Aturan Pelaksana UU Minerba Belum Ada, Pertambangan Daerah Dinilai Terhambat
Berita

Aturan Pelaksana UU Minerba Belum Ada, Pertambangan Daerah Dinilai Terhambat

Adanya berbagai surat edaran tersebut membuat kegiatan usaha pertambangan di daerah semakin mengalami ketidakpastian.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan. Foto: RES
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan. Foto: RES

Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) menilai belum diterbitkannya aturan pelaksana Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) menyebabkan kegiatan usaha pertambangan daerah terhambat.

Padahal, pemerintah mengungkapkan tengah menyusun tiga Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) baru, antara lain RPP tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara, RPP tentang wilayah pertambangan dan RPP tentang pembinaan dan pengawasan serta reklamasi pascatambang dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.

Peneliti PUSHEP Suyanto Londrang mengatakan belum diterbitkannya aturan pelaksana tersebut menyebabkan kegiatan usaha pertambangan di daerah jatuh-bangun. “Belum adanya aturan pelaksana UU Minerba membuat kegiatan usaha pertambangan di daerah maju-mundur. Keadaan ini tentu membuat geliat ekonomi sektor pertambangan di daerah mengalami kelesuan,” ucapnya Selasa (27/4).

Menurut Suyanto, pemerintah telah memotong kewenangan daerah, yang semula diatur dalam UU 4/2009, yang memberi kewenangan penerbitan izin pertambangan oleh pemerintah daerah provinsi maupun pemerintah kabupaten dan kota, sesuai lokasi tambang itu berada. Namun, UU 3/2020 menghapus ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 dalam UU Nomor 4/2009, yang mengatur terkait kewenangan pemerintah daerah dalam tata kelola pertambangan. (Baca: Muatan UU Minerba Tuai Penolakan)

Lebih lanjut Suyanto mengatakan dalam Pasal 35 UU 3/2020 mengatur secara tegas usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan dari pemerintah pusat. “Pengaturan tersebut telah menimbulkan implikasi terhadap kewenangan daerah dalam menerbitkan perizinan di sektor pertambangan. Pemerintah daerah tidak lagi dapat memberikan izin kegiatan usaha pertambangan,” katanya.

Namun, Suyanto menjelaskan UU 3/2020 tetap memberikan kewenangan kepada daerah terkait dengan urusan perizinan pertambangan di daerah. Pasal 35 ayat (4) UU 3/2020 menyebutkan pemerintah Pusat dapat mendelegasaikan kewenangan pemberian perizinan berusaha kepada Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Pasal 35 ayat (4) UU 3/2020 ini merupakan pintu masuk bagi aturan turunan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Hingga saat ini aturan tersebut belum juga ada. Jika hal ini terus berlanjut maka bisa memunculkan ketidakpastian hukum dalam pengusahaan pertambangan minerba,” imbuh Suyanto, yang juga merupakan praktisi hukum pertambangan

Menurutnya, situasi ini dapat menjadi preseden buruk bagi tata kelola pertambangan jika terus berlarut. Untuk mengatasi keadaan tersebut, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Nomor 742/30.01/DJB/2020 terkait Hal Penundaan Penerbitan Perizinan  Baru di Bidang  Pertambangan Minerba. Pokok surat tersebut menyatakan Gubernur tidak dapat menerbitkan perizinan baru bidang pertambangan mineral dan batubara dalam jangka waktu 6 bulan sejak diundangkannya UU 3/2020 atau sampai dengan terbitnya Peraturan  Pelaksanaannya.

Kementerian ESDM juga mengeluarkan surat melalui SE Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Nomor 809/30.01/DJB/2020, yang pokoknya menyebutkan Gubernur sesuai dengan kewenanganya tetap dapat memproses penerbitan perizinan di bidang pertambangan mineral dan batubara selain perizinan baru dengan jangka waktu 6 bulan  bulan sejak diundangkannya UU 3/2020 atau sampai dengan terbitnya Peraturan Pelaksanaannya.

Suyanto mengungkapkan, setelah surat edaran nomor 809/30.01/DJB/2020 ini diterbitkan yang intinya Gubernur sesuai kewenangannya tetap dapat memproses perizinan. Namun, pemerintah menerbitkan kembali surat edaran ketiga melalui SE Edaran Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Nomor 1481/30.01/DJB/2020 terhitung sejak tanggal 11 Desember 2020, kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara beralih ke Pemerintah Pusat.

Perizinan tersebut meliputi pelayanan pemberian perizinan di bidang pertambangan mineral dan batubara, pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap pemegang peizinan di bidang pertambangan minerba, pelaksanaan lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam dan WIUP batubara, pemberian WIUP mineral bukan logam, WIUP mineral bukan logam jenis tertentu, dan WIUP Batuan, pemberian persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) Tahunan, pemberian persetujuan pengalihan saham pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), kewenangan lainnya yang dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan peraturan pelaksanaannya serta UU lain yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah Daerah provinsi di bidang pertambangan mineral dan batubara.

“Adanya berbagai surat edaran tersebut membuat kegiatan usaha pertambangan di daerah semakin mengalami ketidakpastian. Surat yang pertama mengatur terkait penundaan penerbitan perizinan baru. Surat kedua mengatur terkait dengan penerbitan perizinan oleh Gubernur sesuai dengan kewenanganya tetap dapat memproses penerbitan perizinan dibidang pertambangan mineral dan batubara. Surat yang ketiga justru kembali menarik kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara beralih ke Pemerintah Pusat” tegas Suyanto.

Suyanto mendorong agar pemerintah segera mengesahkan aturan pelaksana UU 3/2020 agar kegiatan usaha pertambangan memiliki kepastian hukum. Selain itu, tentu dengan adanya aturan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara diharapkan dapat kembali memperbaiki iklim investasi dan penciptaan lapangan kerja.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Minerba Ridwan Djamaluddin menyampaikan kehadiran UU 3/2020 menjadi kinerja paling baik yang dicapai oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) di tahun 2020.  "Selama perjalanan pengelolaan minerba secara nasional, landasan hukum paling penting yang kita capai, kinerja yang paling baik adalah bahwa kita sekarang memiliki UU Nomor 3 Tahun 2020, yang diberlakukan sejak 10 Juni 2020. UU ini sebuah kemajuan, sangat penting dalam meningkatkan tata kelola pengelolaan minerba," ujar Direktur Jenderal Minerba Ridwan Djamaluddin pada Konferensi Pers Virtual Capaian Kinerja 2020, Rencana Kerja 2021, dan Isu Strategis Subsektor Minerba, Januari lalu.

Saat itu, Ridwan mengatakan ada empat aspek penting dari UU terbaru yang mengatur subsektor minerba ini. Yang pertama adalah memperbaiki tata kelola pertambangan, kedua adalah keberpihakan pada kepentingan nasional, ketiga adalah berwawasan lingkungan, serta yang terakhir adalah memberi kepastian hukum dan memudahkan orang berinvestasi.

Dia menjelaskan pemerintah tengah dalam proses menyusun tiga Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai peraturan pelaksana UU Nomor 3 Tahun 2020, yaitu yang pertama RPP tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan, yang kedua RPP tentang Wilayah Pertambangan, dan ketiga RPP tentang Pembinaan dan Pengawasan serta Reklamasi dan Pascatambang dalam Penyelenggaranaan Pengelolaan Usaha Pertambangan. Selain itu, sedang disusun pula Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Pendelegasian Kewenangan Pengelolaan Minerba kepada Pemerintah Daerah Provinsi.  

Tags:

Berita Terkait