Aturan Hukum Soal Rangkap Jabatan di Pemerintahan
Utama

Aturan Hukum Soal Rangkap Jabatan di Pemerintahan

Rangkap jabatan yang dilakukan Aparatur Sipil Negara bisa jadi melanggar norma hukum, namun memiliki batasan limitatif yang sudah diatur dalam Pasal 23 UU No.39 Tahun 2008 tentang kementerian Negara.

Willa Wahyuni
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Dalam waktu dekat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menunjuk Kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara (IKN). Terkait posisi calon Badan Otorita IKN, harus mempunyai pengalaman dalam mengelola tata pemerintahan terutama terkait dengan IKN.

Undang-Undang No.l3 Tahun 2022 tentang IKN yang mengatur fungsi kepala badan tersebut sepenuhnya hak prerogatif presiden. Beberapa waktu sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyebut sejumlah nama yang akan menjadi Kepala Otorita IKN, mulai dari mantan kepala daerah hingga mantan menteri.

Nama Menteri Sosial, Tri Rismaharini mencuat ke permukaan lantaran Presiden Joko Widodo ingin agar Kepala Otorita IKN nanti berasal dari sosok yang berlatar belakang arsitek dan pernah memimpin daerah.

Namun, anggota Komisi II DPR, MF Nurhuda Y menyatakan tidak setuju apabila seorang menteri rangkap jabatan sebagai kepala Otorita IKN, karena hal tersebut memerlukan fokus dalam membangun IKN. (Baca: Pejabat Publik Rangkap Jabatan? Ini Kata Pakar Ketatanegaraan)

“Tentang kemungkinan menteri merangkap jabatan kepala Otorita IKN, saya kira jangan. IKN adalah proyek besar, harus fokus mengurusnya karena menteri sudah memiliki pekerjaan yang memerlukan fokus tersendiri,” katanya pada Senin (21/2) lalu seperti dikutip Antara.

Lantas, seperti apa aturan rangkap jabatan di pemerintahan sebenarnya? Rangkap jabatan merupakan kondisi seseorang memegang dua atau lebih jabatan di dalam sebuah pemerintahan atau organisasi.

Rangkap jabatan yang dilakukan Aparatur Sipil Negara bisa jadi melanggar norma hukum, namun memiliki batasan limitatif yang sudah diatur dalam Pasal 23 UU No.39 Tahun 2008 tentang kementerian Negara.

Pada Pasal 23 UU Kementerian Negara, menteri dilarang merangkap jabatan apabila jabatan yang dimaksud adalah sebagai pejabat negara lainnya atau menjadi komisaris/direksi pada perusahaan negara/swasta atau merangkap sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai oleh APBN/APBD.

Diluar batas limitatif tersebut, menteri atau pejabat negara setingkat menteri yang melakukan rangkap jabatan tidak bisa dilengserkan dari jabatannya, kecuali diberhentikan oleh Presiden sesuai dalam Pasal 24 UU No.39 Tahun 2008.

Diaturnya rangkap jabatan secara serius dalam berbagai pasal mengindikasikan kemungkinan terjadinya konflik kepentingan di instansi pemerintahan.

Konflik kepentingan berpotensi mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan berpotensi untuk melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, perlu upaya penanganan dan pencegahan dari konflik kepentingan tersebut.

Selain diatur dalam UU Kementerian Negara, larangan rangkap jabatan juga diatur dalam Pasal di dalam UU dan Peraturan Pemerintah yang melarang rangkap jabatan. Seperti dalam UU No.5 Tahun 1999 Pasal 26 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pasal tersebut menyebutkan seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.

Lalu, dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah No.100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural disebutkan bahwa, Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural tidak dapat menduduki jabatan rangkap, baik dengan jabatan struktural maupun dengan jabatan fungsional.

Larangan rangkap jabatan ini dalam rangka untuk meningkatkan profesionalisme serta pelaksanaan urusan kementerian yang lebih fokus kepada tugas dan fungsi yang lebih bertanggung jawab.

Tags:

Berita Terkait