Aturan Pensiun Hakim Adhoc PHI Tidak Diskriminatif
Berita

Aturan Pensiun Hakim Adhoc PHI Tidak Diskriminatif

Ketentuan usia pensiun hakim adhoc PHI merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang.

ash
Bacaan 2 Menit
Direktur Litigasi Kemenkumham Mualimin Abdi (tengah). Foto: Sgp
Direktur Litigasi Kemenkumham Mualimin Abdi (tengah). Foto: Sgp

Pemerintah tak sependapat dengan dalil pemohon yang menyatakan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) dianggap bersifat diskriminatif. Sebab, pola rekrutmen dan pemberhentian setiap hakim adhoc pada pengadilan khusus memiliki sifat kekhususan tersendiri yang diatur dalam UU masing-masing.

“Hakim adhoc yang satu dengan yang lain memiliki syarat, tata cara pengangkatan, dan pemberhentian yang berbeda dan memiliki kekhususan masing-masing. Anggapan para pemohon yang membandingkan persyaratan, pengangkatan, atau pemberhentian (usia pensiun) antar hakim adhoc tidak relevan/tepat,” kata Direktur Litigasi Kemenkumham Mualimin Abdi di ruang sidang MK, Rabu (25/7).

Dia mencontohkan rekrutmen hakim adhoc PHI diusulkan oleh serikat pekerja atau organisasi pengusaha yang diajukan ke Menakertrans. Lalu, yang lolos seleksi akan diajukan ke ketua MA dan selanjutnya diserahkan ke presiden untuk diserahkan. “Pemberhentian hakim adhoc sesuai Pasal 67 ayat (1) UU PPHI bisa diminta untuk ditarik oleh serikat pekerja atau organisasi buruh yang mengusulkan,” katanya.

Pemerintah menganggap bahwa permohonan ini tidak terkait dengan persoalan konstitusionalitas karena saat para pemohon diangkat atau diperpanjang masa jabatan sebagai hakim adhoc secara sadar mengetahui masa tugas atau batas pensiun hakim adhoc PHI. “Tidak ada kerugian konstitusional yang dialami para pemohon dengan berlakunya pasal itu,” kata Mualimin.

Menurutnya, batas usia pensiun hakim adhoc sebagaimana diatur Pasal 67 ayat (1) UU PPHI merupakan pilihan kebijakan (legal policy) pembentuk undang-undang. “Pilihan kebijakan itu tidak dapat diujimaterikan, kecuali pembentukkannya menimbulkan ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif. Atau pembentukannya tidak dilandasi faktor yang membedakan ras, suku, agama, jenis kelamin, status sosial sesuai UU HAM dan ICCPR.

“Ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PPHI telah sejalan dan tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Jika permohonan ini dikabulkan, justru akan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum atas masa jabatan dan batas usia pensiun hakim adhoc pada PHI.” 

Saat ditanya majelis, baik tim kuasa hukum maupun pihak pemerintah menyatakan tidak akan mengajukan ahli dalam persidangan berikutnya. “Saya pikir keterangan pemerintah sudah jelas ya, selanjutnya kita akan mengambil putusan. Tetapi, sebelumnya para pihak menyerahkan kesimpulan paling lambat 8 Agustus,” pinta Ketua Majelis MK, Moh Mahfud MD.  

Hakim adhoc PHI, Jono Sihono (MA) dan M. Sinufa Zebua (PHI Jakarta) memohon pengujian Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PPHI. Kedua hakim adhoc itu merasa dirugikan atas berlakunya pasal yang mengatur batas usia (masa tugas) hakim adhoc PHI itu yakni hakim adhoc PHI 62 tahun dan hakim adhoc PHI pada MA 67 tahun.     

Menurut pemohon norma Pasal 67 ayat (1) huruf d dinilai diskriminatif karena membatasi masa tugas para pemohon. Sebab, dibandingkan status hakim adhoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, hakim adhoc Pengadilan HAM, dan hakim adhoc Pengadilan Perikanan batas usia pensiun/masa tugas tidak disebut.

Pemohon I (66) dan pemohon II (60) merasa masih dalam kondisi sehat dan masih mampu untuk terus mengabdikan segala potensinya untuk menjadi hakim adhoc PHI. Tetapi, pasal itu membatasi umur para pemohon untuk terus mengabdi hakim adhoc. Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU PPHI karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Tags: