Aturan Perlindungan dan Pelestarian Budaya Bangsa Masih Belum Jelas
Utama

Aturan Perlindungan dan Pelestarian Budaya Bangsa Masih Belum Jelas

Ada beberapa kerugian jika produk budaya tradisional dipaksakan didaftarkan sebagai hak cipta. Salah satunya adalah terbatasnya jangka waktu perlindungan. Satu-satunya solusi adalah mendorong disahkannya RUU tentang Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional.

ASh
Bacaan 2 Menit

 

Beda dengan hak cipta yang perlindungannya hanya 50 tahun setelah penciptanya meninggal. Jadi, kalau folklor dipaksakan untuk didaftarkan menjadi hak cipta akan menjadi bersifat limitatif. Dan kita (Ditjen HKI, red) tak bisa mengeluarkan surat pendaftaran atas folklor karena sifatnya berbeda dengan hak cipta yang diketahui penciptanya. Ini yang perlu diluruskan, kata Andy.

 

Kepemilikan hak atas folklor, kata Andy, dikuasai negara untuk mencegah segala bentuk eksploitasi atau pemanfaatan pihak asing. Tentunya kita semua wajib memelihara dan melestarikan, meski proses pendaftarannya belum ada pengaturannya. Menurut Andy pengaturan soal folklor hanya diatur lewat Pasal 10 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Kalaupun diatur dalam UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, namun itu hanya melindungi warisan budaya yang bersifat fisik. Bukan bersifat ekspresif seperti tari-tarian.

 

Soal perlindungan internasional, lanjut Andy, rezim folklor yang berada di luar sistem HKI tengah diupayakan perlindungan baik secara nasional maupun internasional. Beda dengan hak cipta, Indonesia sudah meratifikasi tiga konvensi yakni Berne Convention, WIPO Copyright Treaty, dan WIPO Phonogram and Performance Treaty. Sementara upaya perlindungan folklor di tingkat internasional (international legally binding instrument) mengalami jalan buntu, jelasnya.  

 

Makanya, pihaknya sejak tahun 2002 sudah berinisiatif menyusun RUU tentang Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. Ditjen HKI hanya mendaftarkan atau mengadministrasi kekayaan hak individual, sementara untuk folklor hanya dicatat untuk dijadikan database nasional. Di media tercatat sekitar 600 folklor dari tiga daerah, padahal HKI sudah mencatat 2.058 dari 15 daerah. Ini untuk meluruskan pemahaman yang salah di masyarakat dalam memberikan komentar.          

              

Ia berharap RUU ini didukung penuh karena sudah masuk pembahasan akhir di DPR. Nantinya Insya Allah dengan adanya UU ini, perlindungan dan pelestarian budaya bangsa semakin jelas pengaturannya, tambahnya. Saya berharap jangan ada lagi memberitakan mematenkan budaya tradisional atau mendaftarkan hak cipta seni budaya, itu pemahaman yang salah.  

 

Minta pengertian

Menanggapi klaim Malaysia atas produk budaya Indonesia, Prof. Edi Sediawati, orang yang selama ini terlibat dalam penyusunan RUU itu, berpendapat selama belum ada perangkat hukum yang jelas pemerintah Indonesia tak bisa berbuat apa-apa. Paling hanya bisa meminta pengertiannya dari pemerintah Malaysia, kata mantan Dirjen Kebudayaan Depdikbud menuturkan.

 

Menurut Edi, persoalan Malaysia dan Indonesia dimungkinkan ada pembagian warisan budaya bersama. Sebab, ada sebagian penduduk Malaysia berasal dari Indonesia. Jadi, mereka penduduk Indonesia berpindah ke Malaysia membawa kebudayaannya. Ia menyebutkan suku bangsa Indonesia yang sama-sama ada di Malaysia yakni orang Minang, orang Jawa di Kelantan, orang Dayak Kalimantan dan orang Melayu.          

Halaman Selanjutnya:
Tags: