Irwanto menambahkan bahwa seharusnya kampus sebagai dunia kaum intelek tak membedakan orang berdasarkan kecacatannya. Aksesibilitas ke kampus tidak boleh diskriminatif. Kampus perlu memberikan peluang yang sama untuk membangun dan menempuh pendidikan bagi semua golongan. Selain fasilitas gedung yang ramah bagi penyandang cacat, dalam perkuliahan pun bisa difasilitasi misalnya menggunakan running text atau power point untuk yang tuna rungu.
Pada kesempatan itu Sartono juga mengkritik aturan ketenagakerjaan yang memberi kuota satu persen bagi penyandang cacat. Kouta itu justeru membatasi kesempatan penyandang cacat untuk bisa bekerja. Bagaimana kalau melebihi kuota? Seharusnya, kata Sartono, ukurannya adalah kemampuan atau kompetensi.
Pada kesempatan yang sama, Sinta Nuriyah, mengkritik peraturan pegawai negeri sipil yang masih diskriminatif bagi penyandang cacat. Ia membandingkan dengan Mesir dimana banyak pegawai disabilitas terutama di lembaga pendidikan yang meraih gelar profesor.
Dalam kaitan dengan fasilitas gedung, pasal 27 ayat (2) UU No. 28 tahun 2002 mewajibkan pengelola bangunan untuk membuat kemudahakan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung. Meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman bagi penyandang cacat dan lanjut usia.
Pasal 31 bahkan lebih tegas menyebutkan bahwa penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia tadi merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali rumah tinggal. Bila keharusan itu tidak dilaksanakan, UU mengancam dengan ancaman pidana kurungan atau denda.
Tetapi, seperti kata Irwanto, peraturan itu laksana macan di atas kertas. Adakah pengelola bangunan gedung yang dihukum hanya karena tak membuat fasilitas bagi orang cacat?