Aturan Penguasaan Penyiaran Dinilai Tidak Konsisten
Berita

Aturan Penguasaan Penyiaran Dinilai Tidak Konsisten

Dari aspek politis UU No. 32 Tahun 2002 tidak lebih maju daripada UU Penyiaran sebelumnya karena ada ketegasan soal larangan monopoli.

ASh
Bacaan 2 Menit
Aturan Penguasaan Penyiaran Dinilai Tidak Konsisten
Hukumonline

Pengaturan penguasaan hak penyiaran seperti diatur dalam Undang-UndangNo.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran secara konseptual dinilai tidak konsisten.“Saat RUU Penyiaran akan disahkan oleh presiden (Megawati Soekarnoputri, red) ada beberapa persoalan yang kurang konsisten dari segi konseptual,” kata mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg)Bambang Kesowo saat dimintai keterangan sebagai saksi fakta dalam pengujian UU Penyiaran di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (23/2).

Saat menjabat Mensesneg, Bambang mencatat sejumlah poin permasalahan dalam Undang-Undang Penyiaran, termasuk aturan yang kini dijudicial review. “Ada beberapa rumusan pasal yang tampak kurang konsisten,” kata Bambang, seraya mencontohkan pasal 5 huruf g. Pasal ini merumuskan penyiaran diarahkan untuk mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran. Pasal itu terkesan kontradiktif dengan pasal 18 ayat (1) yang menyebutkan pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta dibatasi.

“Ini yang sedari awal sudah punya niat kuat untuk mencegah monopoli, tetapi jika membaca rumusan pasal 18 ayat (1) pemusatan kepemilikan/penguasaan lembaga penyiaran dibatasi, tidak jelas. Ini yang membuat pemikiran secara hukum kok aturan itu tidak konsisten,” kata Bambang.

Niat mencegah praktek monopoli kepemilikan lembaga penyiaran kembali terhalang melalui keberadaan pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran yang menyebutkan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) tidak boleh dipindahtangankan kepada pihak lain. “Aturan itu membuat pencegahan praktek monopoli tak punya arti apa-apa,” kata saksi yang sengaja dihadirkan MK ini.

Menurut Bambang Kesowo, jika dilihat dari aspek secara politis UU No. 32 Tahun 2002 tidak lebih maju daripada UU Penyiaran sebelumnya, yakni Undang-Undang No. 24 Tahun 1997. Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran sebelumnya secara jelas dan tegas melarang monopoli. “Makanya, secara filosofis aturan kepemilikan lembaga penyiaran dalam UU Penyiaran yang tidak konsisten ini dapat menimbulkan pemahaman akan adanya distorsi terhadap upaya menciptakan kebebasan berpendapat atau kebebasan mengakses pada sumber informasi,” tambahnya.

Permohonan ini diajukan Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) yang menguji konstitusionalitas Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran yang mengatur penguasaan dan larangan pemindahtanganan IPP.

Para pemohon merasa dirugikan lantaran pasal itu kerap ditafsirkan sepihak oleh badan hukum atau perorangan yang mengakibatkan adanya pemusatan kepemilikan stasiun televisi atau radio di tangan segelintir pengusaha. Hal ini mengancam kebebasan berpendapatdan kebebasan pers, adanya dominasi pembentukan opini, monopoli informasi.

Tags: