Aturan Relaksasi, Perbankan Bebas Tentukan Uang Muka KPR Asalkan...
Berita

Aturan Relaksasi, Perbankan Bebas Tentukan Uang Muka KPR Asalkan...

Bagi bank yang sanggup dapat menetapkan uang muka KPR sebesar 0 persen. Konsumsi masyarakat diharapkan dapat terstimulus lewat kebijakan ini.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
 Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Filianingsih Hendarta saat menyampaikan isi peraturan BI tentang pelonggaran LTV properti yang akan berlaku pada pertengahan Juli ini, di Komplek Perkantoran BI Jakarta,  Senin (2/7/2018). Foto: MJR
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Filianingsih Hendarta saat menyampaikan isi peraturan BI tentang pelonggaran LTV properti yang akan berlaku pada pertengahan Juli ini, di Komplek Perkantoran BI Jakarta, Senin (2/7/2018). Foto: MJR

Bank Indonesia (BI) akan menerbitkan peraturan baru tentang pelonggaran (relaksasi) uang muka kredit perumahan (KPR) atau loan to value (LTV) pada pertengan Juli ini. Secara umum, aturan baru ini memberi kebebasan kepada perbankan yang memenuhi syarat menetapkan uang muka KPR kepemilikan rumah pertama.

 

Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Filianingsih Hendarta menjelaskan pelonggaran uang muka ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan konsumsi masyarakat di sektor properti. Dia menjelaskan di tengah kondisi suku bunga yang tingg,i kebijakan baru ini dapat menjadi stimulus konsumsi masyarakat.

 

“Di area kontraksi saat ini perlu ada stimulus pengkreditan. Kami melihat pertumbuhan KPR masih dalam fase yang bisa diakselerasi. Berdasarkan pengalaman sebelumnya pada 2015 dan 2016, kebijakan pelonggaran LTV ini mampu mendorong pertumbuhan konsumsi properti,” kata Filianingsih saat dijumpai di Gedung Komplek Perkantoran BI, Jakarta, Senin (2/7/2018). Baca Juga: Relaksasi KPR Beresiko Tingkatkan Kredit Macet  

 

Bila melihat aturan sebelumnya yang tercantum dalam Peraturan BI (PBI) Nomor 18/16/PBI/2016 tentang Rasio LTV untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value (FTV) untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor, uang muka KPR kepemilikan rumah pertama di bank konvensional sebesar 15 persen. Sementara, uang muka di bank syariah sebesar 10 persen.

 

Sedangkan untuk rumah kedua sebesar 20 persen untuk rumah bertipe di atas 70 meter persegi. Dan 15 persen jika rumahnya bertipe di bawah 21 hingga tipe 70 meter persegi. Untuk rumah ketiga, DP ditetapkan 25 persen untuk rumah di atas tipe 70 meter persegi dan 20 persen untuk rumah di bawah tipe 21 hingga tipe 70 meter persegi.

 

Dengan aturan baru ini, Filiani menjelaskan perbankan dapat menentukan sendiri besaran uang muka KPR dengan mempertimbangkan likuiditasnya dan portofolio debitur. Bahkan, kata Filiani, perbankan dapat menetapkan uang muka KPR hingga 0 persen.

 

Melalui kebijakan ini, kami akan memberikan kewenangan kepada industri perbankan untuk mengatur sendiri jumlah LTV/FTV dari fasilitas kredit/pembiayaan pertama sesuai dengan analisa bank terhadap debiturnya dan kebijakan manajemen risiko masing-masing bank,” kata Filiani.

 

Dia menjelaskan dalam menetapkan besaran LTV kepada debiturnya tersebut, bank harus memperhatikan pula aspek prudensial dalam penerapannya, sehingga hanya bank yang memiliki NPL total kredit net di bawah 5 persen dan NPL KPR gross kurang 5 persen yang dapat memanfaatkan pelonggaran ini. Sejak awal penerbitan ketentuan, kebijakan LTV/FTV juga telah mengecualikan program perumahan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

 

Sehubungan dengan risiko melonjaknya kredit macet atau non performing loan (NPL), Filiani menilai saat ini kondisi perbankan masih dalam batas aman. Dia menjelaskan NPL pada sektor properti residen masih terjaga dalam dua tahun terakhir. “Kami lihat NPL nya konstruksi memang ada kenaikan, tapi KPR masih ter-manage dari 2,77 persen pada Agustus 2016 jadi 2,87 pada Mei 2018,” kata dia.

 

Tingkatkan produktivitas sektor lain

Selain pertimbangan kondisi industri keuangan, BI menetapkan kebijakan pelonggaran uang muka KPR karena sektor properti dianggap memiliki efek lanjutan yang lebih besar terhadap perekonomian nasional. Filianingsih menjelaskan berdasarkan kajiannya, industri properti dapat meningkatkan produktivitas sektor lain.

 

“Jika properti berkembang maka industri semen, cat sampai pengangkutan akan ikut naik. Kalau properti jalan, maka industri lain akan jalan,” kata Filiani.

 

Dengan kebijakan tersebut, Filianingsih meyakini perekonomian nasional juga akan tumbuh. Dia mencontohkan saat kebijakan pelonggaran uang muka KPR pada 2015 dan 2016 silam berhasil meningkatkan pertumbuhan KPR baru dari 6,21 persen menjadi lebih 12 persen hingga saat ini.

 

Selain melonggarkan uang muka KPR, BI juga memperlonggar fasilitas kredit dan pembiayaan melalui mekanisme inden menjadi maksimal lima fasilitas tanpa melihat urutan. Filiani menjelaskan dengan kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan investasi properti.

 

BI juga menetapkan ketentuan baru skema pembiayaan rumah tapak/ruko/rukan dari maksimal pencarian kumulatif menjadi 30 persen dari plafon dengan syarat fondasi setelah akad kredit. Kemudian, maksimal pencarian kumulatif sampai dengan 50 persen dari plafon dengan syarat fondasi telah selesai.

 

Lalu, maksimal pencarian kumulatif sampai dengan 90 persen dari plafon dengan syarat tutup atap telah selesai. Terakhir, maksimal pencairan kumulatif sampai 100 persen dengan syarat penandatanganan Berita Acara Serah Terima (BAST) yang telah dilengkapi dengan Akta Jual Beli (AJB) dan Surat Keterangan covernote.

 

BI juga mewajibkan bank untuk memastikan setiap transaksi dalam rangka pemberian kredit termasuk uang muka dan pencairan bertahap harus dilakukan melalui rekening bank dari debitur dan pengembang/penjual properti.

Tags:

Berita Terkait