Aturan Iklan Rokok Diuji ke MK
Berita

Aturan Iklan Rokok Diuji ke MK

Karena dikhawatirkan mendorong peningkatan konsumsi rokok di kalangan anak-anak.

ASH
Bacaan 2 Menit
Aturan Iklan Rokok Diuji ke MK
Hukumonline

Majelis Panel MK menggelar sidang perdana pengujian Pasal 46 ayat (3) huruf c UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sepanjang frasa “promosi rokok yang memperagakan wujud rokok.” Tercatat sebagai pemohon yaitu Hilarion Haryoko, Sumiati, Normansyah dan Winarti bertindak selaku orang tua Muhammad Fathi Akbar, Ari Subagio Wibowo dan Cathrina Triwidarti bertindak selaku orang tua Oktavianus Bimo Archa Wibowo, dan Syaiful Wahid Nurfitri.

Para pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran. Sebab, jika Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran terus berlaku akan mendorong peningkatan konsumsi rokok di kalangan masyarakat, khususnya anak-anak dan mahasiswa.

“Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran ini juga akan mengakibatkan kerugian di bidang kesehatan, kesejahteraan menjadi menurun, dan menurunnya kualitas hidup generasi bangsa,” kata salah satu kuasa pemohon Mustakim dalam sidang pendahuluan di Gedung MK, Kamis (15/8).

Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran menyatakan “Siaran iklan niaga dilarang melakukan : b. promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif. c. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok......”     

Mustakim menilai ketentuan itu kontradiktif dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Soalnya, Pasal 46 ayat (3) huruf c membenarkan iklan dan promosi rokok di lembaga penyiaran. Artinya, rokok dianggap sebagai produk yang aman dikonsumsi dan dapat dijual secara bebas kepada masyarakat. Namun, Pasal 46 ayat (3) huruf b UU Penyiaran justru melarang iklan niaga promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif.

“Seperti kita ketahui, rokok merupakan produk tembakau yang mengandung zat adiktif sesuai Pasal 113 (1), (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan,” kata Mustakim.

Dia mengungkapkan beberapa fakta siaran materi iklan promosi rokok tidak sesuai fakta yang sebenarnya dan iklan dan promosi rokok banyak menggunakan momentum atau kegiatan kebiasaan remaja sebagai strategi menjerat remaja menjadi konsumen rokok.

Iklan dan promosi rokok ini pun memiliki kerugian bagi kesehatan yang membahayakan kesehatan dan kelangsungan hidup banyak orang. Juga kerugian atas ekonomi dimana merokok tidak hanya merusak kesehatan tetapi juga ekonomi rumah tangga, kerugian atas tumbuh kembang anak dikarenakan hampir 80 persen perokok di Indonesia mulai merokok ketika masih remaja atau anak-anak.

“Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran pernah diuji dengan nomor perkara No. 06/PUU-VII/2009, tetapi MK menolak karena saat itu tidak aturan yang menyebut tembakau sebagai zat adiktif,” katanya.

Dalam petitum permohonannya, para pemohon meminta MK membatalkan Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran sepanjang frasa “promosi rokok yang memperagakan wujud rokok” karena bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

“Menyatakan materi muatan dalam Pasal 46 ayat (3) huruf c Undang-Undang Penyiaran sepanjang mengenai frasa “promosi rokok yang memperagakan wujud rokok ” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”

Menanggapi permohonannya, Anggota Hakim Panel Ahmad Fadlil Sumadi menilai materi permohonan masih belum jelas. Para pemohon hanya menjelaskan pasal-pasal dalam UUD 1945, tidak menguraikan pertentangan pasal yang diuji dengan pasal UUD 1945. “Seharusnya masih ada ruang yang perlu diisi yang menggambarkan pertentangan pasal yang diuji dengan pasal UUD 1945,” kritiknya.

Menurut Fadlil jika frasa itu dibatalkan iklan rokok justru tidak dilarang. “Ini harus bisa dijelaskan argumentasinya kenapa frasa ini promosi rokok yang memperagakan wujud rokok minta dibatalkan? Argumentasinya tidak hanya dibangun berdasarkan pada UU Kesehatan, tetapi harus dijelaskan pertentangannya dengan pasal UUD 1945,” tegas Fadlil.

Fadil mengingatkan agar pemohon membaca kembali pertimbangan putusan pengujian pasal ini yang pernah ditolak MK. ”Seharusnya itu yang ditonjolkan, tetapi dalam permohonan belum terlihat, ini harus diperbaiki,” pintanya.

Ketua Majelis Panel, M. Akil Mochtar menilai materi permohonan belum jelas uraian kerugian konstitusionalnya. “Kerugian pemohon harus dijelaskan dalam permohonan, jangan hanya menjelaskan soal ketidakkonsistenan saja,” ujarnya mengingatkan.

Tags: