Aturan Waralaba Terbaru Terbit, Ini Poin-poin Perubahannya
Utama

Aturan Waralaba Terbaru Terbit, Ini Poin-poin Perubahannya

Dinilai sebagai bentuk support dari pemerintah kepada para pelaku usaha waralaba di Indonesia.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerbitkan Permendag No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Lahirnya beleid ini ditujukan untuk mengembangkan industri waralaba di Indonesia. Dengan tujuan itu pula, pemerintah mencoba memperlonggar aturan yang sebelumnya diatur secara ketat dalam Permendag No. 57 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Waralaba.

 

Beberapa kemudahan untuk pelaku usaha yang diberikan lewat Permendag 71/2019 ini antara lain adalah dihapusnya mengenai batasan gerai waralaba, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang sebelumnya wajib 80 persen kini hanya menjadi wajib, hingga batasan master franchise bagi pemberi waralaba asing.

 

Namun demikian, beberapa aturan lain yang mengikat perusahaan waralaba masih dinyatakan berlaku. Misalnya, batasan gerai salah satunya dengan Peraturan Daerah (Perda) soal zonasi yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2016. Serta aturan TKDN dalam industri waralaba yang diatur dalam Permendag No. 47 Tahun 2016 tentang Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri yang juga dinyatakan masih berlaku.

 

(Baca Juga: Banyak Pengusaha Waralaba Belum Daftar Izin Usaha)

 

Pasal 18:

  1. Penyelenggara Waralaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mengutamakan penggunaan barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh Pemberi Waralaba.
  2. Pemberi Waralaba harus bekerja sama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah setempat sebagai Penerima Waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa sepanjang memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba.
  3. Pengutamaan penggunaan barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 19:

Dalam penyelenggaraan Waralaba, Pemberi Waralaba mengutamakan pengolahan bahan baku di dalam negeri.

 

Pemendag ini juga memberikan kewajiban Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) yang diatur dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, dan Pasal 13. Sedangkan bagi yang melanggar akan dikenai sanksi administratif dan diatur dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31.

 

Pasal 10:

Pemberi Waralaba, Pemberi Waralaba Lanjutan, Penerima Waralaba, dan Penerima Waralaba Lanjutan wajib memiliki STPW.

Pasal 11:

  1. Pemberi Waralaba, Pemberi Waralaba Lanjutan, Penerima Waralaba, dan Penerima Waralaba Lanjutan mengajukan permohonan STPW melalui Lembaga OSS.
  2. STPW diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama Menteri atau Bupati/Walikota.
  3. Direktorat Bina Usaha dan Pelaku Distribusi memproses permohonan STPW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terdiri atas:
  1. STPW Pemberi Waralaba berasal dari luar negeri;
  2. STPW Pemberi Waralaba berasal dari dalam negeri;
  3. STPW Penerima Waralaba dari Waralaba luar negeri;
  4. STPW Pemberi Waralaba Lanjutan dari Waralaba luar negeri;
  5. STPW Pemberi Waralaba Lanjutan dari Waralaba dalam negeri;
  1. Dinas yang membidangi Perdagangan atau Unit Terpadu Satu Pintu di wilayah Provinsi DKI Jakarta atau Kabupaten/Kota di seluruh wilayah Indonesia memproses permohonan STPW sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terdiri atas:
  1. STPW Penerima Waralaba dari Waralaba dalam negeri:
  2. STPW Penerima Waralaba Lanjutan dari Waralaba Luar Negeri; dan
  3. STPW Penerima Waralaba Lanjutan dari Waralaba Dalam Negeri.
  1. Ketentuan mengenai persyaratan dan pelayanan penerbitan STPW mengacu pada ketentuan peraturan perundangan-undangan yang mengatur mengenai pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik di bidang perdagangan.

 

Ketua Umum Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali), Levita Supit, mengapresiasi terbitnya Permendag 71/2019 tersebut. Menurutnya, kehadiran Permendag tersebut merupakan bentuk support dari pemerintah kepada para pelaku usaha waralaba di Indonesia.

