Aturan Kewajiban Kepesertaan BPJS Kesehatan Minta Dibatalkan
Utama

Aturan Kewajiban Kepesertaan BPJS Kesehatan Minta Dibatalkan

Seharusnya kewajiban kepesertaan BPJS dititikberatkan pada pemberdayaan masyarakat lemah dan tidak mampu.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: RZK
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: RZK

Aturan kewajiban kepesertaan BPJS Kesehatan dianggap merugikan hak konstitusional seorang warga kota Surabaya, Nur Ana Apfianti yang menjadi peserta BPJS Kesehatan dan juga peserta asuransi swasta Prudential. Sebab, jika tidak menjadi peserta asuransi BPJS Kesehatan dapat dikenakan sanksi. Hal ini disampaikan Kuasa Hukum pemohon Muhammad Sholeh ketika mendaftarkan uji materi Pasal 14 UU No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (8/1/2019).   

 

Sholeh menjelaskan Pemohon setiap bulannya membayar premi asuransi BPJS Kesehatan dan asuransi Prudential. Padahal, faktanya ketika Pemohon jatuh sakit lebih memilih menggunakan asuransi Prudential ketimbang BPJS Kesehatan. Sebab, pelayanan dan fasilitas kesehatan yang ditawarkan asuransi Prudential lebih bagus. Dengan begitu, uang premi Pemohon yang setiap bulan dibayar ke asuransi BPJS Kesehatan menjadi percuma.

 

“Tetapi, persoalannya jika Pemohon tidak ikut asuransi BPJS Kesehatan akan terkena sanksi oleh BPJS baik teguran tertulis, denda, hingga tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dijelaskan Pasal 17 UU BPJS. Karena itu, tentu Pasal 14 UU BPJS ini telah bertentangan dengan UUD Tahun 1945,” kata Sholeh di Gedung MK.

 

Selengkapnya, bunyi Pasal Pasal 14 UU BPJS menyebutkan “Setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial.” Sementara Pasal 17 UU BPJS menyebutkan, “

 

Ia menilai kata “wajib” dalam Pasal 14 UU BPJS ini memberi makna, setiap orang baik anak-anak maupun dewasa, orang miskin, atau orang kaya semuanya wajib ikut program jaminan sosial kesehatan di BPJS. Hal ini tentunya, Pasal 14 UU BPJS ini bertentangan dengan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

 

Menurutnya, frasa “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan” harus dimaknai sesuai kemampuan keuangan negara. Idealnya, semua wilayah baik perkotaan maupun pedesaan, fasilitas kesehatannya sama. Tetapi faktanya rumah sakit pemerintah di perkotaan dan pedesaan tidak sama kualitasnya. Hal ini menunjukkan negara secara keuangan masih belum bagus, sehingga tidak mampu membangun fasilitas kesehatan secara merata di seluruh Indonesia.

 

“Makna negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat ini memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” (Baca Juga: BPJS Kesehatan Memutus Kerjasama Fasilitas Kesehatan? Begini Aturannya)

 

Dalam konteks ini, kata dia, seharusnya dititikberatkan pada pemberdayaan masyarakat lemah dan tidak mampu. Namun, faktanya kewajiban kepesertaan bagi setiap warga negara tidak hanya pada orang miskin, tetapi juga orang mampu. Disinilah letak ketidakpahaman pembentuk UU dalam melihat konsep kewajiban perlindungan kesehatan oleh negara kepada masyarakat tidak mampu.

 

Dia melanjutkan kewajiban kepesertaan mengikuti program jaminan kesehatan BPJS ditegaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 4 huruf g UU BPJS yang menyatakan yang dimaksud prinsip kepesertaan bersifat wajib mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta jaminan sosial dilaksanakan secara bertahap.

 

Baginya, pembentuk UU telah mengancam memberi sanksi kepada warga negara yang tidak ikut program BPJS. Ancaman ini jika warga negara tidak mendaftarkan kepada BPJS paling lambat pada 1 Januari 2019, maka pengenaan saksi tersebut akan diberlakukan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 17 ayat (2) Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

 

Sholeh juga mengkritisi bunyi Pasal 14 UU BPJS yang mengatur kewajiban warga negara asing yang telah bekerja minimal enam bulan harus ikut dalam BPJS. “Pertanyaanya, atas dasar apa pembentuk UU membuat aturan mengurusi kesehatan orang asing. Jika sekarang saja, BPJS Kesehatan defisit atau mengalami kerugian jika nanti banyak orang sakit. Bukankah BPJS Kesehatan semakin rugi?” (Baca Juga: Tambal Sulam Defisit BPJS Kesehatan Selama 2018)

 

Padahal, lanjutnya, orang asing yang bekerja di Indonesia, tentu sudah menghitung penghasilanya. Artinya, orang asing bekerja di Indonesia ialah orang mampu, karena mereka tergolong orang mampu, tentu lebih memilih ikut asuransi swasta, bukan memilih BPJS Kesehatan. “Apakah konsep BPJS Kesehatan ini sudah keluar dari makna Pasal 34 ayat (2) UUD Tahun 1945?”

 

“Penyediaan fasilitas kesehatan menjadi tanggung jawab negara sesuai Pasal 34 ayat (3) harus dimaknai kewajiban negara, bukan kewajiban warga negara. Pembuat UU tidak bisa membedakan apa itu kewajiban negara. Kewajiban warga negara itu membayar pajak, dari membayar pajak itu, negara mengelola keuangan hasil pembayaran pajak untuk membangun fasilitas kesehatan.”

 

“Karena itu, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar Pasal 14 UU BPJS yang mengatur mengenai ‘kewajiban menjadi peserta BPJS’ bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.”

Tags:

Berita Terkait