Aturan Migas Terlalu Banyak, Negara Dibebani Naiknya Cost Recovery
Berita

Aturan Migas Terlalu Banyak, Negara Dibebani Naiknya Cost Recovery

SKK Migas mengklaim harus mengeluarkan biaya cost recovery yang besar karena kontrak kegiatan sudah dilakukan sebelum harga minyak turun.

KAR
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi VII DPR, Kurtubi. Foto: fraksinasdem.org
Anggota Komisi VII DPR, Kurtubi. Foto: fraksinasdem.org

Anggota Komisi VII DPR Kurtubi menyayangkan pengeluaran negara untuk cost recovery migas lebih besar daripada pendapatan di sektor itu. Hal itu, menurutnya membuktikan bahwa Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tak mampu mengontrol cost recovery. Ia menuntut pemerintah agar segera melakukan pembenahan di sektor migas.

“Ini artinya SKK Migas tidak dapat mengontrol cost recovery. Makanya saya berharap, pemerintah dapat segera melakukan pembenahan di tubuh SKK Migas agar sektor hulu migas tidak lagi berada di bawah kendali badan ini,” katanya, Rabu (6/1).

Lebih lanjut, Kurtubi menegaskan bahwa cost recovery bisa mendatangkan keuntungan bagi negara. Hanya saja, pengelolaannya harus dibenahi. Ia menekankan, sistem pengelolaan yang selama ini dijalankan melalui institusi SKK Migas tidak efisien.Hal ini disebabkan, antara lain banyaknya aturan di sektor migas.

Menurutnya, hal ini membuat payung hukum justru menjadi tidak jelas. Akibatnya, negara harus menanggung beban yang besar dari naiknya cost recovery setiap tahun, sementara pendapatan di sektor migas tak kunjung meningkat. “Tentu hal ini merugikan negara,” ujarnya.

Kurtubi menyarankan agar beberapa komponen biaya dikeluaran atau setidaknya dikurangi dari pos cost recovery. Ia mencontohkan, biaya operasional kantor pusat kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang beroperasi di Indonesia. Selain itu, Kurtubi pun berharap agar batas blok area produksi migas bisa diperjelas. Sebab, ia menilai ketidakjelasan itu membuat negara harus menanggung beban sumur yang belum tentu beroperasi.

“Belum tentu sumur itu berproduksi, tetap negara sudah harus menanggung beban berdasarkan penentuan garis tersebut,” tambahnya.

Padahal, Kurtubi melihat bahwa sistem cost recovery untuk kegiatan hulu migas masih lebih baik dan menguntungkan dibandingkan sistem royalti maupun pajak. Dengan cost recovery, menurutnya pemerintah masih bisa mengontrol biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor. Dari sisi kontraktor, ia menilai bahwa cost recovery paling menguntungkan.

“Sistem cost recovery lebih dapat menguntungkan buat negara. Kalau royalti dan pajak justru banyak menimbulkan permasalahan dan kerugian bagi negara,” ujarnya.

Sebelumnya, dalam paparan kinerja tahun 2015 Kepala SKK Migas,Amien Sunaryadi,menjelaskan bahwa cost recovery sepanjang 2015 mencapai AS$13,9 miliar. Sedangkan penerimaan negara dari sektor ini sebesar AS$12,86 miliar. Ia menyebut, membengkaknya nilai cost recovery ditengah anjloknya harga minyak dunia, terjadi lantaran kegiatan kontrak sudah diteken sebelum harga minyak dunia runtuh.

“Jadi, membengkaknya nilai cost recovery yang tak diikuti dengan naiknya pendapatan negara terjadi karena kontrak kegiatan sudah dilakukan sebelum harga minyak turun,” tambahnya.

Amien juga mengingatkan, cost recovery merupakan pengeluaran yang sudah lebih dulu ditalangi dan dicatat KKKS. Pengeluaran ini, menurutnya terjadi di waktu yang lalu. Oleh karena itu, ia mengaku pihaknya harus mengganti sesuai hitungannya dari hasil penjualan minyak.

“Government tax yang turun, akhirnya dianggap tak sebanding dengan ongkos yang sudah dikeluarkan,” tutur Amien.

Kendati demikian, Amien mengaku telah melakukan sejumlah efisiensi. Beberapa komponen biaya operasi seperti dari renegosiasi ulang kegiatan engineering, procurement, construction and installation (EPCI), pengeboran, kapal, serta turbomachinery telah dipangkas. Menurutnya, hasil pemangkasan itu membuatnya berhasil menghemat anggaran hingga lebih dari AS$350 juta.
Tags:

Berita Terkait