Aturan Pengunduran Diri PNS Dipersoalkan
Berita

Aturan Pengunduran Diri PNS Dipersoalkan

Pemohon diminta melengkapi petitum permohonan.

ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Sejak diterbitkan, untuk kedua kalinya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dipersoalkan warga negara melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Kali ini beleid itu dipersoalkan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) asal Papua, Eduard Nuki. Dia mempersoalkan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN terkait syarat pengunduran diri PNS yang mencalonkan diri sebagai pejabat negara.

Eduard menilai kedua pasal  itu menimbulkan mutitafsir dan diskriminasi bagi Korps PNS dan warga negara pada umumnya. Sebab, ada pasal-pasal dalam UU ASN yang saling bertentangan (kontradiksi) satu sama lain. “Setelah membandingkan dengan UUD 1945, saya merasa hak konstitusional saya dirugikan oleh UU ASN itu,” kata Eduard dalam sidang perdana yang dipimpin Arief Hidayat di ruang sidang Mahmakah Konstitusi, Kamis (17/7).

Pasal 119 UU ASN menyebutkan “Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon.”

Selanjutnya, Pasal 123 ayat (3) menyebutkan “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi presiden dan wakil presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota DPR; ketua, wakil ketua, dan anggota DPD; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.”

Pertentangan yang dimaksud, misalnya dengan Pasal 123 ayat (1) yang menyebut ASN dari PNS yang menjadi ketua, wakil ketua dan anggota MK; BPK; dan KY serta yang menjadi ketua dan wakil ketua KPK; menduduki posisi menteri dan jabatan setingkat menteri; menjadi kepala perwakilan RI di luar negeri hanya diberhentikan sementara tanpa kehilangan status PNS-nya. “PNS memiliki hak yang sama dengan warga negara dalam pemerintahan, tetapi UU ASN tidak memberi ruang itu,” kata Eduard.

Karena itu, Eduard meminta Mahkamah Konstitusi meninjau kembali berlakunya Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN. Terlebih, kondisi di tempat asal pemohon, Papua dan Papua Barat memperlihatkan bahwa calon pemimpin pemerintahan di sana umumnya berasal dari kalangan PNS dan TNI/Polri.

Menanggapi permohonan, anggota Panel Wahiduddin Adams meminta agar sistematika permohonan perlu diperbaiki. “Isi permohonan perlu dipertajam terutama bagaimana pertentangan normanya dan ditambahkan petitumnya karena belum diuraikan apa yang diinginkan, ini bisa melihat contoh permohonan di MK,” kata Wahiddudin.

Terkait kedudukan hukum, Majelis meminta agar jabatan atau posisi pemohon diperjelas dalam permohonan yang dihubungkan dengan kerugian hak konstitusionalnya. “Apakah jabatan Saudara pimpinan tinggi madya/pratama atau jabatan struktural, atau jabatan fungsional? Ini Saudara dalam posisi apa?”

Panel lainnya, Ahmad Fadlil Sumadi menilai sistematika permohonan sudah cukup baik. Namun, hal yang belum ada dalam permohonan adalah petitum (tuntutan). “Agar lebih mudah Saudara bisa minta contoh permohonan di Kepaniteraan MK, petitum ini haru dilengkapi,” kata Fadlil. “Uraikan juga bagaimana pertentangan normanya, yang mengakibatkan Anda kehilangan hak perlindungan hukum atau ketidakpastian hukum yang adil.” 
Tags:

Berita Terkait