Aturan Beneficial Ownership Bersinggungan dengan Data Pribadi
Pelatihan Hukumonline:

Aturan Beneficial Ownership Bersinggungan dengan Data Pribadi

Korporasi memperoleh keuntungan jika melaporkan siapa pemilik manfaat.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ichwan Sukardi, Managing Partners RSM Indonesia, dalam acara pelatihan hukumonline. Foto: RES
Ichwan Sukardi, Managing Partners RSM Indonesia, dalam acara pelatihan hukumonline. Foto: RES

Peraturan Presiden (Perpres) No. 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme,  menegaskan korporasi wajib melaporkan siapa yang bertindak sebagai pemilik manfaat.

Pemilik manfaat yang dimaksud dalam Perpres Beneficial Ownership (BO) ini adalah individu yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada korporasi, serta memiliki kemampuan untuk mengendalikan perusahaan. Selain itu, pemilik manfaat dari korporasi berhak atas dan/atau menerima manfaat dari perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham perusahaan.

Ketua Tim Perumus Perpres No. 13 Tahun 2018, Yunus Husein, mengatakan pemilik manfaat paling sedikit terdiri dari satu orang yang memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan korporasi tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun.

Tetapi instansi berwenang dapat menetapkan pemilik manfaat di luar dari yang dilaporkan korporasi jika menemukan indikasi adanya pihak lain yang juga masuk dalam kategori benefecial ownership. Hingga kini setidaknya ada 7000-an korporasi yang sudah melaporkan pemilik manfaat ke dalam sistem aplikasi pelaporan Ditjen AHU Kemenkumham.

(Baca juga: Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Perseroan Terbatas).

Yunus menjelaskan prinsip utama Perpres No. 13 Tahun 2018 adalah transparansi korporasi untuk mengungkap siapa pemilik manfaat dari perusahaan tertentu. Hal ini dapat membantu aparat penegak hukum untuk menelusuri siapa pemilik manfaat apabila terjadi tindak pidana korupsi, terorisme, atau pencucian uang.

Pertanyaannya, apa manfaat dari korporasi itu sendiri jika melaporkan pemilik manfaat? "Pertama jelas reputasi jadi baik, reputasi baik penting buat bisnis, jadi bisa lebih dipercaya. Kita mencari taksi saja di bandara lebih percaya pada merk tertentu, padahal banyak taksi lainnya," ujar Yunus di acara pelatihan hukumonline di kawasan Jakarta, Rabu (27/3) kemarin.

Menurut Yunus, jika memiliki reputasi yang baik, praktis dapat mempengaruhi naiknya harga saham korporasi dan membuat perusahaan berkembang. Korporasi juga dapat terhindar dari jerat tindak pidana. "Korporasi otaknya jangan duit saja. Harus ada prinsip good governance antara lain tidak menyuap, kasih feedback, tidak beri gratifikasi. Kalau ada prinsip good governance akan ada alasan pemaaf. Sebaliknya kalau ada penyimpangan ada konsekuensinya," tuturnya.

Yunus mendorong agar tiap korporasi mempunyai whistle blowing system (WBS). Selain masuk dalam kategori good governance, WBS membantu ‘membersihkan’ perusahaan dari kejahatan. Dari studi yang pernah dilakukan, kata dia, 25 persen tindak pidana terungkap dari WBS. "Dan perlu contoh dari mereka yang mempunyai kedudukan sehingga bawahannya mengikuti," pungkasnya.

Bersinggungan dengan data pribadi

Salah satu peserta pelatihan sempat menanyakan bagaimana cara melaporkan pemilik manfaat apabila jumlahnya sekitar 7 juta pemegang saham dan berada di negara yang berbeda. Sebab ia sendiri merasa tidak mendapat informasi yang memadai ketika menanyakan hal ini kepada instansi berwenang.

Yunus menjelaskan pemilik manfaat suatu perusahaan pasti merupakan individu, oleh karena itu meskipun jumlahnya cukup banyak maka memang semestinya tetap dilaporkan. Pihak korporasi bisa meminta bantuan pihak berwenang untuk melakukan kerjasama dengan negara lain dalam melacak nama-nama pemilik manfaat tersebut.

