Aturan Contempt of Court Bukan untuk Batasi Media
Berita

Aturan Contempt of Court Bukan untuk Batasi Media

IKAHI sudah beberapa kali minta agar Pemerintah dan DPR menyusun UU Contempt of Court.

MYS/ASH
Bacaan 2 Menit
Aturan <i>Contempt of Court</i> Bukan untuk Batasi Media
Hukumonline

Dukungan publik terhadap pengadilan banyak ditentukan dengan persepsi yang terbentuk lewat media massa. Media ikut menentukan baik buruknya citra pengadilan di mata masyarakat. Namun pemberitaan buruk bisa menyeret media ke dalam tuduhan penghinaan pengadilan (contempt of court).

Berbicara dalam diskusi ‘Refleksi dan Arah Pembaruan Peradilan Indonesia’ yang diselenggarakan LeIP dan Forum Diskusi Hakim Indonesia, Senin (25/3) lalu, mantan Ketua Muda MA Bidang Pengawasan, Abdul Rahman Saleh menyinggung pentingnya aturan tentang contempt of court demi menjaga wibawa pengadilan.

Regulasi tentang contempt of court dikenal di negara-negara maju dan demokratis. Indonesia juga perlu membuat aturan sejenis. Kalangan pengadilan dan media harus membuang jauh pikiran bahwa aturan contempt of court bermaksud menghalang-halangi kerja jurnalistik. “Tujuan utamanya bukan membatasi kebebasan media, melainkan menjaga kewibawaan hukum dan pengadilan,” ujar mantan Jaksa Agung itu.

Mantan Ketua MA Harifin A Tumpa, juga setuju kehadiran UU Contempt of Court. Tanpa kejelasan aturan, setiap orang bisa seenaknya melakukan pelecehan dan penghinaan terhadap peradilan. “(Aturan) contempt of court itu diperlukan dalam rangka mendorong agar lembaga peradilan menjadi lebih baik,” kata Harifin menjawab pertanyaan hukumonline.

Di kalangan peradilan, gagasan untuk mengajukan UU Contempt of Court sudah lama muncul. Rapat Kerja Nasional MA di Yogyakarta pada 2001 merekomendaskan antara lain perlunya penyusunan RUU tentang Penghinaan terhadap Pengadilan ‘demi terciptanya kepastian hukum serta melindungi lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman’.

Dijelaskan Harifin, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), tempat bernaung para hakim, sudah mengajukan usul serupa. Namun lebih dari sepuluh tahun setelah Rakernas Yogyakarta, usulan para hakim belum terwujud. “Ini semuanya dibutuhkan kemauan politik pemerintah dan DPR untuk mendorong wacana ini menjadi undang-undang,” kata Harifin.

Pertanyaan dasar yang sering mengemuka dalam kasus penghinaan terhadap pengadilan adalah pelaku yang ingin disasar. Apakah orang yang secara langsung melakukan penghinaan terhadap hakim saat bersidang, atau termasuk juga media yang memberitakan dugaan suap terhadap seorang hakim.

Batasan-batasan inilah yang perlu diperjelas jika ingin membuat RUU Penghinaan terhadap Pengadilan. “Memang harus dijaga adanya keseimbangan antara kebebasan pers dan keluhuran martabat pengadilan,” pungkas Abdul Rahman Saleh.

Tags:

Berita Terkait