Aturan Kewenangan Impor Garam Dipersoalkan
Berita

Aturan Kewenangan Impor Garam Dipersoalkan

Pemohon diminta mempertegas kedudukan hukum dan persoalan kewenangan impor komoditas pergaraman.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Sidang perdana uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (16/4). Permohonnya adalah Barharudin Farawowan (Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Poros Maritim Indonesia) dan Alfian Akbar Balyanan (Wakil Sekretaris Jenderal DPP Geomaritim Bidang Hukum dan Kerjasama Antara Lembaga).

 

Pemohon menguji Pasal 37 ayat (3) UU Nomor 7/2016 yang berbunyi, “Dalam hal impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman, menteri terkait harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri.”

 

Pemohon mengungkapkan frasa “komoditas perikanan dan komoditas pergaraman” yang diatur dalam UU tersebut multitafsir, sehingga berpotensi menimbulkan persoalan dalam implementasinya. Menurut Pemohon, selain digunakan untuk konsumsi langsung masyarakat, garam juga dapat dijadikan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam dunia industri.

 

Terkait hal tersebut, Pemohon melihat ada ketidakselarasan data yang digunakan oleh Menteri Perindustrian dan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk melakukan impor komoditas garam. Akibat ketidakselarasan tersebut, Pemohon berpendapat industri dalam negeri mengalami kekurangan pasokan garam.

 

“Menurut kami, apabila pasal tersebut, khususnya frasa ‘komoditas perikanan dan komoditas pergaraman’ apabila tidak ditafsirkan selain komoditas pergaraman dan perikanan selain digunakan sebagai bahan baku dan bahan penolong industri, maka pasal tersebut akan kontradiktif dengan Pasal 33 UU Perindustrian yang menyebutkan bahwa salah satu  kewenangan Menteri Perindustrian adalah menjamin ketersediaan sumber daya alam, termasuk garam didalamnya untuk kepentingan industri,” ujar Alfian Akbar Balyanan.

 

Menurut Alfian, ketika kontradiktif itu dibiarkan terjadi akan menimbulkan ketidakpastian terhadap aturan-aturan yang lahir di bawah undang-undang, sebagaimana kasus yang saat ini sedang ramai dibicarakan di media. Ada tarik-menarik kewenangan antara Menteri Perindustrian dan Menteri Kelautan dan Perikanan terkait kewenangan impor garam ini.

 

“Karenanya, semangat kami datang meminta penafsiran terhadap MK dalam rangka untuk menengahi polemik ini. Kami mohon agar dapat arahan, kritik, saran dalam rangka penajaman permohonan kami,” jelas Alfian dalam persidangan seperti dikutip laman resmi MK.

 

Atas dasar itu, Pemohon meminta agar kewenangan untuk melakukan impor terhadap komoditas perikanan dan pergaraman diperuntukkan sebagai bahan baku industri sepenuhnya diserahkan kepada Menteri Perindustrian. Menurut Pemohon, Menteri Perindustrian lebih memahami volume impor ikan dan garam yang secara khusus digunakan sebagai bahan baku dan bahan penolong industri di dalam negeri.

 

Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyoroti kedudukan hukum Pemohon. “Memang penting untuk menjelaskan Pemohon itu bertindak untuk atas nama badan hukum ini, apakah betul tadi itu yang Anda sebutkan sebagai ketua atau sekjen itu, atau harus dua-duanya? Ketika Anda membawa badan hukum, maka harus jelas AD dan ART. Saya coba melihat, tidak ada di permohonan Anda, namun hanya susunan pengurus,” kata Suhartoyo.  

 

Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menilai permohonan Pemohon tidak tegas. “Hanya komoditas pergaramankah yang Anda persoalkan? Sedangkan, dalam posita dan petitum, Anda mempermasalahkan tentang perikanan? Itu harus tegas,” kata Manahan.  

 

Menurutnya, kalau hanya dikaitkan dengan (impor) pergaraman, mungkin itulah yang sekarang ini menimbulkan permasalahan. “Tetapi, bagaimana dengan perikanan? Karena norma yang Saudara permasalahkan adalah komoditas perikanan dan pergaraman. Sedangkan Anda mempersempit hanya masalah pergaraman,” katanya.

Tags:

Berita Terkait