(Baca juga: Rambu-Rambu yang Harus Diperhatikan Korporasi dalam Perpres Beneficial Ownership).

Peserta lain menceritakan pengalamannya. Ada sebuah instansi berwenang yang tidak hanya meminta data induk perusahaan berkaitan dengan pemilik manfaat tetapi juga meminta data direksi dan komisaris di setiap induk perusahaan lain. Tak hanya itu, instansi itu meminta nomor wajib pajak pihak dimaksud. "Kami sangat concern kenapa karena direksi dan komisaris induk perusahaan ini mereka bukan WNI, tidak punya NPWP, kepentingan Indonesia apa?”.

Ada pertanyaan mengapa pemerintah Indonesia ingin mengetahui kerahasiaan Warga Negara Asing yang dianggap sama sekali tidak berhubungan langsung dengan korporasi. "Makanya BO ini ingin tahu pemilik manfaat tapi sampai mau tahu direksi dan komisaris perusahaan lain. Ini yang kemudian banyak sekali protes."

Yunus menjelaskan pada prinsipnya BO  ingin membuat transparan siapa individu yang menjadi pemilik manfaat. "Jadi ya ketika informasi seperti itu diminta segala macam ya kejauhan menurut saya. Ya kalau teridentifikasi ya yang berkaitan atau yang berpengaruh. Kalau dia minta NPWP dan segala macem konteksnya berbeda, kejauhan," tuturnya.

Pajak

BO tidak hanya berhubungan dengan tindak pidana, tetapi juga terkait dengan pembayaran pajak bagi pemilik manfaat. Managing Partner RSM Indonesia, Ichwan Sukardi membeberkan istilah BO menurut perjanjian perpajakan (tax treaty)dua negara agar tidak terjadi pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak.

Berdasarkan ketentuan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) Model Convention (MC) pasal 3 paragraph 2 yang tidak didefinisikan dalam tax treaty harus merujuk kepada hukum domestik, kecuali apabila "context" atau definisi tersebut mengatur secara khusus.

Untuk mengisi kekosongan definisi BO berdasarkan tax treaty, ada dua pandangan utama yang telah diakui para ahli perpajakan internasional. Pertama definisi BO harus ditafsirkan sebagai konsep hukum pajak internasional yang tidak boleh berbeda dari satu negara ke negara lain. Kedua, defnisi BO pada suatu negara berasal dari perundang-undangan domestik berdasarkan hukum pajak atau hukum domestik lain.

Hukumonline.com

Foto: Yunus Husein, Ketua Tim Perumus Perpres No. 13 Tahun 2018. Foto: RES

Ichwan juga menjelaskan interpretasi BO didasarkan pada hukum pajak di Indonesia. Pertama UU Pajak Penghasilan yang berlaku pada 1 Januari 2019. "Pasal 26 ayat 1a menyebutkan BO sebagai orang (individu atau perusahaan) yang berhak menikmati manfaat dari penghasilan tersebut secara langsung," ujarnya menjelaskan isi aturan tersebut.

Kemudian negara domisili pemilik manfaat ditentukan ditentukan berdasarkan tempat tinggal yang sebenarnya dari individu atau tempat pendirian perusahaan. Selanjutnya Surat Edaran Nomor 17 Tahun 2005 juga mengonfirmasi ketentuan tarif pemotongan pajak sebesar 0 persen atas pembayaram bunga dari Indonesia ke residen pajak Belanda tidak berlaku sampai kedua negara menyepakati "Mode of Application".

Ditjen Pajak juga sudah menerbitkan surat edaran yang antara lain berisi pemilik manfaat berhak atas penghasilan seperti deviden, bunga maupun royalti baik wajib pajak individu atau perusahaan yang memiliki hak penuh untuk memiliki manfaat dari penghasilan tersebut. "Special purpose vehicle dalam bentuk conduit company, paperbox company, pass-through company dan sejenisnya tidak akan memenuhi syarat sebagai BO," pungkasnya.

BO yang menerima pembayaran dividen, bunga, royalti, dari Indonesia dikenai pajak penghasilan sebesar 20 persen yang dipotong berdasarkan Pasal 26 UU Pajak Penghasilan.

Tags:

Berita Terkait