 

“Kita ambil positif bahwa pemerintah mau men-suport para pelaku usaha waralaba di Indonesia, apalagi Pak Presiden mengatakan ingin meningkatkan enterpreneur yang ada di Indonesia. Sekarang ‘kan entrepreneur masih sedikit, jadi kita tingkatkan supaya lebih banyak,” katanya kepada Hukumonline, Senin (7/10).

 

Guna memenuhi target pemerintah untuk meningkatkan enterpteneur, pengusaha yang juga berprofesi sebagai advokat ini menilai sudah sepatutnya sektor waralaba diberikan support. Apalagi, dengan dihapuskannya pembatasan gerai waralaba membuat perkembangan usaha di sektor ini menjadi meningkat.

 

Namun demikian, Levita menegaskan aturan ini memiliki dua sisi, yakni positif dan negative. Positifnya, pelaku usaha diminta untuk berkembang tanpa harus memikirkan batasan-batasan kepemilikan gerai. Namun negatifnya, aturan ini bisa menimbulkan monopoli dikarenakan tak ada batasan-batasan tersebut.

 

“Dengan regulasi tersebut artinya ya pelaku usaha sudah benar-benar konsen mengembangkan usaha dengan tidak harus memikirkan tidak boleh melebihi batasan yang sudah ditetpkan oleh pemerintah. Kalau negatif, tentu bisa terjadi monopoli untuk bisnis tersebut. Tidak membagikan ke yang lain karena semua adalah milik dia,” imbuhnya.

 

Sedangkan untuk dihapusnya pasal yang mewajibkan 80 persen TKDN, Levita menyebut hal itu tak jadi masalah. Pasalnya, meskipun pemerintah memberikan kelonggaran kepada pelaku usaha untuk menentukan produk yang akan dijual, selama ini pelaku usaha masih condong untuk menggunakan produk dalam negeri. Alasan utamanya adalah cost atau biaya untuk penggunaann produk dalam negeri jauh lebih hemat jika dibandingakan dengan produk impor.

 

“Kalau produk ada di dalam negeri maka mereka akan ambil produk dalam negeri agar membuat cost lebih kecil. Pelaku usaha lebih suka dan cenderung gunakan produk lokal kalau memang produk itu tersedia di dalam negeri. Pertimbangannya krena cost lebih kecil karena pembelian dalam bentuk rupiah. Kalau impor ‘kan itu pakai dollar belum lagi ongkos kirim. Jadi bukan berarti dengan tidak diberlakukan nanti pelaku usaha akan mempergunakan produk luar, ‘kan tidak begitu juga,” pungkasnya.

 

Sebelumnya, Staf Ahli Bidang Iklim Usaha dan Hubungan Antar Lembaga Kementerian Perdagangan, Karyanto Suprih, berharap bisnis waralaba ddapat mendorong konsumsi untuk menyokong pertumbuhan ekonomi nasional di tengah perlambatan ekonomi global saat ini. Dia mengatakan bahwa konsumsi menjadi sasaran baru lantaran ekspor yang menjadi andalan Indonesia sulit dikerek.

 

"Ekspor yang selama ini menjadi penopang Indonesia cukup berat jadi andalan. Oleh karena itu, variabel lain yang dapat jadi andalan adalah konsumsi dalam negeri. Nah 'franchise' (waralaba) ini mendorong konsumsi dalam negeri," ujarnya seperti dilansir Antara.

 

Karyanto meyakini pertumbuhan bisnis waralaba bisa mencapai 8 persen hingga 10 persen. Kondisi politik yang sudah stabil akan dapat mendukung pertumbuhan bisnis itu. Karyanto juga meyakini revisi Permendag Waralaba akan memberi kemudahan bagi pelaku bisnis waralaba karena dipangkasnya sejumlah hal yang menjadi hambatan.

 

Tags:

Berita Terkait