikan upah minimum setiap tahun rata-rata 8 persen. Meski demikian, penetapan upah minimum berdasarkan formula ini masih dirasa kurang tepat baik dari kalangan pengusaha maupun buruh.

 

Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan, Dinar Titus Jogaswitani mengatakan upah minimum ditujukan untuk memberi perlindungan terhadap pekerja sekaligus menjaga keberlanjutan usaha agar terus berjalan dan berkembang. Upah minimum juga ditujukan bagi pencari kerja agar mereka mampu masuk dunia kerja.

 

“Formula penetapan upah minimum sebagaimana diatur dalam PP Pengupahan merupakan yang terbaik bagi semua pihak,” kata Dinar Titus dalam diskusi yang digelar stasiun radio di Jakarta, Rabu (11/12/2019). Baca Juga: Upah Minimum Naik 8,51 Persen Tahun 2020 Tidak Ideal?

 

Dinar menjelaskan penetapan upah minimum juga turut mempertimbangkan besaran Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang sudah dihitung dalam upah minimum tahun 2015. Seperti diketahui, sebelum PP Pengupahan terbit, penetapan upah minimum mengacu hasil survei KHL yang dilakukan dewan pengupahan daerah. Setelah PP Pengupahan terbit, survei KHL sudah tidak dilakukan karena perhitungannya sesuai formula yang sudah ditetapkan.

 

Dia menilai survei KHL yang selama ini dilakukan kurang ideal, sehingga besaran KHL yang dihasilkan tidak tepat. Akibatnya, ada daerah yang upah minimumnya lebih tinggi dibanding daerah sekitarnya. Untuk membenahi persoalan ini, pemerintah akan mengevaluasi KHL di setiap daerah melalui revisi Permenaker No.13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.

 

Revisi Permenaker KHL ini, menurut Dinar merupakan mandat Pasal 43 PP Pengupahan dimana KHL ditinjau dalam jangka waktu 5 tahun. Melalui revisi itu diharapkan besaran KHL di setiap daerah sesuai dengan kebutuhan pekerja dan tidak ada kesenjangan upah yang tinggi antardaerah yang berdekatan. “Awal tahun 2020 Permenaker baru ini harus terbit dan akan digunakan untuk menghitung KHL di seluruh daerah,” ungkapnya.

 

Direktur Eksekutif Aprisindo Firman Bakri mengatakan salah satu tantangan yang dihadapi industri alas kaki di Indonesia adalah tingginya upah minimum di sejumlah daerah. Upah mengambil porsi sekitar 31 persen dari total ongkos produksi industri alas kaki. Salah satu cara yang dilakukan perusahaan untuk menghadapi tantangan itu agar mampu bertahan di tengah persaingan global yakni relokasi ke daerah yang upah minimumnya tergolong rendah, seperti di Jawa Tengah.

 

Tak sekedar upah, Firman menekankan secara umum kalangan industri butuh dukungan pemerintah daerah melalui penyediaan tenaga kerja sesuai kebutuhan industri. Selain itu, penting bagi setiap kepala daerah untuk turun langsung melakukan pengawasan dalam rangka mendukung industry, seperti menjamin kemudahan perizinan.

 

Firman mengingatkan pemerintah daerah akan mendapat manfaat langsung dari investasi yang masuk antara lain berupa dana bagi hasil dari pemerintah pusat dalam bentuk PPh. Kemudian mendapatkan pemasukan dari pajak penerangan jalan umum. “Kami berharap ada insentif yang diberikan dari pemerintah daerah terhadap industri, sehingga ada pengurangan beban bagi industri agar lebih kompetitif dan geliat ekonomi masyarakat setempat makin meningkat.”

 

Sekjen Opsi Timboel Siregar mengusulkan agar upah tidak dipandang hanya sebagai tanggung jawab pengusaha, tapi juga perlu peran pemerintah. Untuk membantu kalangan buruh memenuhi kebutuhan hidupnya pemerintah bisa menempuh berbagai upaya, antara lain mengurangi ongkos ilegal seperti pungli yang selama ini menghantui kalangan pengusaha dan infrastruktur yang mendukung industri.

 

Selain itu, Timboel berpendapat sistem pengupahan perlu terintegrasi dengan program jaminan sosial, khususnya yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek). Timboel mencatat dana buruh yang dikelola BP Jamsostek sampai akhir tahun ini diperkirakan mencapai Rp500 triliun. Hasil investasi dari dana tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan manfaat program jamsos yang diterima buruh.

 

Hal itu sesuai mandat UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengatur hasil pengelolaan dana jaminan sosial (DJS) digunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan sebesar-besar kepentingan peserta. “Misalnya, jika buruh mau membeli beras, dengan menunjukan kartu BP Jamsostek dia bisa mendapat diskon,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait