Aturan LTV Dinilai Menekan Pengembang Kecil
Berita

Aturan LTV Dinilai Menekan Pengembang Kecil

Sumber cash flow diperkirakan akan menurun.

FAT
Bacaan 2 Menit
Aturan LTV Dinilai Menekan Pengembang Kecil
Hukumonline

Diubahnya ketentuan mengenai Loan To Value (LTV) di perbankan konvensional dan Financing To Value (FTV) bagi perbankan syariah untuk kredit pemilikan properti dan kredit konsumsi beragun properti menimbulkan pro dan kontra. Salah satunya datang dari Wakil Presiden Direktur Jababeka Group, Tanto Kurniawan.

Dari aturan ini, kata Tanto, bank penyedia Kredit Pemilikan Rumah (KPR), consumer banking, pengembang properti dan penyedia bahan bangunan yang akan terkena dampaknya. Namun, yang paling terasa adalah pengembang properti dan penyedia bahan bangunan. Dengan adanya aturan ini, sumber cash flow bagi pengembang dapat menurun.

“Produsen bahan bangunan juga terkena dampak, karena permintaan menurun,” kata Tanto dalam sebuah seminar di Jakarta, Kamis (28/11).

Sumber cash flow tersebut juga yang dapat menyebabkan berkurangnya kualitas bahan bangunan. Meskipun sumber cash flow bagi perusahaan pengembang (developer) menurun, lanjut Tanto, aturan ini memiliki sisi positif, yakni tak perlu meng-cover kekurangan pembangunan properti dalam jangka panjang. “Dalam 2,5 bulan pengembang dapat pencairan 100 persen,” katanya.

Jika dikaitkan dengan market, pengembang kelas bawah juga memiliki masalah dengan adanya aturan ini. Besarnya Down Payment (DP) bagi kepemilikan rumah pertama yakni 30 persen, mengakibatkan konsumer kelas bawah terlalu berat. Namun, untuk kelas menengah, hanya ada sedikit masalah.

Hal ini dikarenakan konsumen kelas menengah masih sanggup membayar DP yang sebesar 30 persen. Sedangkan untuk pengembang properti kelas atas, Tanto menilai tak akan mendapatkan masalah. “Karena sebagian besar pembeli di kelas atas membayar tunai rumah maupuan apartemen,” katanya.

Asisten Gubernur Bank Indonesia (BI) Mulya E Siregar menepis anggapan bahwa aturan BI tersebut akan menekan bisnis properti dan laju penyaluran kreditnya. Menurut dia, KPR inden tersebut masih memberikan kesempatan kepada industri dalam menyalurkan kredit di sektor properti.

“Sangat tidak relevan kalau kebijakan KPR inden ini dianggap sebagai upaya BI untuk menekan pemenuhan backlog perumahan atau untuk mengerem pertumbuhan kredit KPR,” kata Mulya.

KPR inden, lanjut Mulya, hanya berlaku bagi kredit kepemilikan yang pertama. Sedangkan untuk kepemilikan kedua dan seterusnya, di aturan ini malah dilarang inden. “Kebijakan ini sebenarnya melarang kepemilikan rumah kedua secara inden. Tetapi kalau rumah pertama sudah lunas, kredit rumah kedua boleh dilakukan secara inden,” katanya.

Mulya mengatakan, aturan ini bukan untuk membatasi kredit kepemilikan rumah maupun apartemen. Menurutnya, dengan adanya aturan ini, BI berharap bahwa terjadinya pergeseran dalam hal penyediaan rumah dari kelompok menengah atas ke kelas mengengah bawah.

“Kebijakan ini bukan untuk menurunkan kredit, tetapi untuk menciptakan shifting ke middle low,” tutup Mulya.

Aturan mengenai LTV/FTV itu dikemas dalam Surat Edaran (SE) BI No. 15/40/DKMP tentang Penerapan Manajemen Risiko Pada Bank Yang Melakukan Pemberian Kredit Atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit Atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. Dengan terbitnya aturan baru itu, secara resmi BI mencabut SE BI sebelumnya No. 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 dan SE BI No.14/33/DPbS tanggal 27 November 2012.

Diubahnya ketentuan mengenai LTV dan FTV ini lantaran tingginya pertumbuhan kredit di sektor properti, khususnya kredit untuk rumah tapak dan rumah susun seperti flat dan apartemen. Dari catatan BI, tingginya pertumbuhan kredit ini dimulai pasca penerapan ketentuan LTV dan FTV oleh BI pada pertengahan 2012 lalu.

Tags: