Aturan LTV Positif Bagi Kredit Properti Kecil
Berita

Aturan LTV Positif Bagi Kredit Properti Kecil

Penyempurnaan aturan LTV akan berdampak pada terkendalinya harga properti atau tanah.

FAT
Bacaan 2 Menit
Aturan LTV Positif Bagi Kredit Properti Kecil
Hukumonline

Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) Agustinus Prasetyantoko memberikan analisanya terkait penyempurnaan aturan Loan To Value (LTV) di perbankan konvensional dan Financing To Value (FTV) bagi perbankan syariah untuk kredit pemilikan properti dan kredit konsumsi beragun properti. Menurutnya, ketentuan LTV ini berdampak positif bagi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) atau properti kecil dan subsidi program perumahan rakyat.

"Ketentuan LTV baru bagi bisnis properti ini membawa ekses positif untuk pembelian rumah tipe kecil dan subsidi program perumahan rakyat," kata Prasetyantoko di Jakarta, Senin (30/9).

Alasannya, lanjut Prasetyantoko, kenaikan harga properti yang cepat selama ini menyebabkan naiknya harga tanah di wilayah-wilayah yang digunakan untuk pembangunan rumah tipe kecil dan rumah-rumah program KPR subsidi. Akibat kenaikan harga itu, pembangunan rumah tipe kecil dan subsidi tersebut bergeser semakin jauh dari perkotaan.

Menurutnya, jauhnya jarak rumah dengan kota atau tempat debitur tersebut bekerja menyebabkan timbulnya tambahan biaya seperti transportasi bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Ia mengatakan, dengan terbatasnya penghasilan itu, para calon debitur akan lebih memilih untuk tinggal di rumah kontrakan atau sewa yang lokasinya lebih dekat dengan tempatnya bekerja.

Namun, keberadaan aturan LTV yang dikemas menjadi Surat Edaran (SE) BI No. 15/40/DKMP tentang Penerapan Manajemen Risiko Pada Bank Yang Melakukan Pemberian Kredit Atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti Dan Kredit Atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti Dan Kredit Atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor ini berdampak positif bagi harga properti (tanah).

"Dengan adanya ketentuan LTV ini akan berdampak pada terkendalinya harga properti," kata Prasetyantoko.

Menurutnya, dengan adanya aturan tersebut rumah tipe kecil dapat dibangun di wilayah-wilayah yang tidak terlalu jauh dari kota atau tempat debitur bekerja. Atas dasar itu pula, pengembang akan semakin berminat untuk membangun rumah tipe kecil dan subsidi karena berpotensi diserap oleh para masyarakat berpenghasilan rendah.

Selain itu, ketentuan ini juga berdampak baik untuk mencegah terjadinya spekulasi. Karena dengan ketentuan ini, kata Prasetyantoko, pembeli properti dengan tujuan spekulasi biasanya lebih mengandalkan kredit dari bank dengan uang muka atau down payment (DP) kecil sehingga risiko terbesar ada pada bank.

"Ketentuan LTV baru dengan share uang muka yang lebih tinggi akan membuat para spekulan properti berpikir kembali sebelum melakukan spekulasi," ucapnya.

Bahkan, kata Prasetyantoko, dengan tingginya uang muka pada kredit properti untuk rumah kedua, rumah ketiga dan seterusnya menyebabkan konsumen berpikir dua kali untuk membeli rumah. Alasannya karena untuk membeli rumah, calon konsumen tersebut harus menyediakan dana lebih selain uang muka, seperti dana untuk keperluan biaya proses.

"Hal ini dapat menyebabkan konsumen menunda atau membatalkan pembelian rumah," kata Prasetyantoko.

Sebaliknya, aturan LTV ini juga memiliki dampak negatif terhadap perlambatan pertumbuhan properti tipe besar dan komersial. Menurut Prasetyantoko, ketentuan ini dapat mempersempit peluang konsumen untuk membeli properti tipe besar dan komersial karena membutuhkan share yang cukup besar, khususnya dalam uang muka.

Akibat hal itu, kata Prasetyantoko, para pengembang perumahan akan mengubah pembangunan properti mereka. "Pengembang akan mengalihkan pembangunan atau pengembangan perumahan kepada tipe properti yang menengah dan kecil," katanya.

Seperti diketahui, BI menyempurnakan aturan LTV dan FTV properti baik di perbankan konvensional maupun syariah. BI menyatakan, perubahan aturan ini lebih kepada nilai LTV atau FTV yang dicover oleh perbankan. Dalam aturan disebutkan, untuk pembiayaan di perbankan konvensional, kredit rumah pertama tipe 70 meter ke atas akan dikenakan LTV maksimal 70 persen, rumah kedua 60 persen, rumah ketiga dan seterusnya 50 persen. Ketentuan serupa juga berlaku untuk Kredit Pemilikan Rumah Susun (KPRS) tipe 70 meter persegi ke atas.

Sedangkan kredit rumah pertama tipe 22-70 meter persegi tidak dikenakan LTV, rumah kedua dikenakan LTV 70 persen, rumah ketiga dan selebihnya 60 persen. Dan untuk KPRS pertama dikenakan LTV 80 persen, KPRS kedua 70 persen, KPRS ketiga dan selebihnya 60 persen. Kemudian, KPRS tipe 21 meter persegi dan rumah toko (ruko) atau rumah kantor (rukan), untuk kepemilikan pertama tidak dikenakan LTV. Di kepemilikan kedua baru dikenakan LTV maksimal 70 persen, kepemilikan ketiga dan selebihnya 60 persen.

Untuk di perbankan syariah, kredit rumah pertama tipe 70 meter per segi ke atas dikenakan FTV maksimal 80 persen, rumah kedua 70 persen, rumah berikutnya 60 persen. Ini berlaku juga untuk KPRS tipe 70 meter persegi ke atas. Sedangkan untuk KPR tipe 22-70 meter persegi tak dikenakan FTV untuk kepemilikan pertama, maksimal FTV 80 persen untuk kepemilikan kedua dan maksimal FTV 70 persen untuk kepemilikan ketiga dan seterusnya.

KPRS tipe 22-70 meter persegi, FTV yang diberikan maksimal 90 persen untuk kepemilikan pertama, 80 persen untuk kepemilikan kedua dan 70 persen untuk kepemilikan ketiga dan seterusnya. Sedangkan KPRS untuk tipe 22-70 meter persegi tak dikenakan FTV untuk kepemilikan pertama. Baru kredit rumah kedua dikenakan FTV 80 persen, rumah ketiga dan selebihnya 70 persen. Hal serupa juga berlaku bagi kredit ruko dan rukan di perbankan syariah.

“Tujuan diterbitkannya aturan ini untuk menjaga sistem keuangan dan memperkuat ketahanan perbankan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A Johansyah, beberapa waktu lalu.

Tags:

Berita Terkait