Aturan SNI Terbaru: Prosedur Longgar, Sanksi Ketat
Utama

Aturan SNI Terbaru: Prosedur Longgar, Sanksi Ketat

Prosedur pengurusan SNI dipangkas. Namun, ada penambahan sanksi dalam hal pengawasan.

KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: KFIndonesia
Foto: KFIndonesia

Pemerintah menyatakan komitmennya untuk meningkatkan daya saing industri nasional. Terkait dengan hal itu, Menteri Perdagangan pun mencabut perizinan mengenai pengawasan pra pasar terhadap barang impor yang telah diberlakukan standar nasional Indonesia (SNI).

Deregulasi itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) terbaru tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan. Permendag No.72/M-DAG/PER/9/2015 tersebut sekaligus menjadi perubahan ketiga atas Permendag No.14/M-DAG/PER/3/2007 yang sebelumnya juga sudah diubah pada tahun lalu.

Ada 14 ketentuan yang termuat dalam Permendag teranyar. Ketentuan tersebut antara lain menghapus beberapa aturan dalam Permendag terlebih dahulu. Misalnya, ketentuan mengenai Surat Pendaftaran Barang (SPB). Permendag 2015 menyatakan, pengawasan pra pasar barang impor hanya dilakukan melalui Nomor Pendaftaran Barang (NPB). Penerbitan NPB pun kini menggunakan sistem komputerisasi. Sehingga, pelaku usaha cukup mengakses Indonesia National Single Window (INSW) secara online.

Dalam Permendag Tahun 2007, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 16 ayat (1), SPB merupakan dokumen impor yang di dalamnya terdapat NPB. Sementara itu, dalam Permendag tahun 2015 disebutkan bahwa NPB tetap wajib dimiliki meskipun ketentuan mengenai SPB ditiadakan. Selain itu, jika sebelumnya SPB diharuskan ada dalam setiap aktivitas impor, kini NPB hanya berlaku sesuai dengan masa berlaku Sertifikat Produk
Penggunaan Tanda (SPPT) SNI dan tidak dapat diperpanjang. Hanya saja, NPB yang sudah terlanjur tebit sebelum adanya Permendag 2015, dinyatakan tetap berlaku.

Penghapusan SPB juga mengubah prosedur re-ekspor. Sebelumnya, jika permohonan SPB ditolak atau ada ketidaksesuain barang dengan SNI, maka pengusaha harus melakukan re-ekspor. Kini, jika terbukti barang yang dijual tidak sesuai dengan SNI, maka NPB akan dibekukan hingga pengusaha menyampaikan hasil perbaikannya kepada pemerintah. Sementara itu, re-ekspor dilakukan jika pengusaha terbukti tidak memiliki NPB. Adapun mengenai biaya pelaksanaan masih tetap harus ditanggung perusahaan.

Mengenai tata cara pendaftaran barang pun menjadi lebih sederhana. Di dalam Permendag 2015 hanya disyaratkan pengajuan perolehan NPB dengan melampirkan foto kopi angka pengenal importir (API), foto kopi SPPT SNI atau sertifikat kesesuaian lain, foto barang yang didaftarkan, dan untuk pendaftaran barang tertentu menyertakan surat pendaftaran/ijin tipe.

Sementara itu, jika dibandingkan dengan aturan yang berlaku sebelumnya, yaitu Permendag tahun 2014, pengusaha juga diwajibkan melampirkan surat pernyataan kesediaan mencantumkan tanda SNI dan NPB pada barang atau kemasan produknya. Belum lagi, harus ada foto kopi packing list, invoice, dan Bill of Landing (B/L), Airway Bill non-Negotiable, ataupun Inland Bill. Importir yang namanya tercantum dalam B/L juga harus disebutkan dalam sebuah surat pernyataan dari pabrikan luar negeri bahwa produk yang diekspornya telah sesuai dengan SNI.

Meskipun dalam pendaftaran NPB tak diperlukan lagi surat pernyataan kesediaan mencantumkan tanda SNI dan NPB dalam barang atau kemasan produk, namun Permendag 2015 tetap mewajibkan pencantuman NPB itu. Pasal 19 Permendag telah diubah sehingga ketentuannya mengatur bahwa setiap barang atau kemasan yang akan diperdagangkan wajib mencantumkan NPB.

Bahkan, kini sanksi atas kelalaian tidak mencantumkan NPB menjadi lebih berat. Sebelumnya, jika tidak ada NPB dalam produk atau kemasan, pengusaha hanya menerima teguran tertulis. Saat ini, sanksi yang dikenakan langsung berupa larangan menjual produk tersebut. Jika sanksi tersebut dalam satu bulan tidak memberikan efek jera, NPB pengusaha langsung dibekukan.

Dalam hal pengawasan SNI, Permendag 2015 menambahkan satu pasal baru. Pasal 6A mengatur bahwa pelaku usaha yang memperdagangkan barang wajib mengetahui identitas pemasok barang yang diperdagangkannya. Disebutkan, paling tidak ada dua hal yang menjadi identitas minimal pemasok barang. Hal itu adalah nama dan alamat lengkap baik bagi tiap produsen, importir, distributor, subdistributor, maupun pemasok lainnya.

Ketentuan mengenai asal-usul barang tak hanya sekadar kewajiban bagi pengusaha. Sebab, ada sanksi menanti bagi pengusaha yang tak mematuhinya. Dalam Permendag 2015 disebutkan, sanksi yang diberikan adalah sanksi administratif, bisa berupa teguran, larangan memperdagangkan produk tersebut, atau bahkan pencabutan izin usaha.

Pengawasan juga diperketat dengan penambahan mekanisme uji petik. Permendag terbaru menyatakan bahwa sewaktu-waktu pihak petugas Kementerian Perdagangan dapat mengambil sampel barang yang telah mendapat SNI untuk diuji. Barang itu harus diambil langsung dari gudang perusahaan. Hal ini tak lain dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap konsumen. Oleh karena itu, Permendag mengamanatkan pembentukan Peraturan Direktur Jenderal yang mengatur secara khusus mengenai hal ini, jika dipandang perlu. 

Tags:

Berita Terkait