Aturan yang Hambat Hak Memilih Resmi Diuji
Berita

Aturan yang Hambat Hak Memilih Resmi Diuji

MK diminta segera memutus permohonan ini agar KPU tidak terhambat secara teknis dalam menindaklanjuti putusan MK ini.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Para Pemohon usai mendaftarkan pengujian UU Pemilu di halaman depan gedung MK, Selasa (5/3). Foto: AID
Para Pemohon usai mendaftarkan pengujian UU Pemilu di halaman depan gedung MK, Selasa (5/3). Foto: AID

Sejumlah warga negara yang belum memiliki KTP elektronik (e-KTP), lembaga swadaya masyarakat bidang pemilu, akademisi hukum tata negara resmi mendaftakan permohonan uji materi sejumlah pasal dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait prosedur administratif keikusertaan masyarakat dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) pada 17 April 2019.

 

Mereka adalah Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini; Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity(Netgrit) Hadar Nafis Gumay; Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas Feri Amsari. Selain itu, dua orang warga binaan di Lapas Tangerang yaitu Augus Hendy dan A. Murogi bin Sabar, serta dua karyawan, Muhammad Nurul Huda dan Sutrisno.

 

Pendaftaran permohonan ini diwakili oleh Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity). Mereka memohon pengujian Pasal 210 ayat (1), Pasal 350 ayat (2), Pasal 383 ayat (2), Pasal 348 ayat (4), (9) UU Pemilu. Pengujian UU Pemilu ini untuk menyelamatkan potensi hilangnya jutaan suara rakyat sebagai pemilih dengan alasan tidak memenuhi syarat prosedur administratif untuk memilih dalam pemilu legislatif dan pilpres.

 

“Kami sudah mendaftarkan permohonan uji konstitusionalitas UU Pemilu terkait aturan yang berpotensi mempersulit hak pemilih dalam pemilu," ujar senior Partner Integrity, Prof Denny Indrayana selaku kuasa hukum para pemohon di Gedung MK Jakarta, Selasa (5/3/2019). Baca Juga: Sejumlah Tantangan dalam Gelaran Pemilu 2019

 

Denny menjelaskan Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu mengatur tentang pendaftaran dalam Daftar Pemilih Tetap Tambahan (DPTb) hanya dapat diajukan paling lambat 30 hari sebelum pemungutan suara. Padahal, untuk masuk dalam DPTb jangka waktunya tidak dapat diperkirakan. “Orang pindah itu ada batas waktu terdaftarnya di DPTb, paling lambat 30 hari. Tapi kalau mendadak, karena alasan kerja, alasan bencana, bisa lewat," kata Denny.

 

Pasal 350 ayat (2) terkait tentang lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS), Denny meminta pasal ini bisa ditafsirkan bisa dibuatkan TPS khusus untuk mengakomodasi pemilih dengan kebutuhan khusus. Misalnya pemilih yang sedang menjalankan tugas, di rumah sakit, di panti sosial, di rumah tahanan.

 

Pasal 383 ayat (2) mengatur tentang penghitungan suara yang harus selesai di hari yang sama dengan tanggal proses pemungutan di TPS. Aturan ini, menurutnya, berpotensi tidak terpenuhi karena kompleksitas penghitungan suara yang dapat mempengaruhi kondusivitas dan keabsahan Pemilu 2019. Ia meminta agar ada solusi hukum mengantisipasi proses penghitungan suara yang diperkirakan berjalan lebih lama daripada pemilu sebelumnya. Mengingat, pemilu serentak ini terdapat lima kertas suara.

 

“Kita meminta supaya proses penghitungan dapat selesai pada hari yang sama pada saat pemungutan suara. Upaya ini dilakukan agar tidak menimbulkan masalah legalitas keabsahan pemilu.”

 

Lalu, Pasal 348 ayat (4) mengatur tentang pindah memilih. Menurutnya, pemilih yang pindah untuk memilih berpotensi kehilangan suaranya dalam pemilihan legislatif. Sedangkan, Pasal 348 ayat (9) terkait penggunaan e-KTP bisa untuk memilih. Ia menilai aturan ini membuat pemilih yang tidak memiliki e-KTP dengan jumlah sekitar 4 juta orang berpotensi kehilangan hak pilihnya.

 

“Dua warga binaan di Lapas Tangerang, Augus Hendy dan A. Murogi bin Sabar ini tidak punya e-KTP. Mereka tidak terdaftar, tidak bisa memilih karena tidak ada TPS khusus di sana yang bisa melayani teman-teman semacam ini. Ini jumlahnya tidak tahu," kata dia.

 

Dia mengutip Putusan MK Nomor 01–017/PUU-I/2003 yang menyebutkan hak rakyat untuk memilih dan dipilih adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, maupun konvensi internasional. Karena itu, pembatasan penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara yang memenuhi syarat untuk memilih dan dipilih.  

 

Selain itu, lanjut Denny, menurut Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009, hak rakyat untuk memilih dan dipilih sebagai hak konstitusional ini tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. (Baca Juga: Potensi Persulit Hak Memilih, UU Pemilu Dipersoalkan)

 

Beberapa pertimbangan

Direktur Perludem, Titi Anggraini mengatakan ada beberapa pertimbangan atau alasan pengajuan permohonan ini. Pertama, memastikan asas pemilu, setiap warga negara harus dijamin hak pilihnya secara sungguh-sungguh dalam Pemilu 2019. Jadi, Pemilu 2019 ini harus konstitusional karena tidak boleh satu suara pemilih pun yang terciderai. Sebab, formulasi regulasi pemilu tersebut belum sepenuhnya menangkap fenomena sosial di masyarakat yang bisa berpotensi menghilangkan jutaan suara pemilih.

 

“Entah ini karena faktor persyaratan atau kompleksitas teknis pelaksanaan di lapangan?” ujar Titi.

 

Kedua, Pemilu Serentak 2019 ini merupakan pemilu yang sangat kompetitif. Karena itu, demi kepastian hukum, KPU harus bisa bekerja dengan landasan hukum yang kuat. Meskipun, ada beberapa terobosan yang dilakukan KPU untuk menjamin pemenuhan hak pilih warga negara, tetapi kami ingin memastikan bahwa KPU betul-betul bisa bekerja berdasarkan kepastian hukum yang kuat, yang tidak membuka diskursus baru dalam pelaksanaan pemilu.

 

“Dalam praktik pemilu yang sangat kompetitif, celah yang tidak bisa dijamin oleh kepastian hukum yang kuat memungkinkan potensi terjadinya gugatan hukum ataupun sengketa. Jadi, kami ingin memastikan pengaturan pelaksanaan pemilu kita betul-betul memberi jaminan kepastian hukum.”

 

Ketiga, harapan kompleksitas teknis pemilu di lapangan tidak menganggu kualitas pemilu. Seperti diatur Pasal 383 terkait penghitungan suara harus selesai pada hari yang sama dengan pemungutan. Dengan pembelajaraan pemilu yang lalu, ingin memastikan bahwa kompleksitas dan beban teknis KPU tidak menjadi kendala bagi penyelenggara pemilu yang betul-betul berkualitas.

 

“Kita ingin menguji penghitungan suara harus selesai pada hari yang sama guna memberi ruang yang lebih rasional kepada KPU untuk bekerja dengan baik tanpa hambatan teknis. Kita berharap, MK bisa cepat memutus, sehingga KPU tidak terhambat secara teknis dalam menindaklanjuti putusan MK. Sebab, MK harapan kami.”

Tags:

Berita Terkait