Aturan Kewajiban Penggunaan Rupiah Diklaim Turunkan Transaksi Valas
Berita

Aturan Kewajiban Penggunaan Rupiah Diklaim Turunkan Transaksi Valas

Turun hingga 75 persen dalam dua tahun, penyebabnya adalah faktor kebiasaan dari pengguna transaksi valas.

ANT/FAT
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline
Bank Indonesia (BI) mengklaim kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mulai diimplementasikan secara penuh sejak 1 Juli 2015, mampu menurunkan transaksi valas secara signifikan. Bahkan mampu menurunkan hingga 75 persen.
"Keberhasilan ketentuan Rupiah signifikan. Sebelumnya kebutuhan domestik di luar ekspor impor dan bayar utang sekitar AS$7-AS$8 miliar per bulan, sekarang di bawah AS$2 miliar. Turun 75 persen," kata Kepala Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eny V Panggabean di Semarang, seperti dikutip dari Antara, Kamis (30/3).
Menurut Eny, faktor kebiasaan menjadi penyebab turunnya penggunaan valas untuk transaksi di dalam negeri. Masyarakat, khususnya pelaku usaha, kini sudah terbiasa menggunakan rupiah untuk pembayaran transaksi domestik. "Setelah ditertibkan, ternyata dalam dua tahun turun 75 persen. Jadi karena kebiasaan saja, orang kan bisa saja beli makan pakai valas," ujarnya.
Aturan kewajiban penggunaan rupiah di wilayah NKRI memang ditujukan untuk menegakkan kedaulatan rupiah dan sekaligus mendukung stabilitas makroekonomi. Ketentuan tersebut dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.17/3/PBI/2015 tanggal 31 Maret 2015. PBI ini adalah pelaksanaan dari Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, serta mendasarkan pada UU BI.
Namun, ketentuan tersebut memberikan pengecualian untuk transaksi-transaksi dalam rangka pelaksanaan APBN, perdagangan internasional, pembiayaan internasional yang dilakukan oleh para pihak yang salah satunya berkedudukan di luar negeri. (Baca Juga: BI Sempurnakan Aturan KUPVA Oleh Pedagang Valas)
Kemudian, kegiatan usaha bank dalam valas yang dilakukan sesuai UU yang mengatur mengenai perbankan dan perbankan syariah. Transaksi surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah dalam valuta asing di pasar perdana dan pasar sekunder yang sudah diatur dengan UU. Serta, transaksi lainnya dalam valuta asing yang dilakukan berdasarkan UU.
Hingga kini, BI mencatat, sebanyak 680 Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (KUPVA BB) atau money changer yang beroperasi di Indonesia belum mengajukan izin ke bank sentral. Eny mengatakan, jumlah tersebut masih relatif tinggi mengingat jumlah KUPVA tak berizin yang berhasil dipetakan BI mencapai 783 KUPVA. Dengan kata lain, 87 persen dari total KUPVA di Indonesia masih tak berizin.
Sementara itu, hingga 24 Maret 2017, baru 44 KUPVA yang telah mengajukan izin, 59 KUPVA berminat untuk mengajukan perizinan, dan tujuh telah menutup usahanya. "Jadi, yang 680 ini yang belum jelas apakah mau ditutup atau tetap buka. Kami mohon mereka segera mengambil sikap," kata Eni saat paparan ke awak media di Kantor Polda Jawa Tengah, Semarang.
Dari segi kuantitas, jumlah KUPVA tak berizin didominasi oleh KUPVA yang beroperasi di Pulau Jawa sebanyak 416 KUPVA. Kemudian diikuti oleh Sumatera dengan jumlah KUPVA tak berizin mencapai 184 KUPVA. Di Bali dan Nusa Tenggara KUPVA tak berizin mencapai 90 KUPVA, Kalimantan 82 KUPVA, dan Sulawesi, Maluku, dan Papua hanya ada 11 KUPVA.
Terkait hal ini, BI telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.18/20/PBI/2016 perihal Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (KUPVA BB). Dalam aturan itu ditegaskan, tanggal 7 April 2017 merupakan batas akhir operasi bagi KUPVA BB yang tidak memiliki izin operasi dan belum mengajukan izin ke BI. (Baca Juga: BI: Money Changer Ilegal Rentan Money Laundering)
BI juga memerintahkan kepada penyelenggara KUPVA BB yang telah berizin untuk menghentikan kerjasama dan transaksi dengan pelaku yang tidak berizin dan memberikan sanksi tegas kepada pihak yang melanggar ketentuan dimaksud. Apabila sampai tenggat tersebut masih ada KUPVA yang tidak berizin, bank sentral akan merekomendasikan penghentian kegiatan usaha atau pencabutan izin usahanya.
"Apabila masih terdapat KUPVA BB yang tidak berizin hingga 7 April 2017, Bank Indonesia akan merekomendasikan penghentian kegiatan usaha atau pencabutan izin usaha," ujar Eny.
Sebelumnya, aparat penegak hukum mulai menyorot usaha KUPVA BB atau money changer. Bahkan, sejumlah institusi sudah mengendus adanya tindak pidana yang dilakukan dengan memanfaatkan skema yang dimiliki oleh KUPVA BB. Salah satunya adalah Badan Narkotika Nasional (BNN). (Baca Juga: Penegak Hukum Mulai Bidik Tindak Pidana yang Manfaatkan Money Changer Ilegal)
BNN mencatat ada indikasi praktik Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang berkaitan dengan narkotika melalui sektor jasa keuangan. Sejauh ini, BNN baru mau memberikan sedikit informasi khususnya mengenai penyalahgunaan KUPVA BB sebagai wadah melakukan TPPU yang nilainya cukup fantastis, yakni mencapai Rp3,6 triliun. Total nilai tersebut khusus untuk KUPVA BB yang tidak memiliki izin dari BI.
Tags:

Berita Terkait