Aturan Pemberhentian Kepala Daerah Dipersoalkan
Berita

Aturan Pemberhentian Kepala Daerah Dipersoalkan

Dimohonkan komunitas pemberantasan korupsi.

ASh
Bacaan 2 Menit
Aturan pemberhentian kepala daerah diuji MK. Foto: ilustrasi (Sgp)
Aturan pemberhentian kepala daerah diuji MK. Foto: ilustrasi (Sgp)

Ketentuan pemberhentian kepala daerah seperti diatur Pasal 30 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dipersoalkan. Lewat tim kuasa hukum, Zainal Arifin Mochtar (Direktur Pukat UGM), Feri Amsari (Direktur Pusako Sumbar), Indonesia Corruption Watch secara resmi mendaftarkan permohonan pengujian pasal itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka meminta tafsir konstitusional atas berlakunya pasal yang mengatur mekanisme pemberhentian kepala daerah oleh presiden jika dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana minimal 5 tahun atau lebih. Sebab, ketentuan itu tidak menjangkau UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan ancaman pidana minimal 4 tahun penjara.

“Kalau ketentuan ini tak diberikan tafsir konstitusional, bisa-bisa nanti kepala daerah yang terbukti korupsi nggak bisa diberhentikan, seperti kasus mantan Gubernur Bengkulu, Agusrin M Najamuddin,” kata salah satu kuasa hukum pemohon, Alvon Kurnia Palma usai mendaftarkan permohonan di Gedung MK Jakarta, Senin (23/7).

Pasal 30 ayat (1) menyebutkan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.

Pasal 30 ayat (2) menyebut kepala daerah dan atau wakil kepala daerah diberhentikan presiden oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperole kekuatan hukum tetap.

Alvon mengungkapkan proses peralihan Gubernur Bengkulu Agusrin kepada penggantinya, Junaidi Hamsyah gagal dilakukan lantaran adanya penetapan PTUN Jakarta yang menunda pengangkatannya sebagai gubernur hingga gugatan PTUN memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam gugatannya kepada presiden, Agusrin mendalilkan pemberhentian terhadap dirinya tidak sah. Berdasarkan Pasal 30 UU Pemda pemberhentian hanya dapat dilakukan terhadap perkara pidana yang diancam pidana minimal 5 tahun penjara.

Dia mengatakan jika pemecatan Agusrin - terpidana korupsi kasus dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan – dinyatakan tidak sah oleh PTUN Jakarta dan muncul vonis bebas Peninjauan Kembali yang membebaskannya, maka bukan tidak mungkin sang koruptor akan kembali menjadi Gubernur Bengkulu.

“Jika sang koruptor kembali menjabat kepala daerah bisa menjadi malapetaka bagi upaya pemberantasan korupsi sekaligus kepercayaan publik terhadap pemerintah akan semakin merosot,” katanya.

Menurutnya, meski seorang kepala daerah atau wakilnya divonis kurang dari 5 tahun, tetapi tindak pidananya diancam 5 tahun atau lebih, yang bersangkutan tetap diberhentikan sementara dan diberhentikan secara permanen (bila putusan berkekuatan hukum tetap). “Ini yang menjadi dasar mengapa kami minta MK memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 30 UU Pemda”.

Para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 30 UU Pemda konstitusional sepanjang dimaknai berlaku untuk kepala daerah atau wakil kepala daerah yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih, baik berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap maupun belum.  “Pasal 30 UU Pemda bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, tentang kepastian hukum.”   

Tags: