Aturan Remisi Terpidana Korupsi Layak Diperketat
Berita

Aturan Remisi Terpidana Korupsi Layak Diperketat

Kementerian bersikukuh remisi adalah hak setiap terpidana.

ADY
Bacaan 2 Menit
Diskusi pro-kontra remisi tahanan koruptor, di Kantor ICW, Jakarta, Selasa (24/3). Foto: RES
Diskusi pro-kontra remisi tahanan koruptor, di Kantor ICW, Jakarta, Selasa (24/3). Foto: RES
Rencana Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna H. Laoly, merevisi PP No. 99 Tahun 2012 disorot berbagai pihak. Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho, melihat wacana yang berkembang dipublik atas rencana itu yakni melonggarkan pemberian remisi untuk terpidana korupsi. Padahal, PP No. 99 Tahun 2012 itu memperketat pemberian remisi dan pembebasan bersarat salah satunya untuk koruptor.

"Ketatnya pemberian remisi untuk koruptor sebagaimana diatur dalam PP No. 99 Tahun 2012 saat ini justru berupaya ditinjau ulang oleh pemerintah. Kondisi ini menimbulkan pro dan kontra sekaligus pertanyaan besar soal komitmen pemerintah Jokowi dan JK, khususnya Menkumham dalam upaya pemberantasan korupsi," kata Emerson dalam jumpa pers di kantor ICW di Jakarta, Selasa (24/3) kemarin.

Emerson sepakat remisi adalah hak setiap narapidana. Tapi jangan dilupakan syarat pemberian remisi seperti kesediaan bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana. Terpidana juga harus membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan korupsi.

ICW khawatir syarat-syarat ketat pemberian remisi dalam PP No. 99 Tahun 2012 akan dihapus, sehingga yang tersisa sekadar ‘berkelakuan baik’. Padahal klausula ‘berkelakuan baik’ tanpa parameter yang jelas dan rawan diselewengkan. Karena itu, ICW meminta Menteri Yasonna H Laoly membatalkan rencana revisi. “Kami mendesak Menkumham untuk batalkan rencana revisi PP No. 99 Tahun 2012 itu," tukasnya.

Jika tetap dilakukan, langkah sang Menteri, ujar Emerson, akan bertentangan dengan Nawa Cita yang diusung Jokowi-JK. Langkah ini juga tidak berpihak pada pemberantasan korupsi karena memberi kelonggaran remisi untuk koruptor.
"Rencana Menkumham itu bertentangan dengan agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah," urai Emerson.

Tindak pidana korupsi, dikatakan Emerson, telah disepakati sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Itu dapat dilihat dari penjelasan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pengetatan pemberian remisi untuk koruptor harus dimaknai sebagai cara luar biasa memperlakukan koruptor karena telah merugikan negara.
“Sudah seharusnya pembebasan bersyarat (PB) dan remisi diperketat untuk koruptor, jangan dilonggarkan atau disamakan dengan tindak lidana lainnya,” tukasnya.

Dari jajak pendapat yang dibuat oleh lembaga survei dan media menunjukan publik tidak ingin diberi remisi. Selain itu pemberian remisi juga mengurangi efek jera terhadap pelaku. Emerson menjelaskan dari pemantauan ICW tahun 2014 terhadap 395 perkara korupsi dengan 479 terdakwa ditemukan 372 terdakwa diantaranya divonis dibawah 4 tahun.
Sedangkan rata-rata vonis untuk koruptor yaitu 2 tahun 8 bulan penjara. Dengan hukuman yang ringan itu ditambah remisi dan PB maka dipastikan tidak memberi efek jera terhadap pelaku. Sehingga koruptor bisa bebas lebih cepat dari waktu yang diputuskan hakim.

Terakhir, Emerson menyebut pemberian remisi untuk koruptor melemahkan upaya lembaga penegak hukum seperti KPK, polisi dan kejaksaan dalam memberantas korupsi. Sebab lewat PB dan remisi pemerintah, khususnya Kemenkumham, memberi pengurangan hukuman terhadap pelaku. Padahal lembaga penegak hukum memproses pelaku korupsi sampai pengadilan dan hakim menjatuhkan hukuman.

Staf Ahli Kemenkumham, Ma'mun, mengatakan remisi bagian dari proses pembinaan. Hak setiap terpidana mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Dalam konteks pembinaan, remisi dinilai sebagai reward dan stimulus terpidana untuk berperilaku baik. “Kalau remisi tidak diberikan, maka terpidana tidak termotivasi, cenderung frustasi dan berpotensi terjadi gangguan keamanan dan ketertiban dalam lapas,” paparnya.

Ma'mun menilai syarat remisi yang diatur PP No. 99 Tahun 2012 sulit dipenuhi para narapidana. Pasalnya, mereka harus berkelakuan baik, menjalani masa pidana lebih dari enam bulan, bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara pidana yang dilakukannya. Kemudian, membayar lunas denda dan uang pengganti.
“Karena sulit memenuhi syarat itu akhirnya ada narapidana yang tidak mendapat hak remisi,” katanya.
Tags:

Berita Terkait