Aturan Izin Pemeriksaan Kepala Daerah Dipersoalkan
Berita

Aturan Izin Pemeriksaan Kepala Daerah Dipersoalkan

Pemohon disarankan untuk menguraikan bentuk perbedaan yang inkonstitusional.

ASh
Bacaan 2 Menit
Aturan izin pemeriksaan kepala daerah dipersoalkan. Foto: Ilustrasi (SGP)
Aturan izin pemeriksaan kepala daerah dipersoalkan. Foto: Ilustrasi (SGP)

Lantaran dinilai diskriminatif, Windu Wijaya (mahasiswa S-2) dan Anwar Sadat (asisten advokat) menguji Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal itu mengatur prosedur pemeriksaan izin kepala daerah yang terlibat kasus hukum oleh presiden.

 

“Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Pemda berpotensi menimbulkan kerugian hak konstitusional pemohon karena tidak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan perlakuan yang bersifat diskriminatif,” kata Windu dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin Anwar Usman di ruang sidang gedung MK Jakarta, Rabu (7/9).

 

Selengkapnya, Pasal 36 ayat (1) berbunyi, “Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden atas permintaan penyidik.”

 

Ayat (2)-nya berbunyi, “Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.”         

 

Windu menilai aturan telah memberikan keistimewaan hukum kepada kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang tidak didapatkan oleh pemohon dan warga negara lainnya. “Kenapa keistimewaan hukum yang sama tidak diberikan kepada warga negara lain,” kata Windu.  

 

Menurut Windu, Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Pemda merupakan norma yang diskrminatif sehingga harus dinyatakan inkonstitusional. “Pasal itu sangat nyata telah mengabaikan nilai persamaan dalam hukum bagi setiap warga negara dan bentuk campur tangan kekuasaan eksekutif dalam penegakan hukum,” jelasnya.  

 

Karena itu, Pasal 36 ayat (2) dan (2) UU Pemda bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. “Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Pemda tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tuntutnya.

 

Anwar Usman menyarankan agar pemohon mencantumkan UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemda dalam permohonannya. “Meski pasal yang diuji tidak mengalami perubahan, tetapi seharusnya UU No 12 Tahun 2008 tetap dicantumkan,” sarannya.

 

Achmad Fadlil Sumadi mengatakan hukum itu mengasumsikan persamaan dan atau perbedaan. “Apakah perbedaan yang ada antara saudara dan kepala daerah masuk kategori perbedaan yang inkonstitusional. Misalnya, kenapa plat nomor mobil presiden B 1 RI, kenapa kita pakai nomor B 1 RI tidak boleh, apa perbedaan ini inkonstitusional, ini yang harus diuraikan,” kata Fadlil menyarankan.

 

Fadlil menilai permohonan belum menjelaskan uraian alasan hukum secara lebih argumentatif. “Saudara hanya menjelaskan perbedaan secara sederhana atau umum saja. Kalau semua orang harus diperlakukan sama, lalu apakah perbedaan pemimpin negara atau daerah dengan saudara masuk kategori inkonstitusional atau konstitusional?”

Tags: